Porsi Akal dalam Agama
Dalam beragama pasti ada porsi akal di sana. Di atas berkaitan dengan akidah dan hal yang sama juga berlaku dalam fikih. Dalam shalat, telah diatur tata cara, gerakan, sayarat, dan bacaannya. Meskipun begitu, tetap ada porsi akal dalam ibadah shalat. Misal dalam menentukan arah kiblat.
Agar arah kiblat pas menghadap Ka’bah, maka diperlukan ilmu astronomi. Meskipun sebagian ulama tradisonal menganggap cukup mengarah saja ke kiblat tidak harus dihitung akurasinya. Namun tetap saja, dalam menentukan arah, dengan cara yang paling sederhana harus menggunakan akal (ilmu).
Syarat Shalat adalah Wajib Berakal
Bahkan dalam syarat sahnya shalat, hanya untuk orang yang berakal. Bagi orang yang tidak berakal, shalat tidak dipersyaratkan. Artinya dalam kondisi tidak berakal, gila, pingsan, tertidur, mabuk, pikun, shalat menjadi tidak wajib.
Itulah sebabnya orang yang dalam keadaan koma (sakit) berhari-hari dan meninggalkan shalat, dia tidak wajib menggantinya (mengqadla) ketika sadar. Ibadah yang terlewat tidak dianggap sebagai kewajiban disebabkan karena “hilang akalnya”.
Penentuan Waktu Shalat, Juga Memakai Akal
Begitu juga dengan menentukan waktu shalat. Meskipun Nabi Saw telah menjelaskan tanda-tanda lima waktu shalat, tetapi peran akal tidak dapat dinafikan di sana. Bahkan saat ini tanda-tanda waktu shalat tersebut sudah dikonversi menjadi waktu (jam), yang tidak lain itu adalah prodak akal (ilmu).
Shuumu liru’yatikum, puasalah kamu karena melihat hilal. Tata cara puasa sudah ditentukan, tetapi cara menentukan awal puasa (awal Ramadhan), berakhirnya Ramadhan, waktu ber-buka, dan shahur, wajib menggunakan akal (ilmu). Meskipun dengan cara yang paling sederhana, dengan melihat hilal dan dengan mata telanjang ataupun melihat benang di malam hari sebagai tanda sahur.
Tetaplah dalam peristiwa tersebut akal berperan sangat dominan. Masih banyak lagi contoh pada ibadah-ibadah lainnya yang tidak bisa diungkap satu persatu. Di sini saya ingin menegaskan peran akal dalam agama dan ibadah tidak dapat disepelekan.
Temuan Ilmiah untuk Menguji Matan Hadis
Prof Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid) dalam kajian mengenai hadis-hadis astronomi, peran ilmu pengetahuan menjadi lebih dominan lagi. Ilmu Asronomi dapat digunakan untuk memverifikasi tingkat kesahihan matan hadis.
Menurutnya, temuan-temuan ilmiah astronomi tidak dapat dibantah kekuatannya. Itulah sebabnya dapat digunakan untuk menguji kualitas matan sebuah hadis. Alasannya, mungkin ketika hadis itu diriwayatkan ilmu ini belum berkembang dan para perawi tidak menguasai ilmu tersebut. Sehingga menyampaikan informasi yang tidak valid.
Akal dalam Agama di Urusan Mu’amalah
Dalam wilayah mu’amalah (urusan dunia) peran akal lebih kompleks lagi. Misal terkait masalah makanan. Kaidah dalam makanan adalah kita disuruh memakan makanan yang halal (halalan) dan baik (thayiban). Makanan halal sudah jelas ukuran dalam syariatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan perkara yang thayib?
Pada ranah inilah akal berperan. Bahkan gara-gara akal sesuatu yang halal bisa jadi haram. Gula sudah tentu halal. Namun bagi penderita diabetes, hal tersebut sangat dilarang, dalam fikih dapat dikategorikan sebagai khobaits (sesuatu yang buruk). Dengan begitu gula bagi penderita diabet bisa menjadi haram.
Ukuran apa dalam mengharamkan gula? Tentu saja dengan ukuran akal. Meskipun secara syariat kita disuruh menghindari yang khabaits tadi. Namun peran akal menjelaskan secara lebih detail mengenai hal beresiko tersebut. Jadi, lagi-lagi akal yang sehat sangat penting dalam menjalankan agama.
Editor: Rozy