“Warna jernih menunjukan konsumsi air minum anda tercukupi, kuning berarti asupan air anda cukup tapi perlu diperbanyak, kuning pekat artinya anda kurang minum. “
Demikian bunyi pada stiker yang saya lihat di salah satu toilet sebuah gedung perkantoran. Mungkin anda pun sering menemukan stiker tersebut. Ya, itu adalah stiker warna urine sebagai indikator kecukupan kita mengkonsumsi air.
Saya menduga masyarakat kita banyak mengidap berbagai penyakit yang disebabkan kurangnya minum air putih misal lemas, pusing, sakit otot hingga gangguan ginjal. Karenanya, stiker itu jadi perlu untuk ditempel di banyak toilet umum seperti di rumah sakit, mall, perkantoran atau restoran. Ia menjadi kampanye agar masyarakat memperhatikan jumlah konsumsi air minumnya.
Meski banyak yang memproduksi stiker demikian, karena informasi yang disampaikan perihal medis maka saya yakin kampanye itu pasti diinisiasi oleh otoritas Kesehatan-dokter, lembaga kesehatan, organisasi terkait bahkan pemerintah. Siapa lagi yang paling peduli– kalau tidak disebut bertanggung jawab – soal itu selain mereka.
Menariknya, Indonesia adalah negara dengan sumber mata air yang melimpah. Sebutkan satu saja provinsi yang tidak memiliki pegunungan? Semua ada. Kita tahu setiap pegunungan menyembunyikan mata air di dalamnya. Ini pun menimbulkan pertanyaan, di negeri dengan air melimpah seperti ini bagaimana bisa masyarakatnya kekurangan minum?
Kampanye Minum Air Putih
Di beberapa negara-negara maju, akses air minum sangat mudah bahkan gratis misal Selandia Baru dan beberapa kota di Eropa. Di sana kita bisa meminum dari air keran. Keran air minum pun banyak tersedia di tempat-tempat umum. Intinya, kita tak usah khawatir sebab air “PDAM” di sana higenis. Maka, tak ada alasan masyarakatnya kekurangan air minum.
Kampanye minum air putih seperti di Indonesia pun ada di negara-negara maju itu. Saya bahkan pernah melihat indikator warna urin menjadi visual sebuah kaos di salah satu toko busana di kota Brussel. Tapi entah kenapa pesan yang saya tangkap dari stiker di sana dan di Indonesia berbeda.
Ketika saya membacanya seolah saya menangkap pesan ” Hai masyarakat, banyak-banyaklah minum air putih, bukankan pemerintah telah meyediakan akses dengan sangat mudah bahkan gratis”. Tapi ketika membaca stiker yang sama di Indonesia yang saya tangkap adalah ” Hai masyarakat, minumlah air putih yang banyak, jika kesulitan kalian bisa beli di toko tedekat”.
Kapitalisasi Air Minum
Beberapa waktu lalu saya dan istri makan di sebuah restoran bakso ternama, setelah memesan makanan, saya pun order minuman Di menu tersedia minuman bermacam-macam jenis dan rasa, tapi tak ada yang menjadi pilihan sebab saya sedang ingin air putih. Saya pun minta air putih pada pelayan. Apa jawabanya? ” Kita adanya air mineral botolan ya pak”.
Anda tahu artinya bukan? Ya, saya harus beli air minum kemasan. Kejadian serupa mungkin pernah anda alami.
Di sisi lain, harga air kemasan tak lebih murah dari minuman-minumal lain, bahkan bisa lebih mahal. Harga satu botolnya (600 ml) kadang lebih mahal dari harga segelas es jeruk lemon. Maka saat saya makan di sebuah rumah makan, kadang pilihan minuman jatuh pada apapun selain air kemasan.
Pilihan saya itu tak selalu mengejar kenikmatan rasa minuman, tapi karena harga air kemasan tak beda jauh dengan minuman-minuman itu. Andai saja jauh lebih murah, saya mungkin tak ragu memilih air kemasan, atau dua-duanya.
Mungkin anda bisa membantah. Ya jangan beli air kemasan di luar, sediakan saja air mineral 19 liter di rumah. Harganya lebih murah, hanya dengan 20 ribu sudah dapat gunakan selama satu minggu. Ada juga yang lebih murah dengan merek lain. Bahkan, yang lebih murah juga ada, yaitu air isi ulang yang harganya kurang dari 10 ribu. Ada juga yang hanya lima ribuan.
Oke, jika anda berfikir demikian, saya hanya bisa tersenyum. Jadi, sekarang anda membela kapitalisasi air? Itu namanya perang harga industri air bukan?
Masyarakat Bawah
Bagi masyarakat miskin, sumber air minum mau tak mau adalah sumur. Tapi di perkotaan, air tanah tak selalu layak. Apalagi di area pabrik atau wilayah yang limbah rumah tangga, industri atau pasarnya tak terkelola dengan baik.
Mereka sering tak punya pilihan selain mengkonsumsi air yang lebih mungkin menyebabkan sakit itu. Sebagian akhirnya terpaksa membeli air minum isi ulang. Hal ini berbanding terbalik dengan kaum berada yang mampu memilih air dengan leluasa, mau air biasa hingga air yang diyakini lebih menyehatkan macam air PH tinggi, oksigen super hingga air ion.
Harganya pun makin tinggi dan makin jauh dari jangkauan masyarakat miskin. Maka mustahil kaum papa mendapat akses air menyehatkan itu bukan? Berarti air pun seolah telah menjadi penanda status sosial dan menciptakan diskriminasi.