Perspektif

Pancasila: Maqashid Syariah dalam Konteks Keindonesiaan

3 Mins read

Pada awal bulan ini, tepatnya tanggal 1 Juni yang lalu kita memperingati hari lahirnya Pancasila yang merupakan dasar persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, terlepas dari semua itu ternyata masih ada beberapa kelompok muslim yang menolak Pancasila sebagai dasar NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Padahal, Pancasila secara implisit memiliki maksud yang sama dengan Maqashid Syariah.

Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa secara historis, lahirnya kemerdekaan Republik Indonesia ini adalah hasil jerih payah umat Islam yang merupakan mayoritas dan menjadi bagian tak terpisahkan terkait perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Karena itu, mereka menginginkan hasil rundingan yang ada dalam Piagam Jakarta. Yang menyatakan bahwa syariat Islam harus menjadi landasan konstitusional yang menaungi spirit kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, mereka juga berharap bahwa ini menjadi acuan dalam meneguhkan syariat Islam sebagai dasar negara.

Maqashid Syariah sebagai Metode Ilmiah

Menurut Haedar Nashir dalam bukunya berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa kelompok muslim revivalis kerap kali tampil dengan ciri legal-formal, doktriner, dan militan untuk memperkuat barisan pendorong syariat sebagai cita-cita dasar NKRI.

Ciri legal-formal dapat kita lihat dari penampilannya yang islami dan harus sesuai dengan aturan dan tuntunan hukum Islam. Ciri doktriner dapat kita lihat dari cara mereka memahami dan mempraktikkan ajaran Islam dengan tekstual dan kaku. Sementara itu, ciri militan dapat kita lihat melalui semangatnya yang menggebu-gebu hingga berhaluan keras.

Terkait dengan hal ini, syariat sebenarnya memiliki dua makna, yakni teologis dan sosiologis. Bagi mereka yang memiliki pola pikir teologis, syariat ini dijadikan sebagai tujuan akhir (final main) dalam menjalani hidup. Maka dari itu, wajar apabila syariat didambakan sebagai dasar ideologis dalam konteks kenegaraan.

Baca Juga  Tiga Catatan Kritis Omnibus Law Bidang Pendidikan

Sedangkan bagi mereka yang memiliki pola pikir sosiologis, syariat ini dijadikan sebagai tujuan antara (main in between) untuk menyingkap makna kehidupan yang dijalani. Maka dari itu, dalam konteks kenegaraan, kesadaran praktiknya lebih meletakkan syariat sebagai wilayah komplementer yang bersinergi dengan Pancasila.

Dalam hal ini, kemudian muncul teori maqashid syariah. Teori ini digadang sebagai metode dan pendekatan internalisasi ajaran Islam yang selaras dengan ajaran lainnya, termasuk Pancasila. Apabila ditinjau dari epistemologi, teori tersebut adalah cara kerja ilmiah yang menyingkap maksud dan tujuan besar dari ajaran Islam.

Maqashid sendiri secara sederhana dapat dipahami sebagai cara atau metode untuk memahami maksud dan tujuan ajaran agama. Maqashid banyak bermuara pada kepentingan publik, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyur dalam Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah.

Sementara itu menurut Jasser Audah dalam karyanya berjudul Membumikan Hukum Islam melalui Maqashid Syari’ah, menjelaskan bahwa maqashid syari’ah memosisikan diri sebagai kerangka analisis keagamaan untuk mengkontekstualisasi berbagai spirit ajaran keagamaan yang lebih membumi.

Beberapa Model Kemaslahatan

Dalam hal ini, maqashid syariah tidak sekedar mendesain sebuah relasi transendental yang hanya bermuara pada penguatan dimensi eskatologis. Namun juga mengemban amanah humanisasi dan liberasi untuk mengangkat derajat manusia dan kemanusiaan ke arah yang lebih beradab.

Karena itu, maqashid syariah yang merupakan cabang ilmu keislaman ini selalu berupaya menjawab persoalan dengan melibatkan unsur proyeksi dan spekulasi yang kemudian bermuara kepada kemaslahatan.

Lima model perlindungan yang menjadi konsekuensi logis dari adanya kemaslahatan. Hal ini dijelaskan secara detail dalam maqashid syariah. Yakni hifzhu al-din (melestarikan agama/sistem berkeyakinan baik di ruang privat maupun ruang publik dan menghargai model peribadatannya).

Hifzhu al-nafsi (memelihara jiwa/hak asasi manusia yang egaliter tanpa disekat oleh logika superordinasi dan mayoritanisme atas nama perbedaan). Hifzhu al-‘aqli (memelihara akal/kebebasan berpikir dalam mengekspresikan nalar kreativitas dan inovasi yang mendukung eksistensi kemanusiaan).

Baca Juga  Mengenang M. Nadjikh: Interaksinya dengan Menteri Susi Pudjiastuti

Hifzhu al-nasli (memelihara keturunan/generasi masa depan serta jaminan keselamatan bagi para ibu yang menjadi hulu sebuah kelahiran anak sebagai tunas bangsa). Dan hifzhu al-mal (memelihara kedaulatan ekonomi secara berkelanjutan yang tidak hanya berpihak pada sekelompok orang).

Maqashid Syariah dalam Konteks Keindonesiaan

Pertanyaannya adalah bagaimana kontribusi keilmuan maqashid syariah bisa berkaitan dengan Pancasila sebagai dasar negara? Untuk menganalisis korelasi Pancasila dan maqashid syariah, kita bisa meminjam tulisan Syahbudi Natoras. Penjelasan tersebut dimuat dalam disertasinya yang berjudul Maqashid Syari’ah dan Ruang Publik di Indonesia.

Dalam tulisannya tersebut, Syahbudi menjelaskan maqashid syariah dalam konteks keindonesiaan. Dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila terkait ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sebagai landasan epistemologi pelaksanaan ajaran agama Islam.

Secara sosiologis, korelasi Pancasila dan maqashid syariah saling memberikan napas spiritualitas. Dalam hal ini, bisa kita lihat dalam kelima sila Pancasila yang kesemuanya itu bermuara kepada kemaslahatan.

Pertama, ketuhanan menjadikan maqashid syariah dalam melindungi berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Kedua, kemanusiaan menjadi maqashid syariah untuk mewujudkan keadaban dan perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia).

Ketiga, persatuan menjadi maqashid syariah yang meniscayakan kerukunan berkeyakinan. Keempat, kerakyatan sebagai basis pengumpulan keputusan yang dilakukan berdasarkan musyawarah dan mufakat menjadi maqashid syariah yang mendorong kepada kemaslahatan.

Kelima, keadilan menjadi maqashid syariah yang meniscayakan adanya pola hubungan yang egaliter.Dan  sekaligus perlu digunakan sebagai sarana untuk melestarikan sikap saling menguntungkan dalam beragama, bermasyarakat, dan bernegara.

Dengan demikian, nilai-nilai yang dibangun dalam Pancasila dan maqashid syariah sama-sama menyiratkan prinsip kemaslahatan. Yang menjadi maksud dan tujuan dari sebuah ajaran yang sudah ditentukan oleh Tuhan dan diupayakan oleh founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Juga  Koncoisme Arab Saudi, Inggris dan AS Perangi Aswaja

Editor: Nirwansyah

Avatar
5 posts

About author
Mahasiswa S2 Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *