Setiap dari kita tentu memahami bahwa kebebasan berkeyakinan adalah hak setiap manusia. Namun, sayangnya hal itu hanya berlaku di alam pikiran. Ketika telah berada di lapangan, sering terjadi pengkhianatan. Kebebasan berkeyakinan yang awalnya diyakini tiba-tiba gugur dan malah digugat.
Penggugatan terhadap kebebasan berkeyakinan itu bahkan telah jadi pemandangan yang lumrah di Indonesia. Cukup banyak kejadian yang menayangkan perilaku tersebut. Mereka dengan tanpa rasa bersalah dan atas nama “membersihkan Indonesia dari aliran sesat”, melakukan penindasan dan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap “menyimpang”.
Atasnya, memperjuangkan dan membela hak seseorang untuk berkeyakinan adalah hal yang mesti terus digalakkan dan dilakukan. Karena hingga dengan saat ini, kebebasan berkeyakinan, khususnya di Indonesia, masih menjadi barang mahal seiring dengan merebaknya para “polisi keyakinan”.
Didorong rasa oleh prihatin, seorang cendekiawan muda Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani, hadir untuk turut membela kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Perjuangannya dan pembelaannya terhadap mereka yang tertindas dapat kita lihat dari beberapa karya yang ditulisnya. Ia dengan tegas dan lantang menentang segala bentuk penindasan yang mengganggu hak seseorang untuk berkeyakinan.
Ahmad Najib Burhani
Nama lengkapnya adalah Ahmad Najib Burhani. Ia lahir di Blitar pada 27 April 1976. Najib merupakan anak dari buah perkawinan Umar Yusuf dan Muthmainnah Yusuf. Di kemudian hari, ia menikah dengan Tuti Alawiyah, adik tingkatnya semasa kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia dikarunai tiga orang putri: Hamia Sophia Fatima, Faira Nahla Ophelia dan Athifa Zara Izzati.
Najib memulai pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah Wahid Hasyim II Gandekan, Blitar. Kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di MTSN Kunir Srengat Blitar dan MAN PK Jember. Lepas MAN PK, ia hijrah ke Jakarta dan mengambil studi S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin, pada jurusan Akidah dan Filsafat Islam.
Saat kuliah di UIN Jakarta inilah, Najib aktif menjadi aktivis persyarikatan Muhammadiyah, khususnya setelah masuk Ikatan Mahasiswa Muhammmadiyah (IMM) Cabang Ciputat. Ia menjatuhkan pilihannya pada IMM setelah sebelumnya dilema memilih antara IMM atau HMI. Di IMM Cabang Ciputat, Najib cukup banyak berkenalan dengan senior-senior IMM yang kelak menjadi tokoh sentral di Muhammadiyah, salah satunya adalah Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammmadiyah dua periode: 2005-2010 dan 2010-2015.
Usai menyelesaikan studi S1 di UIN Jakarta, Najib kemudian mengambil program magisternya di dua kampus yang berbeda: University of Manchester, Inggris untuk bidang Sosial Research Methods & Statistics dan Universiteit Leiden, Belanda untuk bidang Islamic Studies.
Adapun untuk gelar PhD (philoshopy doctoral), Najib memperolehnya dari University of California-Santa Barbara (UCSB) di bidang Religious Studies dengan judul disertasi “When Muslims are Not Muslims: The Ahmadiyya Community dan The Discourse on Herecy in Indonesia”. (Burhani: 2019)
Menemani Minoritas untuk Kebebasan Berkeyakinan
Dalam beberapa forum diskusi atau seminar yang penulis ikuti, Najib berulang kali dan tak jenuh-jenuhnya mengatakan kalau membela mereka yang minoritas merupakan panggilan agama. Inilah barangkali yang khas dengan peneliti LIPI satu ini dalam membela dan menemani minoritas. Ia selalu ‘berdampingan’ dengan agama.
Alasannya mungkin dapat kita tilik pada catatannya di dalam buku “Dilema Minoritas di Indonesia”. Ia mengutip pernyataan Robert W. Hefner yang menyebutkan bahwa sejauh ini menemani minoritas “bisa jadi oleh sebagian warga negara dinilai sebagai wacana yang kering dan kosong. Karena dianggap terlalu jauh dari nilai-nilai warga negara yang berdasar atas agama yang dimiliki masyarakat itu.” (hal. xxxiv)
Pernyataan itulah yang menggugah dan menggerakkan Najib untuk selalu ‘bergandengan’ dengan agama ketika membela minoritas. Dalam hal ini adalah agama Islam. Dan langkah Najib ini, menurut penulis, adalah langkah yang tepat. Mengingat kultur masyarakat Indonesia yang kental dan senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama.
Pendampingan Ahmad Najib Burhani terhadap kelompok minoritas, tertindas dan dilemahkan terlihat dengan jelas saat terjadi penyerangan terhadap korban tindakan diskriminatif dari kalangan Syi’ah di Solo dan penghayat kepecayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan. Ia dengan sigap memberikan penjelasan dan pencerahan kepada publik bahwa tindakan mereka yang menyerang adalah salah. Kendatipun dilakukan atas nama Tuhan dan agama.
Minoritas adalah Mustadh’afin
Dalam Islam, mustadh’afin adalah pihak yang harus selalu diperhatikan dan dibela hak dan kepentingannya. Namun sayang, sebagaimana jelas Najib, sejauh ini mustadh’afin hanya dibatasi pada kalangan fakir miskin. Padahal makna aslinya tidak sesempit itu. Mustadh’afin meliputi mereka yang tertindas, dilemahkan, didiskriminasi dan disubordinasi (Burhani: 2019). Karena itulah Najib kemudian juga menambahkan kelompok minoritas masuk dalam kategori mustadh’afin. Dan sebagai konsekuensinya, ia harus dibela.
Lewat pemikirannya tersebut, Najib mengumumkan kepada umat Islam bahwa melakukan pembelaan terhadap kelompok minoritas adalah seruan tauhid dan juga Islam. Karenanya tidak dibenarkan jika ada pihak yang mengatasnamakan “Islam” lalu kemudian melakukan penindasan dan diskriminasi terhadap mereka yang minoritas. Lagi pula, membela mereka yang minoritas, juga merupakan bukti kesetiaan kita kepada Sila ke-5 dari Pancasila, yaitu: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Editor: Nabhan