Dalam beberapa waktu terakhir, kita akrab dengan kata “radikal”, diksi yang dinilai negatif oleh banyak orang. Secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, radix/radici, yang berarti akar, sumber, atau asal mula. Istilah radikal memiliki arti ekstrem, menyeluruh fanatik, revolusioner, fundamental. Sedangkan radikalisme adalah doktrin atau praktek yang menganut paham radikal (Widiana, 2012).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007), radikalisme adalah (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Menurut Kamus Politik, yang dimaksud radikal adalah orang yang ingin membawa ide-ide politiknya ke akar-akarnya, dan mempertegas dengan cara yang sempurna doktrin-doktrin yang dihasilkan oleh usaha tersebut.
Namun, bagaimana dengan KH. Ahmad Dahlan? Muhammad Darwisy, nama kecil Ahmad Dahlan, merupakan tokoh pahlawan nasional yang mampu membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Dari meluruskan arah kiblat, hingga memadukan ilmu agama dengan sains yang masih dianggap suatu yang aneh di kala itu.
Tetapi, berkat keradikalan KH. Ahmad Dahlan itu, kini lahirlah gerakan yang bernama Muhammadiyah yang bergerak di bidang dakwah Islam, pendidikan, hingga kesehatan. Tetapi apa makna radikal yang dimiliki oleh Kiai Dahlan? Tentunya bukanlah sifat ekstrim yang cenderung memiliki unsur kekerasan ataupun teror dengan dalih agama, tapi radikal dengan makna yang berbeda. Sehingga, membuat banyak rakyat Indonesia merasakan dampaknya hingga kini. Radikal yang ada dalam diri Kiai Dahlan adalah rajin, terdidik, dan berakal, merupakan kepanjangan dari radikal.
Sifat Rajin Muhammad Darwisy
KH. Ahmad Dahlan, anak keempat dari tujuh orang bersaudara, yang lahir dari pasangan KH. Abu Bakar dan Siti Aminah, merupakan anak yang rajin di masa mudanya. Di umur delapan tahun, Muhammad Darwisy sudah lancar dan tamat membaca Al-Qur’an. Dahlan kecil juga anak yang tekun. Ia gemar membuat kerajinan dan membuat mainan sendiri, seperti layang-layang. Sehingga bisa dibilang, Kiai Dahlan merupakan anak yang ulet dan tekun sedari kecilnya.
Selain itu, KH. Ahmad Dahlan merupakan sosok yang selalu ‘haus’ akan ilmu. Di usia remajanya, ia berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar ilmu agama. Sebagaimana yang kita ketahui, di Mekkah, Kiai Dahlan belajar dari Syeh Ahmad Khatib, Muhammad Abduh, Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, dan Rasyid Ridha.
Sehingga dengan berkat ketekunannya tersebut, KH. Ahmad Dahlan mendapatkan ilmu yang mumpuni, dan membawa pulang ke tanah air dari apa yang telah ia pelajari, juga membawa nama baru, yakni Ahmad Dahlan. Berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, membuatnya menjadi sosok yang berpikiran terbuka.
Namun, ketika kembali, banyak penolakan yang datang kepadanya, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Lalu Kiai Dahlan memutuskan kembali ke Mekkah pada tahun 1903 untuk menimba ilmu, dua tahun kemudian ia pulang dan menikahi Nyai Walidah. Di tanah air pun, KH. Ahmad Dahlan masih rajin meniti ilmu, hingga bergabung dengan Budi Oetomo (1909). Kerajinannya dalam mengembangkan pengetahuan yang dimiliki, membuat beliau menjadi orang yang cerdas, serta kegigihannya dalam bergelut dengan dunia pendidikan membuatnya mendirikan madrasah (sekolah).
Ini tak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kerajinan yang tinggi. Ketekunannya dalam membina santri (murid), membuat Kiai Dahlan menjadi salah satu tokoh berpengaruh di negeri ini. Bagaimana tidak, ribuan sekolah dan besarnya Persyarikatan Muhammadiyah, lahir berkat pemikiran dan keuletan Kiai Dahlan.
KH. Ahmad Dahlan Terdidik Sejak Kecil
Selain memiliki kerajinan, Kiai Dahlan merupakan orang yang berpendidikan dan terdidik sedari kecil. Bagaimana tidak, lelaki yang lahir pada 1 Agustus 1868 ini merupakan anak dari seorang pemuka agama di Kauman, KH. Abu Bakar. Sebagaimana yang kita tau, KH. Abu Bakar merupakan khatib di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta di era Hindia Belanda. KH. Ahmad Dahlan yang mengenyam pendidikan di pesantren, lalu melanjutkan studinya di Mekkah, sudah pastilah beliau merupakan orang yang terdidik dan berpendidikan.
Kita mungkin sudah pernah menyaksikan kisahnya di film Sang Pencerah (2010). Di mana, Kiai Dahlan mengimplementasikan apa yang ada di dalam Al-Qur’an dalam kehidupan. Melalui surat Al Ma’un, KH. Ahmad Dahlan menunjukan agama Islam sesungguhnya merupakan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tentunya dengan cara dan praktik nyata. Sehingga, Al-Qur’an bukan hanya sekadar untuk dibaca, namun apa yang ada dalam Al-Qur’an diamalkan dalam kehidupan. Ia juga memurnikan ajaran Islam yang di kala itu masih bercampur dengan kesyirikan, serta kesalahan dalam memahami Islam.
Melalui berbagai aksi yang dilakukannya, KH. Ahmad Dahlan mampu memberikan pendidikan dengan teladan. Sehingga, Kiai Dahlan merupakan Kiai yang terdidik secara agama (Islam), serta sosial. Seperti yang kita ketahui, Kiai Dahlan memiliki kepekaan sosial yang luar biasa di masa itu. KH. Ahmad Dahlan mampu menerobos apa yang di sebut sebagai sebuah kebiasaan yang dinilainya bukan esensi dalam beragama, serta tidak adanya tuntunan terkait hal itu.
Sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai hal sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran dan Kiai Dahlan mampu keluar dan memberikan pemahaman yang logis (masuk akal) serta sesuai dengan Islam. Oleh karenanya, Kiai Ahmad Dahlan dihina dan di cap “kafir”, tetapi berkat budi pekerti yang luhur.
Kiai Dahlan menyikapinya dengan cara yang santun melalui kecerdasan yang ia miliki, ini menandakan bahwa beliau merupakan orang yang terdidik. Terdidik secara iman, juga terdidik secara akhlak, sehingga patutlah banyak orang yang menjadikannya sebagai panutan hingga kini.
Muhammad Darwisy Adalah Orang Berakal
Saat remaja banyak hal yang di rasa Kiai Dahlan kurang pas di hati dan pikirannya, sehingga menimbulkan pertentangan pemikiran KH. Ahmad Dahlan dengan berbagai tokoh Kauman waktu itu. Muhammad Darwisy pun curhat kepada ayahandanya, KH. Abu Bakar. Namun, KH. Abu Bakar menyampaikan “Bahwa agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati.” Jawaban yang masih membuat hati Darwisy tidak tenang, sehingga membuatnya ingin belajar ke Mekkah.
Di Mekkah, Darwisy membaca pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Muhammad Abduh (1849-1905), seorang pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Sebagaimana dalam Surat Al Baqarah ayat 30-34 yang menjelaskan tentang kejadian manusia, yang di dalamnya jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah karena manusia mempunyai akal. Berkat kekuatan akalnya, manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi).
Muhammad Abduh yang memiliki prinsip bahwa kebebasan berpikir serta berinovasi merupakan modal untuk kemajuan bangsa. Ternyata, pemikiran Abduh sejalan dengan Ahmad Dahlan. Kiai Ahmad Dahlan membawa perubahan di Kauman setelah ia pulang dari Mekkah. Melalui mimbar Masjid Gedhe Kauman, KH. Ahmad Dahlan menyampaikan gagasannya melalui ceramah yang agak berbeda dengan para kiai Kauman waktu itu.
KH. Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa Al-Qur’an dapat dikaji sesuai dengan nuansa kekinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja, tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah keluar dari pakem. Berkat ilmu bumi (falak) dan penggunaan kompas yang dikuasainya, Kiai Dahlan merubah arah kiblat Masjid Gedhe sekaligus arah kiblat bangsa.
Yang mana sebelumnya, ia mempertanyakan arah salat yang sudah bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran, ternyata salah arah. Hal ini membuat hampir semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai Kiai Dahlan, kisah ini membuat kita teringat salah satu ayat pada Surat Al-Baqarah ‘tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar’.
***
Dari sifat rajin, terdidik, dan berakal (radikal) yang dimiliki oleh KH. Ahmad Dahlan itulah, lahir sebuah Persyarikatan yang mempunyai ribuan amal usaha bernama Muhammadiyah. Radikalnya KH. Ahmad Dahlan membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia, terutama umat Islam. Karena dapat mengangkat kaum muslim kala itu bangkit dari kebodohan dan pembodohan yang ada, serta memberikan banyak manfaat bagi sesama melalui teologi Al-Ma’un. Oleh sebab itu, keradikalan KH. Ahmad Dahlan ini haruslah kita teladani yang tentunya menjadi gerak langkah organisasi yang didirikannya, Muhammadiyah.
Radikal yang bermakna negatif, dapat kita ubah menjadi bermakna positif. Kita semua dan juga KH. Ahmad Dahlan pastilah menolak dan menentang tindak kekerasan apapun, apalagi yang mengatasnamakan agama. Karena dalam Islam, sesungguhnya mengandung nilai kasih sayang terhadap semua makhluk (rahmatan lil ‘alamin), yang diwujudkan oleh KH. Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah yang lahir dari sifat radikal (rajin, terdidik, dan berakal) yang dimiliki oleh Muhammad Darwisy.
Editor: Yahya FR