Review

“Ber-Tuhan” Melawan Tuhan: Menggugat Paham dan Praktek Keberagamaan Kita

3 Mins read

Judul diatas merupakan tajuk yang ditulis oleh Alm. Moeslim Abdurrahman dalam prolog buku Satu Tuhan Seribu Tafsir karangan Profesor Abdul Munir Mulkhan. Kalimat yang singkat, padat, dan provokatif. Hal ini tak terlepas dari impresi yang muncul ketika membaca gagasan Mulkhan dalam menggugat pemahaman dan praktek keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Diawal buku, kita diajak untuk mempertanyakan kedudukan Al-Qur’an yang cenderung eksklusif dan hanya berhak ditafsirkan oleh orang tertentu saja. Pernyataan bahwa hanya orang tertentu saja yang berhak membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, bertentangan dengan misi penyebaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri (QS. Al-Baqarah: 185).

Padahal sejatinya, Al-Qur’an harus menjadi teks publik. Dengan kata lain, menjadi milik peradaban. Sehingga pesan dan makna yang terkandung didalamnya bersifat plurivokal, tidak mengenal batas pergulatan hidup manusia.

Dari pesan dan makna itulah, menurut Mulkhan, manusia merasa bermakna yang selanjutnya bertindak, baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, atau dengan sesuatu yang diyakininya sebagai Tuhan.

Maka tidak dapat dipungkiri bahwa keyakinan tentang Tuhan dan tafsiran mengenai kebenaran, pada dasarnya merupakan fakta sejarah yang autentik dalam kemanusiaan, yang telah berlangsung seumur sejarah umat manusia itu sendiri. Alhasil, proses keberagamaan manusia berbeda-beda, tergantung bagaimana pengalaman hidup yang dialami.

Menakar Kesalehan dalam Beragama

Contoh sederhana dari kayanya warna tafsir dalam membaca realitas sosial adalah dalam fenomena bencana alam. Salah satu golongan menganggap bahwa bencana merupakan azab dari Tuhan, golongan lain menganggap bencana sebagai ujian keimanan bagi umatnya. Bahkan tak sedikit pula yang mengungkapkan rasa syukur begitu dalam berkat masih diselamatkan dari bencana.

Fenomena diatas, diiringi dengan seruan bertobat dan kembali kepada ajaran Tuhan yang digaungkan oleh pemuka agama, namun seringkali lupa bahwa hidup menyimpang dari hukum alam adalah maksiat terhadap Tuhan itu sendiri. Sebab, jika manusia ingin benar-benar tunduk pada ajaran Tuhan, maka jangan melebihi kekuasaan dan kehendak Tuhan. Di titik inilah, Mulkhan mencoba merekontruksi makna kesalehan dalam beragama.

Baca Juga  Cara Merasakan Tuhan Itu Dekat dengan Kita

Bagi Mulkhan, kesalehan tidak sekedar dilihat dari ritual formal sebagaimana terumuskan di dalam syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji (kesalehan ritual). Kesalehan juga dilihat dari kemanfaatan hidup manusia yang selaras dengan hukum alam atau sunnatullah (kesalehan natural).

Ketika hanya condong terhadap kesalehan ritual, maka tidak ada jaminan mendapatkan ketentraman dunia. Begitupun ketika hanya condong terhadap kesalehan natural, maka tidak ada jaminan mendapatkan ketentraman akhirat. Maka dua jenis kesalehan tersebut harus diamalkan secara beriringan yang disertai rasa kesadaran ber-Tuhan.

Misi Kenabian dan Multikulturalisme

Kehadiran Nabi dalam menyampaikan risalah agama selalu diawali kondisi multikrisis yang memunculkan motivasi untuk merekonstruksi masyarakat. Oleh sebab itu, Tuhan mewahyukan firman-Nya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk manusia. Fungsi rahmatan lil-alamin inilah yang seharusnya menjadi nilai agama dalam mengarungi kehidupan.

Ketika agama hanya diamalkan dalam kerangka vertikal semata, maka sisi kemanusiaan seringkali terabaikan. Kondisi agama yang tidak manusiawi inilah yang menyebabkan penderitaan dan penindasan di tengah masyarakat, hingga pada akhirnya nanti menumbuhkan benih-benih kekafiran. Nabi telah mengingatkan kita melalui sabdanya bahwa kemiskinan dan kefakiran dekat dengan kekafiran.

Seringkali kita menjumpai praktek penindasan yang menggunakan label agama. Dengan mengatasnamakan Tuhan, seseorang boleh dan bisa melakukan apa saja, karena Tuhan berhak atas apapun yang ada di dunia dan atas siapapun ciptaan-Nya.

Di tahapan yang lebih ekstrem, tak sedikit pula yang memaksakan keyakinan orang lain seolah surga begitu mudahnya dimonopoli oleh golongan tertentu. Kita tentu masih ingat dengan kasus Ahmadiyah dan Syiah beberapa tahun lalu, atau kasus Pondok Pesantren Al-Zaytun yang viral baru-baru ini.

Tanpa sikap kritis, praktik keberagamaan cenderung hanya menjadi pembungkus atau topeng kerakusan kekuasaan dan kekayaan duniawi. Pada akhirnya, pemeluk agama adalah pencari dan penjelajah yang tidak pernah menemukan apa yang dicari dan tidak pernah mencapai titik final kecuali kematian atau kiamat.

Baca Juga  Lima Masjid Ramah Lingkungan di Indonesia

Mulkhan mencoba menjawab fenomena tersebut menggunakan kacamata multikulturalisme. Dalam perspektif multikulturalisme, the others (keberlainan) merupakan unsur terpenting dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis. Terlebih Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan yang begitu kompleks.

Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 dan An Nahl ayat 93, bahwasanya manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal, sebagai batu uji kebaikan dalam hubungan dialektis antar tradisi. Dari sinilah, mengapa multikulturalisme meletakkan bahwa keberlainan adalah esensi identitas diri sebagai akar dari kebersamaan dalam harmoni sosial.

Kesadaran akan keunikan diri sendiri akan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya orang lain. Sehingga segala bentuk perbedaan, baik antar agama, maupun di dalam agama itu sendiri, bisa dibicarakan dan diselesaikan dengan cara yang manusiawi. Agama menjadi berfungsi sebagai media dialog yang memperkaya pengalaman keberagamaan manusia, bukan sebaliknya menjadi pemasung yang mematikan.

Problem Pendidikan Agama

Sebagai seorang akademisi, Mulkhan menerangkan bahwa untuk memperbaiki fungsi agama dalam menjawab masalah kemanusiaan, salah satunya adalah penyempurnaan dalam pendidikan agama.

Tujuan utama dari pendidikan agama ialah bagaimana menumbuhkan kesadaran tentang keberadaan Tuhan dengan segala kekuasaannya. Dengan begitu, pendidikan agama setidaknya memuat tiga dimensi, yakni dimensi ilmu pengetahuan, dimensi kesadaran, dan dimensi perilaku.

Keahlian ilmu agama tanpa kesadaran ber-Tuhan hanya membuat orang menipu dirinya sendiri. Membuat orang pandai berkilah tapi sesungguhnya pembangkang. Begitupun pembiasaan melakukan ritual agama tanpa disertai ilmu pengetahuan, akan membuatnya kering makna.

Tak heran jika umat berbondong-bondong untuk melakukan haji, tapi hanya sedikit sekali yang peduli dengan nasib orang yang terpinggirkan. Berlomba-lomba untuk bersedekah, tapi tanpa rasa malu melakukan tindak pidana korupsi. Giat berjamaah di masjid, tapi konsisten merusak lingkungan.

Baca Juga  Spirit Nabi Muhammad Memanusiakan Manusia

Bagi Mulkhan, hal yang menjadi fundamental dalam pendidikan agama ialah menumbuhkan kesadaran ber-Tuhan. Dengan begitu, dimensi pemahaman dan dimensi perilaku akan lebih mudah diserap seiring dengan berjalannya proses kehidupan.

Daftar Buku

Judul Buku: Satu Tuhan Seribu Tafsir

Penulis: Abdul Munir Mulkhan

Penerbit: Kanisius

Tahun Terbit: 2007

Tebal: 173 halaman

ISBN: 979-21-1606-0

Editor: Soleh

Avatar
9 posts

About author
Kader IMM Renaissance FISIP UMM
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *