Perspektif

Ibnu Taimiyah: Syarat Jadi Pemimpin bukan Islam, Tapi Adil

3 Mins read

Situasi perpolitikan nasional saat ini telah dan sedang memanas. Salah satu isu yang sering muncul berkenaan pada saat pemilu yaitu terkait dengan kepemimpinan muslim dan non-muslim. Sehingga isu-isu miring tentang kenon-musliman seorang kandidat atau keluarga kandidat. Hal ini tentu saja menarik untuk dianalisis dari sudut pandang hukum Islam.

Dalam sejarah, boleh-tidaknya non-muslim diangkat menjadi pemimpin kaum muslim sesungguhnya merupakan fenomena klasik yang senantiasa mengundang perdebatan di kalangan ulama dan peminat studi-studi politik Islam dari masa ke masa. Di satu sisi, dari sebagian ulama menganggap bahwa non-muslim tidak boleh diangkat sebagai pemimpin kaum muslimin. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa ayat dalam alquran secara jelas menyatakan demikian.

Walaupun demikian, terdapat pula beberapa ulama yang memandang bahwa esensi perdebatan bukan terletak pada apakah pemimpin harus Islam atau tidak, namun yang terpenting adalah apakah seorang pemimpin mampu untuk memimpin masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang notabene merupakan perintah alquran dan hadis Nabi Muhammad.

Ibnu Taimiyah dan Gagasan Kosmopolitanisme

Salah satu ulama yang dapat dianggap termasuk dalam kategori kedua ini adalah Taqi ad-Din Abu al-Abbas ibn Abd al-Halim ibn Abd as-Salam ibn Taimiyah atau yang lebih populer dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Ia merupakan seorang ulama terkemuka dan disegani pada zamannya hingga saat ini. lebih dari itu, menurut Syafiq A. Mughni, Ibnu Taimiyah bahkan dianggap sebagai “titisan” yang mewarisi tingkat intelektualitas Ahmad bin Hanbali hingga ia juga dijuluki sebagai Ahmad (bin Hanbal) muda.

Perlu diketahui dalam setiap pemikirannya, Ibnu Taimiyah selalu menjadikan alquran sebagai landasan utama berpikirnya. Demikian pula ketika ia menyampaikan gagasannya mengenai kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Ibnu Taimiyah tetap berpatokan pada ajaran bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) seperti yang diamanatkan oleh alquran.

Baca Juga  Sa'id bin 'Amir: Sang Gubernur Sederhana

Menurut Ibnu Taimiyah, nilai terpenting yang harus senantiasa dipelihara dalam pemerintahan syari’at adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan sekaligus juga untuk mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan negara, Ibnu Taimiyah lebih memilih gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk agama seseorang. Dalam hal inilah, ia menyatakan pendapatnya yang sangat terkenal, yaitu “lebih baik dipimpin oleh pemimpin kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin Islam yang dzalim”.

***

Penting untuk kita ketahui, gagasan Ibnu Taimiyah mengenai kosmopolitanisme ini berbicara dalam konteks kepemimpinan dan kewarganegaraan. Oleh karena itu, ia memandang manusia sebagai individu yang terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.

Berawal dari pendapatnya yang mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan, Ibnu Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan negara dalam proyek kosmopolitanisme-nya. Baginya, tugas utama negara adalah tegaknya syari’at yang tidak lain demi tegaknya sebuah keadilan yang universal. Dengan demikian, menurutnya syari’at dan keadilan universal adalah “saudara kembar” yang paralel dan harus berjalan secara bersamaan.

Jika kita telusuri lebih dalam lagi, maka pemikiran kosmopolitan Ibnu Taimiyah tersebut tidaklah mengejutkan. Sebab ia sendiri hidup dalam lingkungan masyarakat yang bhineka, keberagaman, dan heterogen. Sebagai akibatnya, dalam wilayah yang ia tempati tersebut, sering terjadi adanya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayahnya tersebut, terdapat berbagai bangsa seperti Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki, Tatar dan lain sebagainya. dari masing-masing bangsa tersebut memiliki adat istiadat, tradisi, perilaku, dan pikiran yang berbeda-beda.

Doktrin Kekhalifahan yang Tidak Relevan

Selain pandangannya mengenai kosmopolitanisme, doktrin terkait dengan kekhalifahan yang harus dipegang oleh kaum Quraisy dianggap sudah tidak relevan dan tidak urgen lagi untuk diyakini dan dijalankan bagi masyarakat kosmopolitan dan heterogen seperti di wilayah yang ditempatinya.

Baca Juga  MUI: Menguatkan Nasionalisme, Mengedepankan Islam Wasathiyah

Dalam masyarakat yang heterogen, menurut Ibnu Taimiyah, semua elemen masyarakat pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memimpin atau dipimpin. Tanpa harus ada diskriminasi atau pengkultusan yang berlebihan terhadap suatu golongan atau kelompok tertentu. Slogan sentral yang dipromosikannya itu adalah kembali kepada alquran dan hadis, serta membuang jauh-jauh perbuatan syirik, khurafat, bid’ah dan pengkultusan seseorang.

Realitas sosial masyarakat yang seperti itulah yang kemudian mendorong Ibnu Taimiyah untuk tidak mengakui kehujjahan hadis yang menyatakan pemimpin harus berasal dari kaum Quraisy. Karena dalam hadis tersebut, ada unsur yang menyeru kepada suatu bangsa atau golongan tertentu. Padahal bagi Ibnu Taimiyah, alquran secara tegas memuliakan manusia bukan karena keturunan dan kebangsaan, melainkan untuk dasar ketakwaan kepada Allah Swt.

Kalau melihatnya dengan konteks tersebut, maka tidak berlebihan jika pada akhirnya ia memilih untuk tidak mengakui ke-Quraisy-an sebagai salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin atau khalifah. Tetapi ia berusaha menggali syarat-syarat kepemimpinan berdasarkan syari’at melalui pesan-pesan dan nilai-nilai yang terdapat dalam alquran yang dianggapnya justru lebih bermakna dan adil.

Dengan kata lain, kepemimpinan syari’at yang memberi peluang dan hak yang sama rata secara adil kepada segenap masyarakat merupakan konsep politik yang ia tawarkan sebagai usaha memberikan solusi atas kondisi politik yang dihadapinya saat itu. Karena bagi Ibnu Taimiyah, keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat atas datangnya pertolongan Tuhan. Oleh karena itu, tugas utama kita sebagai seorang muslim menurut Ibnu Taimiyah yaitu harus memilih pemimpin yang adil, meskipun agamanya bukanlah Islam.

Editor: Soleh

Avatar
4 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *