Inspiring

Sisi Lain Muhammad Natsir: Perumus Ideologi Pendidikan Islam

6 Mins read

Di mata publik, Muhammad Natsir (1908-1993) dikenal luas sebagai politisi dan ulama bertaraf nasional, bahkan diakui secara internasional. Sementara itu, rekam jejak sebagai pendidik yang mengajar, memimpin, sekaligus merintis suatu lembaga pendidikan relatif tidak dikenal. Persepsi publik yang demikian bisa dipahami. Sebab, profesi pendidik dijalani pada awal-awal karier, tatkala belum dikenal luas sebagai publik figur dan tokoh masyarakat yang berpengaruh.

Sebetulnya, profesi pendidik dijalani dalam rentang waktu cukup singkat, yaitu dari tahun 1932 hingga 1940. Meski singkat, tetapi sepak terjang dan pemikiran sangat membekas dan berjangkauan luas dalam arus pemikiran pendidikan Islam, terutama rumusan ideologi pendidikan Islam yang dibangunnya.

Perumus Ideologi Pendidikan Islam

Seperti diketahui, karier politik berhasil melambungkan dirinya menduduki kursi ketua partai politik Islam terbesar pada masa itu, Partai Masyumi. Ia pun menjadi seorang Perdana Menteri yang memimpin pemerintahan Republik Indonesia. Hanya saja, kecemerlangan karier sebagai politisi harus pupus, karena usaha menghidupkan kembali Partai Masyumi pada masa awal konsolidasi Orda Baru tidak disetujui rezim penguasa saat itu, Soeharto.

Namun demikian, perjuangan untuk mengangkat kualitas umat Islam tidak pernah surut. Kebuntuan jalan politik malah mengantarkannya untuk memasuki jalan baru yang lebih luas, yakni jalan dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam kedudukan sebagai ketua DDII inilah Natsir dikenal luas sebagai ulama bertaraf nasional. Bahkan kemampuan berdiplomasi diakui secara internasional, terutama di Dunia Muslim.

Sepak terjang Natsir sebagai ulama dan politisi-negarawan telah banyak diungkap dan diperbincangkan, tidak demikian dengan kiprahnya sebagai pendidik. Sepak terjang dan gagasan pendidikan masih jarang diungkap, sehingga belum banyak diketahui publik.

Esai ringkas ini berusaha mengungkap sepak terjang (baca: aktivitas) dan pemikiran (baca: refleksi) pendidikan Natsir, khususnya rumusan ideologi pendidikan Islam yang dibangun, dan sumbangan rumusan itu dalam perbincangan pemikiran pendidikan Islam kontemporer.

Kembara Cita-cita

Keluarga Idris Sutan Saripado dan Khadijah pada tanggal 17 Juli 1908 melahirkan anak ketiga, yang diberi nama Muhammad Natsir. Berhubung ayahnya seorang pegawai rendahan yang bergaji kecil, seorang juru tulis, meski secara akademis memadai, tetapi terhalang untuk bersekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) Padang. Setelah melalui jalan berliku, yaitu bersekolah di HIS Solok pada pagi hari dan sore di HIS Adabiah selama 6 bulan, pada akhirnya datang juga kesempatan mengenyam pendidikan di HIS Padang.

Peluang untuk melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sangat tipis, yaitu melalui beasiswa. Sebab, bila biaya sendiri orang tua Natsir, sebagai pegawai rendah, tidak sanggup membayar. Peluang yang tipis ini dapat diraih, karena dia mampu meraih nilai tinggi pada ujian akhir di HIS Padang. Ketika menjadi siswa MULO Padang, dia mulai bersentuhan Jong Islamieten Bond (JIB). Aktivitas di JIB justru membangkitkan minatnya untuk belajar lebih keras, sehingga nilai ujian akhir di MULO bisa menjadi tiket beasiswa memasuki Algemeen Middelbare School (AMS) A-II (jurusan Sastera Barat) di Bandung.

Baca Juga  Erfan Dahlan: Putra KH Ahmad Dahlan yang Menjadi Mubaligh Ahmadiyah

Ketika di Bandung inilah Natsir menjadi santri dan belajar agama secara intensif kepada Ahmad Hasan (1887-1958), sembari terus belajar keras di AMS dan aktif di JIB. Di tengah kepadatan nyantri kepada Ahmad Hasan dan sebagai aktivis JIB, pada 1930 Natsir merampungkan dan mampu meraih nilai ujian akhir bagus di AMS. Dengan nilai itu memberi kesempatan kepadanya untuk meraih beasiswa di perguruan tinggi, baik di Jakarta maupun Belanda.

Kembara cita-cita mengenyam pendidikan di perguruan tinggi padam. Kesempatan bekerja sebagai pegawai pemerintah dan perusahaan yang bergaji besar agar hidup mapan, juga tidak diambil. Dia malah lebih memilih terjun langsung ke tengah rakyat, menjadi junalis majalah Pembela Islam, organ penerbitan organisasi Persatuan Islam (Persis). Majalah ini menjadi corong Natsir menyuarakan ketidakadilan yang dialami kaum pribumi dan umat Islam dari kaum penjajah yang eksploitatif, maupun kaum pribumi yang telah bermental penjajah.

Dua tahun menjadi jurnalis, Natsir semakin menghayati penderitaan rakyat akibat kemelaratan dan keterbelakangan. Dalam pandangan Natsir, jalan keluar untuk mengatasi kemelaratan dan keterbelakangan adalah meningkatkan taraf pendidikan pribumi. Pendidikan merupakan jalan lempang untuk meningkatkan taraf hidup kaum pribumi dan memanusiakannya menjadi manusia bermartabat.

Bertolak dari tesis ini dia dan kawan-kawan merintis Balai Pendidikan Islam yang menyelenggarakan pendidikan mulai dari pra-sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, dan sekolah guru. Natsir bertindak sebagai pendiri sekaligus kepala sekolah yang mengurusi kebutuhan sehari-hari sekolah sampai dengan merumuskan cita-cita atau tujuannya.

Meski dihadapkan pada masalah teknis-administratif pengelolaan sekolah, seperti gaji guru, perlengkapan sekolah, maupun membayar sewa yang ditempati sekolah, tetapi kembara cita-cita tidak pernah pupus. Pengalaman menjadi pengelola sekolah partikelir (baca: swasta) yang tergolong “sekolah liar” di mata penjajah Belanda, justru menambah energi positif dengan gagasan-gagasan yang cemerlang. Esai-esai tentang pendidikan lahir ketika dia menjadi pengelola sekolah.

Ringkasnya, ide-ide lahir dari aktivitas sebagai pendidik yang direnungkan, direfleksikan melalui tulisan. Dari tuangan ide-ide itu pada urutannya melahirkan kerangka aksi baru, demikian seterusnya tanpa mengenal kata final. Pola pencarian kebenaran demikian merupakan ciri pedagogi pembebasan yang terus mencari ufuk baru kehidupan.

Pedagog Pembebasan

Perlu ditandaskan bahwa, kekuatan tulisan Natsir bukan terletak pada bangunan pemikiran yang sistematis dengan rujukan teori yang komprehensif, tetapi pada kedalaman refleksi pengalaman atas penderitaan dialaminya sendiri. Baik sebagai seorang Muslim maupun anak bangsa. Kepribadian Natsir, meminjam istilah Yusril Ihza Mahendra (Studi Islamika, 2/1/1995), merupakan buah dari kombinasi seorang aktivis (tindakan) sekaligus intelektual (refleksi).

Baca Juga  Khabib, Petarung Sejati yang Berbakti pada Orang Tua

Dalam pandangan pedagog kritis asal Brasilia, Paulo Freire, rumusan gagasan ataupan gugusan kata, yang keluar dari perpaduan tindakan dan refleki mengasilkan “kata sejati yang otentik”. Sebaliknya, gugusan kata yang tidak dibarengi tindakan akan menghasilkan verbalisme (omong kosong), sedangkan aktivisme yang tidak dibarengi refleksi akan menghasilkan aktivisme (tindakan tanpa pemikiran).

Tulisan Natsir merupakan refleksi atas masalah-masalah kongkrit yang tengah dialami bangsa maupun umat Islam. Adakalanya merupakan tangkisan atas serangan pada Islam yang datang dari kalangan non-Mulim ataupun kaum sekuler. Sebagian lagi berupa pemikiran alternatif sebagai tawaran jalan keluar atas masalah yang membelit umat Islam, seperti: keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Oleh karena itu, esai-esai Natsir berupa artikel-artikel pendek, namum padat makna dan fungsional.

D.P. Sati Alimin, pengumpul dan penyunting esai-esai Natsir dengan judul, Capita Selecta yang terbir pertama pada 1955, disusul terbitan kedua pada 1961, dan terbitan ketiga pada 1973. Terbitan ketiga inilah yang menjadi rujukan esai ini, yang terdiri atas 64 tulisan dan golongkan ke dalam lima tema, yaitu: kebudayaan-filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan (politik), dan persatuan agama dengan negara. Sebagaimana disinggung di atas, artikel ini memfokuskan pada masalah pendidikan. Masalah lain akan disinggung sejauh berkaitan dengan tema pendidikan.

Alimin mengidentifikasi dan memasukan 7 (tujuh) tulisan yang tergolong tema pendidikan, yaitu: ideologi pendidikan Islam, perguruan kita kekurangan guru, sekolah tinggi Islam, menuju koordinasi perguruan-perguruan Islam, kedudukan perguruan partikelir (baca: swasta) dalam masyarakat kita, perguruan partikelir Islam, dan bahasa asing sebagai alat pencerdasan. Sebenarnya, masih ada satu lagi yang berbicara pendidikan, tetapi editor memasukkannya dalam tema agama, yaitu artikel berjudul “Tauhid sebagai Dasar Didikan.”

Tujuan dan Dasar Pendidikan Islam

Kerangka dasar ideologi pendidikan Islam dijelaskan Natsir melalui dua artikel, yakni “ideologi pendidikan Islam” dan “tauhid sebagai dasar didikan”. Meski istilah ideologi beberapa kali digunakan, tetapi tidak diberi batasan yang jelas. Mengingat istilah ideologi memiliki rentangan arti yang sangat luas dan beragam, mulai dari yang positif sampai yang negatif. Terlepas dari itu, Natsir nampaknya memaknainya secara positif. Ideologi dipahami sebagai serangkaian ide, konsep, dan sistem keyakinan yang tersusun secara sistematis sedemikian rupa, sehingga menjadi arah hidup dan landasan dalam bertindak. Ringkasnya, ideologi adalah sistem keyakinan ataupun gagasan yang berorientasi pada tindakan, bermuara pada praktik.

Baca Juga  Mufassir Asal Suriah, Syekh Ali Ash-Shabuni Wafat

 “Didikan” (baca: pendidikan), demikian istilah yang digunakan Natsir, ialah suatu pimpinan (baca: bimbingan) jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Agar proses pembimbingan berjalan dengan benar dan terarah, maka diperlukan kejelasan tujuan dan dasar (azas). Rumusan tujuan dan azas inilah yang membedakan ideologi suatu sistem pendidikan dengan sistem pendidikan yang lain.

 Dalam tulisan “ideologi pendidikan Islam”, Natsir menjelaskan secara panjang lebar bagaimana rumusan tujuan pendidikan Islam, tetapi belum dibicarakan azas/dasarnya. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan Islam identik, atau sama dengan, tujuan hidup seorang muslim, yaitu beribadah (memperhambakan diri) kepada Allah. Memperhambakan diri kepada Allah mengandung makna melengkapi semua ketaatan dan ketundukkan kepada semua perintah Illahi yang pada urutannya membawa kebesaran di dunia dan kemenangan akhirat.

Secara ringkas, rumuskan tujuan pendidikan Islam menurut Natsir adalah “menjadi orang yang memperhambakan diri kepada Allah S.W.T. untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia”.  Seorang hamba Allah dilarah melupakan nasibnya di dunia ini dan dituntut untuk menyemplungkan (baca: melibatkan) diri dalam perjuangan hidup secara halal.

Pendidikan yang Terbuka

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui bahwa konsepsi tujuan pendidikan Islam menurut Natsir senafas dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan kaum progresif religius, seperti K.H. Ahmad Dahlan (Ali, 2017). Ada tiga kata kunci yang perlu digarisbawahi, yaitu memperhambakan diri semata-mata kepada Allah, pertumbuhan optimal seluruh potensi yang ada pada diri manusia, dan keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki kehidupan sosial-kemasyarakatan.

Secara ideologis, suatu sistem pendidikan harus memiliki tujuan dan azas yang jelas sehingga dapat dioperasionalkan dalam praktik pendidikan. Sebagaimana disinggung di atas, dalam artikel “ideologi pendidikan Islam” dibicarakan secara mendalam tujuan Pendidikan Islam, tetapi belum dibahas apa dan bagaimana azas, atau dasar pendidikan Islam. Masalah kedua ini dibicarakan dalam artikel berjudul “tauhid sebagai dasar didikan.” Dari judulnya sudah tergambar bahwa, dasar pendidikan Islam adalah tauhid.

Setelah mengkritik pendidikan Barat yang disebutnya telah menukar alat dengan tujuan, dan menyingkirkan agama dalam kehidupan, Natsir mengingatkan kembali akan keharusan Tauhid sebagai dasar pendidikan. Dia menandasakan bahwa,

“Mengenal Tuhan, mentahuhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih, jikalau kita sebagai guru ataupun ibu-bapa, betul-betul cinta kepada anak-anak yang telah dipertaruhkan Allah kepada kita”.

Perlu ditambahkan bahwa, ideologi pendidikan Islam bersifat terbuka. Dikatakan terbuka karena secara operasional boleh meminjam dan terbuka kemungkinan sistem pendidikan dari Barat maupun dari Timur, karena kebenaran dan kebaikan bisa muncul dari dua arah itu. Dalam penyelenggaraan pendidikan misalnya, saat itu model sekolah dinilai lebih efisien dalam membelajarkan peserta didik. Meskipun model itu berasal dari Barat-Belanda, Natsir tidak sungkan untuk meminjamnya. Tetapi dimodifikasi sedemikian rupa sehingga Pendidikan Agama Islam juga diajarkan.

Editor: Nabhan & Arif

Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *