Pada tahun 2015 setelah empat periode berkarir di lapangan politik yang landai-landai saja itu, saya kembali ke PP Muhammadiyah dan terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 2015. Saya memilih menjadi Ketua Bidang Kebencanaan, Pemberdayaan Masyarakat, Lingkungan, dan Lazismu yang saya rasa agak jauh dari politik. Saya mengajak Agus untuk bergabung lagi di Muhammadiyah secara formal. Sesuai dengan jiwa filantropisme dan semangat voluntarianisme (kerelawanan)-nya yang luar biasa tinggi itu, dia bersedia menjadi Wakil Ketua Badan Pengurus Lazismu Muhammadiyah Pusat.
Bergabung Lazismu
Saya surprise sekali ketika bersama dengan para pengurus Lazsimu lainnya yang diketuai oleh Hilman Latif, seorang PhD muda di bidang Filantropi, Agus mengantarkan Lazismu menjadi lembaga zakat terbesar di Indonesia sejak 2017! Meski masih tetap aktif dengan hobi lamanya mengorganisasi dan menggerakkan demonstrasi menentang apa saja yang dipandangnya sebagai kemunkaran, Agus sangat bersungguh-sungguh dengan Lazismu.
Bersama teman-temannya di Lazismu, Agus sangatlah gigih membuat program-program dan agenda kemanusiaan. Agus mengadakan Kapal Klinik yang kemudian diberi nama Kapal Klinik Said Tuhulele yang berharga milyaran rupiyah itu dan kemudian dikirimkan ke Ambon, Maluku, untuk memberikan pelayanan kesehatan dari pulau ke pulau.
Dalam acara peresmian beroperasianya Rumah Sakit Klinik Said Tuhulele di Ambon itu, Agus sendiri sepertinya sengaja tidak hadir. Dia lebih suka berada di balik layar saja. Perlu dicatat, Said Tuhulele adalah teman Agus sebagai sesama aktivis yang sempat menjadi Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Yogyakarta, HMI Cabang Yogyakarta, dan kemudian Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah untuk beberapa periode.
Menyaksikan Aksi 212
Kami tetap menjadi sering bersama, terutama setelah Agus bergabung di Lazismu. Hampir setiap minggu kami berdua berburu Mie Jawa di Jakarta, seperti Mie Jawa Mas Tok Yogya, Mie Jawa Mbah Surip, atau Mie Rebus Siaga, (Agus sangat anti mie instan), tapi Agus mulai jarang membicarakan aksi-aksi demonstrasinya dan isu-isu politik seperti biasanya. Padahal, dia tahu banyak soal isu-isu politik. Apalagi dia juga sangat dekat dengan beberapa teman lamanya yang berkecimpung dalam lembaga-lembaga survei. Agus selama ini memang tidak begitu menganggap dan memperlakukan saya sebagai politisi. Bahkan, dia beberapa kali mengatakan kepada saya dengan penuh keyakinan bahwa “Kamu itu bukan politisi! Mul juga bilang begitu tentang kamu kepada saya.” Mul di sini maksudnya adalah Moelyana W Kusuma, teman akrab Agus yang sangat setia satu sama lain.
Pada suatu pagi kami telpon-telponan untuk sekadar bercerita bahwa dia sedang menyuci baju seabrek, dan setelah itu mau mengajak saya naik KRL menyaksikan Aksi 212. Pasalnya, pada hari itu akan sulit sekali mendekati kawasan Monas jika membawa mobil sendiri. Kami berdua berdesakan naik kereta api KRL dari stasiun Pasar Minggu yang dekat sekali dengan rumah kami. Sak jek jumbleg saya baru sekali itu naik KRL. KRL penuh sesak dengan masa yang berpakaian serba putih. Rupanya, ada banyak juga yang mengenal saya sebagai mantan Wakil Ketua MPR. Kami banyak diajak foto-foto selfi bersama di dalam gerbong KA. Sesekali Agus berteriak, “takbir…!!!” dan disambut oleh masa di dalam kereta dengan, “Allahu akbar!” Dia berbahagia sekali dan saya melihatnya dia sesekali tertawa terkekeh.
Ketika kereta sampai di stasiun Manggarai saya melihat jalan-jalan sudah penuh sesak dengan massa. Apalagi ketika kereta mulai memasuki kawasan Menteng. Kereta terus melaju di atas jalan layang menuju Gambir: dari atas kereta kami berdecak menikmati pemandangan yang sangat menakjubkan. Sampai di stasiun Juanda para penumpang KA nyaris sudah turun semua, dan kereta menjadi kosong. Saya dan Agus meneruskan perjalanan dengan gerbong yang sudah kosong itu menuju Stasiun Kota sambil mengamati situasi Jakarta. Sesampai di Stasiun Kota kami turun dan sempat makan pagi di sana. Beberapa saat kemudian kami kembali lagi menuju arah Gambir. Kereta melewati lagi kawasan Monas yang sudah penuh masa.
Di Kantor PP Muhammadiyah
Akhirnya, kami turun di stasiun Gondangdia, berjalan melewati lorong-lorong dan jalan di sekitar stasiun Gondangdia yang juga sudah penuh sesak dengan massa yang membentuk shaf shalat Jumat. Waktu itu sekitar jam 11.00. Kami berjalan beringsut melewati lautan massa yang penuh sesak itu dengan melepas sepatu karena mesti menginjak tikar atau sajadah para jamaah.
Hampir satu jam kami baru sampai kantor PP Muhammadiyah di Jl Menteng Raya 62 yang jaraknya dari stasiun Gondangdia sebenarnya hanya seratusan meter itu. Rupanya, gedung Dakwah Muhammadiyah juga penuh sesak dengan masa yang kelihatannya datang dari berbagai daerah. Mereka menumpang mandi dan beristrahat di sana.
Di halaman banyak sekali ambulance kesehatan dari berbagai PKU Muhammadiyah dan mobil-mobil lapangan MDMC yang dikoordinir Lazismu untuk memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Agus sebagai pribadi yang sangat peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan sangat berbahagia menyaksikan itu semua. Bersambung
Editor: Arif