Fikih

ABK Indonesia Dilarung, Bagaimana Menurut Islam?

3 Mins read

Awal Mei 2020 publik Indonesia dikejutkan dengan dilarungkanya ABK (anak buah kapal) warga Indonesia di lautan lepas oleh kru kapal pencari ikan milik China. Ada pro dan kontra mengenai hal tersebut. Akan tetapi, banyak sekali kabar yang beredar mengenai dilarungkanya WNI yang meninggal di atas kapal yang berlayar di lautan, dari penyakit menular serta kelelahan karena intimidasi dari ABK asli China kepada ABK Indonesia. Akan tetapi disini kita berbicara mengenai bagaimana hokum dalam islam mengenai “melarung jenazah di laut”

Tahun 1952 Indonesia pertama kali menggunakan pesawat terbang untuk menunaikan Ibadah Haji. Sebelumnya, para jamaah berangkat ke jazirah Arab menggunakan transportasi laut, yap kapal laut. Membutuhkan waktu berbulan-bulan, dari cerita ke cerita butuh 4 bulan untuk berangkat serta 4 bulan untuk pulang, dan ketika perjalanan sudah bukan rahasia lagi jika ada yang meninggal, baik karena sakit, kurang minum, dan tidur karena mabuk laut, atau karena sudah ajalnya.

Dimakamkan sudah jelas tidak mungkin karena di kapal tidak membawa tanah, di bawa ke daratan membutuhkan waktu yang lama. Maka, jalan satu-satunya ialah dilarung ke tengah lautan luas (dibuang mayatnya ke laut setelah dimandikan serta dikafani)

Apa itu dilarung? Menurut KKBI dilarung adalah peti mayat yang tidak berdasar, maksud dari tidak berdasar adalah membuang mayat di tengah lautan lepas dengan kondisi dibungkus kain atau segala sesuatu yang menutupi seluruh badan, contohnya Kaffan.

Nah, bagimana dengan hukum dalam Islam tentang orang yang meninggal di tengah lautan luas nun tak berujung, apakah boleh menurut Islam ataukah harus menyandarkan kapal ke daratan terdekat dan mengkuburkanya secara konvensional?

Menurut perkataan para alim-ulama mengenai ini ada banyak pendapatnya, seperti Ibnu Mâjisyun, Ashbagh, dan Ibnu Habîb dari kalangan Ulama Mâlikiyah mengatakan bahwa dilarungkan ke laut tanpa diberi pemberat dan dibiarkan di lautan sampai terdampar di pantai sehingga ada yang dapat menemukannya dan menguburkannya.

Baca Juga  Haji Tathawwu' & Fikih Prioritas: Haji Lagi atau Amal Sosial?
***

Serta dari ulama mazhab Syafii mengatakan dengan meletakkan jenazah setelah disholatkan ke dalam peti agar tidak membengkak dan dilarung ke laut, dengan harapan ada orang yang akan menguburkannya. Akan tetapi, ada perbedaan antara Imam Syafi dengan ulama yang bermazhab Syafi’i sendiri.

Imam Syafi’i mengatakan apabila penduduk pantai adalah orang-orang kafir, maka jenazah dimasukkan kedalam peti dan diberi pemberat agar tenggelam ke dasar laut, supaya orang-orang kafir tidak mengambilnya lalu merubah sunnah kaum Muslimin padanya. (al-Majmû’ 5/285)

Akan tetapi kedua pendapat diatas disanggah dengan pernyataan: Melepas jenazah di laut tanpa pemberat dan peti akan menjadikan jenazah tersebut berubah dan rusak (membusuk) dan bisa jadi terdampar di pantai dalam keadaan sudah membusuk dan telanjang.

Mungkin juga akan diambil orang-orang kafir dan musyrik sehingga diberi pemberat lebih utama [al-Mughni 3/341]. Lalu dari madzab Hanafiyah, ulama bernama Sahnun berpendapat ; diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan dilarungkan ke laut.

Dari hadis rasul yang sahih mengenai keutamaan mati tenggelam di lautan sudah dimaklumi dalam perjalanan lautan tidak lepas dari resiko tenggelam dan berapa banyak kejadian perahu atau kapal yang tenggelam bersama para penumpangnya. Ada yang ditemukan jasad mereka dan ada yang tidak ditemukan jasadnya. Islam memandang orang yang mati tenggelam sebagai syahid berdasarkan hadits-hadits diantaranya:


Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Orang mati syahid ada lima; orang yang mati karena sakit tha’un (kolera), orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena terpendam reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allâh. [Muttafaqun ‘alaihi].

Baca Juga  Pancasila: Maqashid Syariah dalam Konteks Keindonesiaan

Serta pendapat 4 Imam yang mengatakan sepakat menganggap orang yang mati tenggelam sebagai syahid. Oleh karena, itu orang yang tenggelam dimandikan dan dikafani serta dishalatkan.

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata di kitab al-Mughni (3/476): Tidak kami ketahui dalam hal ini perbedaan pendapat. Akan tetapi, kewajiban akan dikafani serta dimandikan tetaplah menjadi wajib kifayah seperti apa yang qoul yang beradasarkan Imam Hambali Jelaslah disini orang yang mati tenggelam tetap dimandikan dan disholatkan seperti jenazah pada umumnya al-Mughni (3/476).

Melihat berbagai dalil serta perkataan para alim ulama, penulis dengan segala kekurangan ilmunya mengatakan bahwa orang yang meninggal dalam perjalanan laut lalu dilarung hukumnya mubah (boleh) dengan syarat posisi kapal berada di tengah-tengah lautan serta jauh dari daratan dan sangat mustahil untuk kembali ke daratan dalam rangka mengubur mayat tersebut.

Mengingat kaidah ushuliyah yang dilihat, seperti kasus ABK berwarga negara Indonesia yang dibuang oleh ABK China dengan Kaidah dar’ul mafasid (meninggalkan kerusakan) di mana ditakutkan mayat itu memiliki penyakit yang mematikan serta menular, mengingat awal 2020 adanya pandemi yang sangat berbahaya yaitu Covid 19.

Serta dari segala aspek yang harus kita lihat adalah keselamatan diri kita sendiri. Oleh karena itu, hukumnya bisa dipastikan boleh saja membuang/melarung mayat dilaut dengan tujuan menghindari penyakit, tidak merepotkan selama perjalanan yang mana dikhawatirkan memberi dampak yang buruk pula, serta mengikuti pendapat-pendapat para ulama terdahulu tentang mengubur mayat di lautan. Wallohu a’lam Bishowab.

Editor: Yahya FR
Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa yang sedang berjuang untuk segera lulus dari UIN Sunan Kalijaga Serta UGM. dimana mahasiswa ini adalah mahasiswa yang tidak terlalu pndai dan aktif tetapi memiliki mimpi yang luar biasa menurutnya
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *