Oleh: M Hanif Alusi
Setiap kita pernah mengalami yang namanya kesalahan. Bahkan, saking seringnya kita melakukan kesalahan terdapat istilah ‘manusia tidak pernah luput dari kesalahan.’ Sebuah kalimat permissif yang menandakan kita boleh salah, tapi jangan selalu disalahkan. Seperti pada kasus salah ketik Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang kelewat parah itu.
Langganan Salah Tulis
Sewaktu saya duduk di kelas 4 SD, teman saya tidak bisa menulis angka 5 seperti yang murid-murid lainnya. Bagi guru saya, itu adalah kesalahan. Tapi bagi saya, itu adalah angka 5 hanya saja tanpa ‘leher’-nya. Seiring berjalannya waktu, seringkali saya menemukan dan melakukan kesalahan dalam penulisan. Sampai kuliah pun saya masih salah tulis, selalu luput antara penulisan titik, koma, tidak berjarak (spasi), kurang huruf, dan kurang perhatian dari dia (ehhmm).
Kesalahan mengetik/menulis pada saat saya kuliah bisa berakibat fatal. Yaitu, makalah dicoret-coret, nilai tidak keluar, bikin makalah yang baru. Apalagi jika salah ketik pada tugas akhir yang berujung banyaknya hiasan coretan dari pembimbing maupun penguji, sungguh tantangan kehidupan yang mengasyikkan.
Namun, akhir-akhir ini saya melihat pejabat negara sering mengalami salah ketik dalam menentukan kebijakannya atau peraturannya. Yang sudah lewat adalah salah ketik anggaran pengadaan di beberapa pemerintah daerah dan peraturan yang berakhir kehebohan di media sosial. Salah ketik yang paling heboh adalah adanya kesalahan fatal di draft Omnibus Law Cipta Kerja.
Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja
Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan rancangan yang baru dibuat oleh pemerintah. Rancangan ini bisa disebut juga sebagai sebagai ‘Undang-undang sapujagat.’ Artinya, undang-undang yang membahas lintas sektor, tidak seperti undang-undang lainnya yang hanya membahas satu sektor saja.
Penggabungan undang-undang yang ada pada rancangan Omnibus Law di antaranya adalah UU UMKM, UU Perpajakan, dan UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Melihat dari ketiga undang-undang tersebut, tentu maksud pemerintah membuat rancangan Omnibus Law ini adalah berkaitan dengan perekonomian, yaitu memudahkan investasi di Indonesia.
Polemik yang terjadi pada rancangan Omnibus Law Cipta Kerja bukan hanya membahas persoalan nasib masa depan para buruh, tapi juga akan berdampak besar pada perjalanan sistem kekuasaan. Salah ketik yang terjadi pada rancangan tersebut akan menyebabkan peran legislatif berubah, dan kekuasaan eksekutif akan menjadi absolute, mengarah kepada otoriter. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya sebagai tukang ‘stempel’ dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Salah Ketik, Kekacauan Baru
Sudah banyak beredar di media sosial potongan pasal pada rancangan Omnibus Law yang telah dibuat oleh pemerintah. Yaitu, adanya ‘salah ketik’ pada Bab XIII Pasal 170 ayat 1 sampai ayat 3. Kesalahan yang dibuat oleh juru ketik pemerintah ini bisa dikatakan sangat parah. Itu karena kesalahannya adalah satu pasal, bukan satu atau dua kata. Terlebih ayat satu sampai dengan ayat tiga sistematis yang saling berkaitan.
Imbas dari kesalahan ketik pada rancangan Omnibus Law pada pasal 170 tersebut, jika tidak diganti, maka akan menjadikan Undang-undang di bawah kendali pemerintah (Presiden) dan mengubah kekuasaan menjadi sentralistik. Oleh karena itu, dalam posisi ini, yang menjadi korban dari ‘salah ketik’ ini adalah masyarakat (rakyat). Dan yang paling diuntungkan adalah pemerintah dan ‘pemilik modal’.
Menjadikan salah ketik sebagai alasan atas kekeliruan ini bisa membuka kekacauan yang baru. Karena pada dasarnya, salah ketik hanya terjadi pada salah huruf dalam kata, seperti salah huruf ‘n’ dan ‘m’ yang posisinya bersebelahan di papan ketik. Jika alasannya salah ‘kata,’ maka juga bukan alasan yang tepat. Sebab, salah kata dapat dimaksudkan sebagai kesalahan yang terjadi pada kalimat dengan arti atau makna yang sama.
Salah Ketik, Legislatif Bubar
Menurut saya, kesalahan yang terjadi pada pasal 170 di rancangan Omnibus Law merupakan kesalahan cara berpikir. Pemerintah atau ‘juru ketik’ pemerintah telah salah berpikir bahwa ketentuan di undang-undang bisa digantikan dengan mudah oleh kewenangan pemerintah. Terlebih, pada rancangan Omnibus Law tersebut fungsi dan peran DPR berubah hanya sebagai ‘konsultan.’
Nah, daripada hanya sebagai konsultan, lebih baik DPR bubar saja. Kekuasaan negara kita berubah menjadi kekuasaan yang otoriter dan absolut. Kalau mau ‘edan’ ya jangan tanggung-tanggung.
Editor: Arif