Perspektif

Enggan Bertanya, Menutup Pintu Ilmu

4 Mins read

Dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn), salah satu materi yang diajarkan adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dari sekian hak dan kewajiban yang sudah diatur dalam dasar negara dan konstitusi negara Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, salah satunya adalah kemerdekaan mengeluarkan pendapat dengan lisan yang tertuang dalam pasal 28. Lalu apa hubungannya dengan enggan bertanya?

Kemerdekaan mengeluarkan pendapat dengan lisan berarti warga negara Indonesia memiliki kebebasan untuk mengutarakan pikiran atau argumentasinya masing-masing. Tak peduli profesi, gender, ataupun tinggi-rendahnya status sosial yang dimiliki. Tanpa pandang bulu. Karena dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hak dan kewajiban warga negara harus dapat terus berlangsung secara seimbang dan dilindungi undang-undang.

Hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat dengan lisan bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pelajar, kewajiban yang wajib dijalani adalah belajar. Nah, dalam proses belajar tersebut hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat dengan lisan dapat dipraktikkan.

Ironi dalam Praktik Mengeluarkan Pendapat

Jika pembaca perhatikan, hampir setiap akhir jam pelajaran para guru seringkali akan melontarkan kalimat, “Ada pertanyaan?” ataupun kalimat serupa yang merujuk pada inti yang sama. Kesempatan yang diberikan oleh para guru secara cuma-cuma sudah seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Karena kesempatan belum tentu datang dua kali.

Tetapi, ada sesuatu yang aneh saat giliran guru melontarkan kalimat “Ada pertanyaan?” Sebab dalam sekejap saja, suasana kelas mendadak sepi. Ada juga beberapa murid yang tiba-tiba menulis dan membaca buku, atau menundukkan kepala seolah-olah sedang berusaha menghindari kontak mata dengan gurunya. Sebenarnya, ada apa gerangan dengan suasana kelas yang mendadak menjadi senyap sunyi dan tingkah laku beberapa murid yang menjadi aneh?

Baca Juga  Ali bin Abi Thalib: Ilmu Lebih Utama dari Harta

Kalau membahas tentang hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat dengan lisan, saya jadi teringat dengan sepenggal kisah akhir jam pelajaran Muthola’ah di kelas saya beberapa waktu lalu. Saat itu, Ustaz Azzam Mushoffa, guru Muthola’ah kelas XII melontarkan kalimat sakti: “Ada pertanyaan?”, seperti guru-guru lain sering lakukan.

Namun, seperti kejadian yang sudah-sudah, suasana kelas seketika itu menjadi hening, mengalahkan keheningan suasana upacara mingguan yang berjalan dengan khidmatnya, juga mengalahkan keheningan suasana sholat berjamaah yang berjalan dengan khusyuk. Ironis sekali bukan?

Demi menghalau keheningan yang melanda kelas, Ustaz Azzam kemudian mulai bercerita. Cerita tentang zaman kolonial Belanda. Loh, lagi pelajaran Muthola’ah, kok membahas zaman kolonial? Sudah macam guru sejarah saja. Sebentar, tenang dulu, jangan emosi.

Menurut Ustaz Azzam, bisa jadi kebiasaan murid-murid di kelas yang enggan bertanya itu merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia yang mengalami penjajahan oleh kolonial Belanda. Salah satu kebijakan yang diterapkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda adalah larangan bagi murid untuk bertanya. Secara tidak langsung, tradisi ini telah membentuk kebiasaan murid untuk tidak merasa penasaran terhadap sesuatu. Murid dipaksa untuk menerima apa yang guru ajarkan dan katakan tanpa boleh mendebatnya sedikitpun.

Tetapi, apakah kebiasaan tersebut benar-benar terkait dengan tradisi zaman kolonial Belanda dahulu? Atau mungkin ada faktor lain sebagai penyebabnya, yang perlu diteliti lebih detail lagi.

Empat Tipe Pelajar

Kalau diamati, ada empat tipe pelajar, yaitu: yang pertama, orang yang belum paham dan kebingungan dengan apa yang mau ditanyakan. Kedua, orang yang mungkin sudah merasa paham, tetapi masih mengalami kebingungan dengan apa yang mau ditanyakan. Ketiga, orang yang malas dan enggan bertanya; dan yang terakhir, orang yang merasa bahwa bertanya merupakan hal yang tidak penting.

Baca Juga  Iman dan Ilmu (1): Benang Ariadne dalam Labirin Kehidupan

Tipe orang pertama dan kedua sebenarnya sama-sama belum paham. Loh, tahu dari mana kalau mereka belum paham? Tipe orang pertama dan kedua terlihat sama-sama kebingungan dengan apa yang mau ditanyakan.

Kata para ahli, di antaranya sahabat Nabi Muhammad Saw., Ibnu Mas’ud Ra., kemampuan bertanya itu menandai bahwa si penanya memahami apa-apa yang telah disampaikan. Bukan hanya sebatas tahu saja. Karena kemampuan mengajukan pertanyaan itu adalah separuh dari pengetahuan. Hal ini terlihat dari kemampuan si penanya dalam merangkai kalimat pertanyaan yang diajukan. Jadi, kalau ada pelajar yang sudah merasa paham dengan sesuatu, tetapi belum bisa menjelaskan kembali, tandanya pelajar tersebut hanya sebatas tahu dan belum paham.

Contoh mudahnya adalah ketika si pelajar ditanya: “Apakah sudah paham?” Lalu, si pelajar itu menjawab sudah, jika sudah merasa paham; dan belum, jika belum merasa paham. Tetapi, ketika sang guru memberi kesempatan untuk bertanya, si pelajar bingung mau bertanya apa. Sedangkan ketika diminta untuk menjelaskanpun, ternyata sama bingungnya.

Enggan Bertanya, Menutup Pintu Ilmu

Ngomong-ngomong tentang tipe-tipe pelajar di atas, jangan sampai kita termasuk tipe pelajar ketiga dan keempat. Semisal di antara kita ada yang merasa malas ataupun menganggap bahwa bertanya merupakan hal yang tidak penting, segara buanglah rasa malas tersebut. Tanamkan dalam mindset dan diri kita bahwa ‘bertanya itu penting dan bermanfaat’. Karena seorang pelajar yang baik itu, jika belum paham sesuatu, akan selalu berusaha memahami dan mendalaminya. Jika telah paham akan mengkonfirmasi—dengan bertanya dan membaca sumber-sumber lain—dan seraya mendalaminya.

Ada hal yang perlu kita ingat, bahwa enggan bertanya sungguh berarti kita telah menutup pintu ilmu. Kenapa? Karena ketika guru menjawab suatu pertanyaan, sangat mungkin beliau menjelaskan dari pengetahuan dan wawasannya yang luas, hasil pemikiran dan bacaannya. Dengan bertanya, kita membuka pintu ilmu. Kita memperoleh pengetahuan dan wawasan dari jawaban guru tersebut.

Baca Juga  Salah Kaprah Kita terhadap Orientalisme

Oh iya, ada satu hal lagi yang perlu kita ingat. Hadir di majelis ilmu itu penting, karena seorang pelajar dan guru yang hadir memiliki keutamaan yang tinggi di sisi Allah. Apalagi jika dilanjutkan dengan bertanya. Maka, yang lahir adalah cahaya keilmuan dan keberkahan. Jadi, selain menambah wawasan dan pengetahuan, bertanya juga mendatangkan keberkahan bagi kita.

Bahkan dalam hadits riwayat Anas bin Malik Ra., orang yang mencari ilmu karena Allah Swt., bagaikan seorang yang berpuasa di siang hari dan bertahajjud di malam harinya. Dan sesungguhnya pintu majlis ilmu yang dimasuki seorang pelajar untuk belajar di dalamnya lebih baik dari pada bersedekah di jalan Allah Swt., dengan emas segunung.

Terakhir, marilah kita membiasakan bertanya tentang sesuatu yang belum kita pahami atau mengkonfirmasi sesuatu yang telah kita pahami. Karena seorang pelajar yang bertanya adalah pembelajar yang sejati, sebab ia haus ilmu, pengetahuan, dan wawasan.

Editor: Nabhan

Avatar
15 posts

About author
Sekretaris Bidang Pers dan Jurnalistik Badan Eksekutif Siswa Madrasah Aliyah Al-Ishlah (BESMA), 2019/2020; Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan Jawa Timur
Articles
Related posts
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…
Perspektif

Salahkah Jika Non Muslim Ikut Berburu Takjil?

3 Mins read
Seluruh umat Muslim di seluruh dunia beramai-ramai melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bahkan tidak jarang dari mereka yang melakukan tradisi ngabuburit…
Perspektif

Empat Nilai Puasa Ramadhan yang Membawa Kita Pada Ketakwaan

3 Mins read
Puasa bulan Ramadhan adalah salah satu pilar Islam (rukun Islam). Ia adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Tujuan berpuasa adalah agar para pelakunya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *