Inspiring

Sisi Lain Ibnu Taimiyah, Ulama Ramah dan Toleran

5 Mins read

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah al-Harrani dikenal sangat aktif mengkritik kelompok-kelompok Islam yang beliau anggap menyimpang, seperti golongan ahli kalam, para filsuf dan kaum sufi. Beliau menulis ar-Radd ‘ala Manthiqiyyin (Bantahan kepada Para Ahli Logika), Naqd al-Mantiq (Kritik kepada Ilmu Logika), Kasyf ‘an Manahij al-Adillah (Penyingkapan berbagai Metode Pembuktian) dan juga di dalam Majmu’ Fatawa-nya beliau membantah ajaran tasawuf falsafi dengan menulis pembahasan Tauhid al-Uluhiyyah wa ar-Rad ‘alâ Ittisal al-Hulűl wa al-Ittihâd. Adapun kitab Kasyf ‘an Manahij al-Adillah ditulis oleh Ibnu Taimiyah sebagai bentuk kritikannya kepada Ibnu Rusyd.

Beliau merupakan ulama yang sangat produktif dalam menghasilkan karya intelektual. Tak kurang dari 500 karya tulis telah dihasilkan oleh Ibnu Taimiyah. Beliau menulis banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan dalam bidang ilmu qawaid tafsir, beliau disebut sebagai pionirnya dengan menulis Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir.

Pemurnian Islam dari Helenisme

Ibnu Taimiyah dikenal dengan klaimnya yang menyatakan bahwa kebenaran Islam yang paling otentik adalah di masa salaf ash-shalih. Oleh karena itu, beliau berupaya dengan keras untuk membersihkan segala unsur asing di luar Islam yang tidak sesuai dengan manhaj salaf ash-shalih. Tak mengherankan jika kemudian beliau sangat intens dalam mengkritik Helenisme yang telah masuk ke tubuh Islam. Ibnu Taimiyah memandang bahwa Helenisme adalah unsur eksternal yang penuh kesalahan dan kesesatan, sehingga tidak semestinya dicampuradukkan dengan Islam sebagai Kebenaran Sejati.

Helenisme disini dapat diartikan sebagai paham dan ideologi dari kebudayaan Yunani Kuno yang masuk ke dunia Islam. Salah satu pintu utama masuknya Helenisme adalah ketika terjadinya penerjemahan karya-karya dari masa renaissance Yunani Kuno ke dalam bahasa Arab di masa Dinasti Abbasiyah. Dan khalifah Harun ar-Rasyid disebut sebagai khalifah yang paling masif melakukan upaya penerjemahan tersebut.

Mungkin kita akan bertanya, “Helenisme yang seperti apa yang ditentang oleh Ibnu Taimiyah? Bukankah dengan masuknya hikmah dan kebudayaan Yunani mampu memantik lahirnya Masa Keemasan Islam (Islamic Golden Age) dan muncul Bayt al-Hikmah yang menjadi simbol kemegahan pengetahuan di masa keemasan Islam?”.

Ibnu Taimiyah: Pengkritik Ulung

Poin utama yang hendak disampaikan di dalam tulisan ini adalah bahwa memahami sosok Ibnu Taimiyah tidak cukup hanya melihat dari sisi keaktifannya dalam mengkritik berbagai sekte dan kelompok Islam. Apalagi jika pembacaannya hanya parsial dan tidak utuh, mungkin akan muncul kesimpulan bahwa Ibnu Taimiyah merupakan tipikal ulama yang senang menyalahkan pihak lain yang tidak sepemikiran dengan dirinya secara tergesa-gesa.

Baca Juga  Lukman Harun (2): Memotret Dunia Islam

Padahal ketika Ibnu Taimiyah hendak mengkritik suatu kelompok atau sekte, beliau terlebih dahulu melakukan penelaahan yang panjang dan mendalam, layaknya Imam al-Ghazali. Meskipun kedua tokoh besar tersebut memiliki sikap yang berbeda dalam memandang ilmu filsafat dan mantiq.

Metodologi kritik yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah salah satunya dapat kita jumpai dalam kitab Mauqif Ibnu Taimiyah min as-Shufiyah yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman a-‘Arifi. Di dalam kitab tersebut, al-‘Arifi menyajikan tentang bagaimana metodologi kritik Ibnu Taimiyah kepada ajaran tasawuf falsafi. Al-‘Arifi menggambarkan bahwa sebelum mengkritik ajaran tasawuf falsafi, Ibnu Taimiyah melakukan penelaahan terhadap puluhan kitab primer dan sekunder.

Beliau menelaah berbagai kitab dalam bidang akidah, hadits, sejarah dan sumber-sumber rujukan primer kaum sufi. Ibnu Taimiyah tidak sebatas asal menukil saja semua rujukan tersebut, tapi beliau juga melakukan komparasi dan penelaahan yang mendalam. Tujuannya tentu saja agar semakin kuat tingkat akurasi dalam menghukumi suatu sekte dan cenderung tidak gegabah, tapi dibangun di atas analisis dan pondasi yang kuat.

Hal ini merupakan catatan penting yang harus diperhatikan oleh siapa pun, terkhusus para pengikut Ibnu Taimiyah. Bahwa tradisi kritik dalam khazanah ilmu merupakan sesuatu yang wajar, asalkan dibangun dengan ilmiah, santun dan argumentatif. Tidak asal mencuplik kalam ulama atau memotong dalil yang sesuai dengan seleranya untuk menghantam siapa pun yang dianggap tidak sejalan.

Sikap Ramah dan Toleran Ibnu Taimiyah dalam Raf’ul Malam

Salah satu karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berisi sikap dan pandangan beliau yang penuh toleransi dalam menilai dan menghukumi para ulama dapat kita jumpai dalam kitab Raf’ul Malam ‘an al-Aimmah al-a’lam.

Jika selama ini Ibnu Taimiyah dipandang oleh lawan-lawannya sebagai sosok yang menggebu-gebu dalam memvonis, maka kitab Raf’ul Malam dapat menjadi semacam anti-tesisnya. Sikap ramah dan toleran dari sosok ulama Ibnu Taimiyah yang dibalut dengan keluasan ilmu ditampilkan dalam kitab ini.

Di awal pembahasan kitab tersebut, Syaikhul Islam memulainya dengan memuji para ulama sebagai pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk umatnya, penghidup sunnah Nabi dan pembawa risalah ilmu agama. Setelah itu beliau menyampaikan, bahwa kadangkala ada sebagian pendapat ulama yang menyelisihi suatu hadits yang sharih dan shahih bukanlah disebabkan oleh faktor kesengajaan dari ulama tersebut.

Baca Juga  K.H Ahmad Sanusi: Kiprah Ulama Asal Sukabumi

***

Hal itu tidak lepas dari tiga faktor utama. Pertama, seorang ulama tidak meyakini bahwa riwayat yang telah sampai kepadanya memang benar-benar merupakan sabda Nabi. Bisa jadi ada hadits yang sebenarnya valid, namun jalur riwayat yang sampai kepada ulama yang bersangkutan dinilainya lemah atau tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Kasus semacam ini pernah terjadi pada Imam Malik ibn Anas yang menilai bahwa puasa enam hari di bulan Syawwal bukanlah suatu amalan yang bernilai sunnah, bahkan dihukumi makruh.

Salah satu alasan Imam Malik memakruhkan puasa enam hari di bulan Syawal adalah kemungkinan beliau menilai hadits yang sampai kepadanya tidak valid atau bisa juga status hadits tersebut dikalahkan oleh ‘amal ahl madinah.

Kedua, munculnya pendapat ulama yang menyelisihi hadits shahih adalah karena ulama tersebut memahami makna hadits tidak sebagaimana makna yang sebenarnya. Hadits shahih telah sampai pada seorang ulama dan ulama tersebut juga tidak meragukan kesahihannya, hanya saja ulama tersebut memandang dalalah (makna yang ditunjukkan) dalam hadits berbicara masalah lain.

Hal semacam ini sangat banyak dijumpai dalam permasalahan fiqhiyyah yang kemudian dikenal pula istilah zhanni ad-dalalah (multi interpretasi). Ketiga, adanya anggapan dari seorang ulama yang menilai status hukum dari suatu hadits shahih telah di-nasakh (dihapus).

***

Ibnu Taimiyah menguraikan tiga faktor penyebab munculnya pendapat atau fatwa ulama yang menyelisihi hadits shahih tersebut ke dalam sepuluh sebab yang lebih rinci lagi. Masing-masing sebab beliau uraikan dengan cukup detail disertai contoh kasus, tinjauan ushul fiqih, dan analisis dari beliau.

Tampak dari situ beliau memberikan udzur seluas-luasnya kepada para ulama. Bahkan ketika ada ulama membolehkan sesuatu yang diharamkan oleh hadits atau sebaliknya, maka Ibnu Taimiyah mengatakan,“… maka tidak boleh meyakini bahwa ulama yang meninggalkan suatu hadits dengan sebab-sebab yang telah kami jelaskan akan disiksa karena menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, atau berhukum dengan selain yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga, jika hadits itu berisi ancaman atas suatu perbuatan berupa laknat, murka, azab, atau lainnya, maka tidak boleh mengatakan bahwa seorang alim yang telah melakukan atau membolehkannya masuk dalam ancaman itu”.

Pandangan semacam inilah yang sangat perlu untuk diketengahkan ke hadapan umat. Pandangan yang dibangun di atas asas hikmah dan ilmu. Ibnu Taimiyah tampak sekali mengajak untuk mengapresiasi upaya ijtihad dari para ulama dan melarang untuk memposisikan kesalahan ijtihad sebagai celah untuk menjatuhkan seorang ulama.

Baca Juga  Obituari Haji Paryadi (1): Pengusaha dari Boyolali

Di sisi yang lain, akan ditemukan kritikan yang keras dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah kepada ulama lain yang kemudian memunculkan penilaian bahwa Ibnu Taimiyah merupakan tipikal yang senang menjatuhkan vonis. Akan tetapi, dengan membaca Raf’ul Malam akan memberikan pandangan baru terhadap sosok Syaikhul Islam ini. Bahwa di balik banyaknya kritikan tajam yang beliau arahkan kepada pihak lain bukan semata-mata didasari atas nafsu dan kesewenang-wenangan, namun sebagai bentuk ijtihad beliau untuk menjaga kemurnian Islam. Kitab Raf’ul Malam menjadi salah satu buktinya.

Hati yang Diliputi Rahmah

Semasa hidupnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki banyak lawan debat. Salah satunya adalah Ibnu Makhluf, qadhi madzhab Maliki. Bahkan, atas upaya Ibnu Makhluf dan para koleganya, Ibnu Taimiyah dijebloskan ke dalam penjara. Pada suatu ketika kondisi berbalik, Ibnu Taimiyah dibebaskan dan Sultan meminta untuk menjatuhkan hukuman balas dendam kepada para ulama yang memenjarakannya. Namun, Ibnu Taimiyah menolaknya. Beliau mengatakan “Jika engkau membunuh mereka, maka engkau tidak mendapatkan seorang pun yang menggantikan posisi mereka”. Untuk itulah Ibnu Makhluf memuji Ibnu Taimiyah dengan berkata:

ما رأينا أتقى من ابن تيمية لم نبق ممكنا في السعي فيه ولما قدر علينا عفا عنا

Kami tidak pernah melihat orang yang paling bertaqwa kecuali Ibnu Taimiyah. Kami pun tidak sanggup melakukan sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Tatkala dia mampu membalas kami, dia malah memaafkan kami.

Tradisi semacam inilah yang semestinya diteladani terus oleh umat Islam, terutama para tokoh-tokohnya. Tidak setiap perbedaan pandangan harus berakhir dengan sikap permusuhan sampai akhir hayat bahkan diwariskan ke para pengikutnya.

Imam Syafi’i dahulu juga telah mencontohkan sikap rahmah dan tasamuh ketika berhadapan dengan lawan debatnya. Yunus ibn Abdul A’la ash-Shafadi menuturkan:

ما رأيت أعقل مِن الشَّافعي، ناظرته يومًا في مسألة، ثمَّ افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثمَّ قال: يا أبا موسى، ألَا يستقيم أن نكون إخوانًا وإن لم نتَّفق في مسألة؟

Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berakal dari asy-Syafi’i. Suatu ketika, aku berdiskusi dan berdebat dengannya tentang suatu masalah. Lalu kami berpisah. Kemudian ia menemuiku, lalu meraih tanganku sembari berkata: “Wahai Abu Musa, tidak layaklah kita tetap bersaudara, meski kita harus berbeda dalam satu masalah?”

Wallahu a’lam bishawab.

Editor: Soleh

Muhammad Fikri Hidayattullah
7 posts

About author
Dosen Artificial Intelligence Politeknik Harapan Bersama dan Koordinator Madrasah Fiqih Sumber Ilmu
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *