Tafsir

Corak Tafsir Adabi Ijtima’i Menjawab Tantangan Zaman

4 Mins read

Corak tafsir pada era modern memperlihatkan karakter yang berbeda bahkan bisa disebut baru dalam dunia tafsir yaitu munculnya (maudhu’-maudhu’) detail pada suatu ungkapan dalam Al-Qur’an.

Kemudian, maknanya dikaitkan dengan sunnatullah dan aturan kehidupan masyarakat, yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya (Adz-Dzahabi, 1976).

Memahami Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Kita mengetahui bahwa dalam corak penafsiran, terdapat bermacam-macam metode dan corak penafsiran Al-Qur’an. Dr. Abdul-Hay al-Farmawi membagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empat bagian, antara lain: analisis (tahlili), komparatif(muqarin), global (ijmali), dan tematik (maudhu’i).

Metode analisis itu bermacam-macam pula coraknya, salah satu diantaranya adalah corak adabi ijtima’i (budaya kemasyarakatan). Corak Adabi Ijtima’i adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi-segi maksud Allah dalam Al-Qur’an.

Didasarkan pada kemampuan manusiawi dengan menonjolkan sisi tujuan Al-Qur’an sebagai kitab hidayah yang membawa petunjuk Ilahiyah dalam menata apek-aspek sosial kemasyarakatan (Muhammad Ghufron, 2013).

Corak penafsiran Adabi Ijtima’i sebagai salah satu corak penafsiran yang menekankan pada aspek ketinggian gaya bahasa Al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemu’jizatannya.

Sebagaimana ujar Muhammad Abduh; “lebih baik memahami arti kata-kata dalam redaksi suatu ayat, dengan memperhatikan penggunaan Al-Qur’an terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Qur’an itu.”

Definisi yang jelas diungkapkan oleh Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi bahwa corak Adabi Ijtima’i merupakan bentuk tafsir yang menitikberatkan pada ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara detail kemudian menjelaskan makna-makna yang terkandung melalui gaya bahasa Al-Qur’an dengan proprosional, pada tahap berikutnya mufassir menghubungkan makna-makna tersebut dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada.

Argumentasi Munculnya Tafsir Adabi Ijtima’i

Lahirnya corak adabi ijtima’i dimulai dari tuntutan zaman yang semakin berkembang. Secara legitimate corak ini secara tidak langsung mengingatkan penulis pada potongan-potongan ayat afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala ta’lamu, afala tatadabbarun.

Selain anugerah wahyu, Tuhan juga menurunkan akal untuk kemudian mampu mengolahnya terhadap berragam jenis persoalan.

Baca Juga  Nuzulul Qur'an: Tanggal Berapa Al-Qur'an Sebenarnya Diturunkan?

Seorang tokoh yang gandrung dalam corak ini ialah Muhammad Abduh. Menurut Abduh,  kemunduran panjang Islam di era modern dipicu atas dua faktor. Ali Rahnema dalam bukunya “Perintis Zaman Baru Islam” mengutip Abduh bahwa kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh pihak eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat Muslim sekitar abad ke 18.

Abduh menegaskan bahwa Eropa harus dilawan karena prinsip mereka yang tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus. Mana yang dipercaya dan mana yang berkhianat. Mana yang benar dan mana yang berdusta.

***

Secara internal, kelemahan kaum muslimin disebabkan oleh perpecahan internal umat.  Yakni terpecahnya umat Muslim menjadi bangsa-bangsa kecil yang beragam sekte dan saling bertikai demi kesetiaan kepada pemimpin.

Ajaran Islam menunjukkan bahwa nasib yang menimpa orang-orang muslim merupakan cobaan dari Allah SWT, hukuman atas ketidaktaatan. Kemunduran Muslim merupakan hukuman yang dijanjikan Allah di dalam Al-Qur’an, (QS. [8]:46). Dan merajalelanya kebodohan dan ketidaktepatan dalam memahami iman yang berujung pada perpecahan sektarian, kemudian tertutupnya pintu ijtihad, serta kesalahan kebijakan dari pemimipin Islam.

Perlu dicatat bahwa sekalipun mengkritik keras Eropa dan Kristianitas Barat, ‘Abduh, dalam banyak hal, ia tertarik dengan pengetahuan dan kultur Eropa. Dia bahkan menguasai bahasa Francis, dan membaca banyak literatur serta filsafat Perancis.

Sehingga, percaya bahwa perubahan bahan bacaan dilakukan demi kebaikan dan kemajuan umat Muslim. Ia mengakui bahwa kemajuan Eropa itu sangat mengesankan, tapi tidak semua prestasi tersebut dapat diimpor kepada negara-negara non-Eropa dengan harapan berhasil.

Baca Juga  Bedanya Azab dan Musibah

Pada saat yang sama, ia percaya bahwa perubahan harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Pembaharuan harus terjadi dalam diri Islam sendiri, dan bukan dengan cara membangun sistem baru yang asing.

Dari dua asumsi Abduh di atas, merupakan sebuah kritik terhadap kemorosotan umat Islam. Kondisi umat Islam pada saat itu tidak berkembang, stagnan dan enggan menggunakan rasio secara proporsional.

Kritik terhadap kondisi sosio-politik di atas nantinya memunculkan sebuah kritik sosial melalui tulisan yang dikenal dengan majalah al-Manar, yang di kemudian hari menjadi Tafsir al-Manar yang merupakan karya dari Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.

Tafsir al-Manar merupakan tafsir dengan corak baru yang dikenal dengan istilah Adabi Ijtima’i (budaya kemasyarakatan) sebagai jawaban dari tantangan zaman yang ada pada saat itu.

Respon Terhadap Nilai-Nilai Universal

Dalam poin ini, penulis hanya menjelaskan beberapa nilai universal yang disorot melalui corak Adabi Ijtima’i, antara lain keadilan dan kooperatif. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un ayat 1-3 tentang keadilan dan QS. Al-Ashr ayat 3 tentang toleransi.

Q.S Al-Ma’un: 1-3 (Menjadi Adil, tidak Zalim)

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِاالدِّيْنِ . فَذَلِكَ الّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ . وَلاَيَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ

Tahukah kamu siapa yang mendustakan agama? Itulah dia yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Dalam surah ini, Allah Swt ingin memberitahu kita tentang siapakah yang layak disebut sebagai pendusta agama, agar orang yang membenarkan agama dapat mengetahuinya secara jelas.

Ayat فَذَلِكَ الّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ (itulah orang yang menghardik anak yatim), yakni yang mengusir si yatim atau mengeluarkan ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap dirinya lebih kuat dan mulia.

Baca Juga  Fenomena Dua Laut yang Tidak Menyatu Perspektif Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dan Fisika Modern

Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan keperluan pada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan pertolongan (Abduh, 1999).

Dengan demikian, yang tidak mau mengakui hak orang lain, disebabkan merasa kuat dengan harta maupun kedudukannya, setiap manusia yang berperilaku zalim dan suka melanggar hak-hak orang lain adalah pendusta agama.

Pada ayat selanjutnya, disebutkan bahwa sifat lain dari seorang pendusta agama adalah tidak mau mengajak atau menganjurkan orang lain untuk memberi makan kaum miskin.

Q.S Al-Ashr: 3 (Kooperatif kunci kemajuan)

وَتَوَاصَوْا بِاالْحَقِّ وَتَوَاصَوْابِالصَّبْرِ…

Mereka saling menasihati agar berpegang pada kebenaran dan saling menasehati agar berpegang pada kesabaran”

Potongan dari ayat tersebut adalah وَتَوَاصَوْابِالصَّبْرِ. Kesabaran adalah suatu kekuatan kejiwaan yang membuat orang menjadi tabah ketika menghadapi kesulitan dalam melaksanakan pekerjaan yang baik, dan lain-lain.

Sabar dan tabah adalah syarat utama untuk meraih keselamatan, serta menasihati orang lain agar untuk bersabar. Seraya mendorongnya agar menyempurnakan potensi dirinya dengan keutamaan keagamaan juga merupakan inti dari sifat-sifat kebaikan itu sendiri.

Sehubungan dengan pentingnya isi surah ini, terdapat riwayat yang mengatakan bahwa setiap kali dua orang di antara para sahabat Nabi saw bertemu, mereka tidak akan berpisah sebelum salah satu dari mereka membacakan surah ini kepada yang lain.

Kemudian, seseorang dari mereka mengucapkan salam kepada yang lainnya. Hal ini adalah agar masing-masing mengingatkan temannya tentang apa yang wajib ia lakukan dan tinggalkan.

Wallahu ‘alam

Iftahul Digarizki
8 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds