Riset

Agus Edy Santosa (2): Aktivis Pengagum Tokoh Kiri dan Penulis Kritis

5 Mins read

Di samping menjadi mubaligh muda di FIAD, Agus Edy Santoso bersama saya merangkap kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga—ed.) angkatan 1980. Kebetulan, waktu itu kami sedang musim senang-senangnya sekolah sampai rangkap-rangkap. Di Fakultas Ushuluddin itulah kami bertemu Taufik Rahzen yang merangkap kuliah di Teknik Kimia, UGM. Di Fakultas Syariah ada Rizal Panggabean dan Wajid Fauzi (sekarang Dubes RI di Damaskus) yang merangkap kuliah di HI UGM. Namanya juga sedang senang-senangnya sekolah, Fakultas Ushuluddin pun kamu masuki juga!

Ilmu Ushuluddin yang sebenarnya artinya kira-kira adalah “ilmu tentang pokok-pokok agama,” oleh Agus suka di-pelesetkan dengan menerjemahkannya sebagai “ilmu tentang seluk beluk Tuhan”, meniru kalimat yang persis sama seperti yang digunakan oleh Tan Malaka dalam bukunya, Madilog. Agus malah menempelkan tulisan yang berbunyi, “Ahli ilmu tentang Seluk Beluk Tuhan,” di pintu depan kamar kosnya di daerah Ambarukmo, Yogyakarta. 

Pengagum Tokoh Kiri

Tentang Tan Malaka, Agus Edy Santoso memang sejak lama menjadi pengagum tokoh-tokoh kiri. Tan Malaka hanyalah salah satunya saja. Hampir semua buku, pamphlet, dan tulisan tokoh-tokoh kiri dia punya. Semua buku-buku kiri itu dia kasih sampul untuk kamuflase agar tidak diketahui orang. Maklum, itu tahun 1980-an. Alih-alih mengoleksi buku-buku kiri, membawa copi novel Pramoedya Ananta Toer saja bisa menjadi perkara serius kalau sampai tercium aparat keamanan.

Dia juga banyak mengoleksi tulisan-tulisan Haji Misbach dan KH Achmad Dasoeki Siradj, dua orang tokoh Islam Solo yang dibuang ke Digoel oleh penjajah Belanda karena ketokohannya dalam aksi-aksi dan gerakan-gerakan kiri radikal revolusionernya. Keduanya adalah kiai haji yang menjadi pemimpin PKI Solo. Sementara Haji Misbach meninggal di pembuangan di Digoel atau Merauke, KH Achmad Dasuki Siradj berhasil lolos dari Digoel, bisa pulang kembali ke Solo, dan malah kemudian terpilih menjadi anggota Konstituante dalam Pemilu 1955 mewakili PKI daerah pemilihan (Dapil) Solo, Jawa Tengah.

Tak heran jika Agus senang bukan kepalang ketika mendapatkan buku Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926, yang menjadikan Haji Misbach sebagai objek kajiannya. Mungkin karena simpatinya yang tinggi pada orang-orang kiri itu sampai anaknya laki-laki diberi nama Castro! Lengkapnya, Muhammad Castro Santoso, yang mirip nama mendiang Fidel Castro, Presiden Cuba.

Baca Juga  Meretas Mitos Agama VS Sains

Di Fakultas Ushuluddin itulah saya berteman dengan Agus sebagai mahasiswa baru angkatan 1980 tingkat Propodeuse (demikian dulu mahasiswa tingkat pertama disebut). Pada tahun itu, IAIN belum menggunakan sistem kredit semester (SKS), melainkan menjalankan sistem kenaikan tingkat yang sangat jadoel itu (…hehehe...).

Kebetulan, saya dan Agus mempunyai latar belakang keluarga yang sama: bapak saya ketua PDM Karanganyar, Jawa Tengah; Bapaknya Agus Ketua PCM Panarukan. Bedanya adalah, Agus sebagai anak pantai, sejak kecil sudah biasa makan ikan; sementara saya orang Jawa pedalaman, jangankan makan ikan, kenal ikan laut pun tidak! Hanya ikan asin alias gereh yang saya tahu. Kami orang pedalaman hanya kenal ikan wader yang sekecil kelingking itu, ikan lele, dan udang sungai yang juga kecil-kecil itu saja. Tak heran jika sebagai pemakan ikan yang berprotein tinggi sejak usia yang sangat dini itu, Agus jauh lebih cerdas, berani, dan pintar daripada saya yang sebagaimana lazimnya orang Jawa pedalaman dari kecil makannya tahu, tempe, dan telur satu buah dibagi anak bertujuh! Jauh dari kebutuhan protein yang diperlukan untuk menopang kesehatan dan kecerdasan. 

Agus Edy Santoso Mahasiswa Kritis

Agus Edy Santoso memang orangnya cerdas dan agak lain: setiap kuliah tidak pernah tidak mendebat dosen. Beberapa dosen melayani perdebatannya, beberapa yang lain marah dan emosi setengah mati karena merasa ditantang dan dipojokkan oleh mahasiswanya yang masih bau kencur itu. Para mahasiswa peserta kuliah yang cukup besar (120-an mahasiswa/i) juga terbelah menjadi dua: banyak yang jengkel dan geregetan dengan Agus karena kengeyelan-nya mendebat dosen dianggap sebagai selalu mengganggu jalannya kuliah dan menyita waktu. Tapi banyak juga yang mendukungnya agar terus bersemangat dalam mendebat setiap dosen, sekurang-kurangnya untuk tujuan hiburan segar di tengah kebosanan mendengarkan kuliah yang monolog itu. Agus jalan terus dengan kebiasaannya mendebat dosen itu!

Walhasil, nama Agus yang pengagum tokoh kiri itu menjadi beken di seantero kampus karena menjadi pembicaraan di mana-mana, bahkan di kalangan dosen! Jangankan di kampus, Pakde saya yang veteran Masyumi Jawa Timur, almarhum Chamim Thohari, yang baru dikenalnya ketika Agus main ke desa saya di Karanganyar, juga dipancing berdebat habis-habisan tentang Masyumi. Bayangkan sesama tamu berdebat di depan tuan rumah.

Baca Juga  Tiga Penyakit Nalar Selama Pandemi Covid-19

Agus memang pribadi yang hangat dan sangat rajin bersilaturahim, termasuk ke keluarga saya, hatta saya tidak sedang di rumah sekalipun. Agus mengenal dengan baik dan akrab dengan semua tujuh saudara saya. Sampai menjelang akhir hayat bapak ibu saya, Agus masih suka mengunjunginya, apalagi kalau sedang beraktivitas menggerakkan aksi-aksi di daerah Solo dan sekitarnya. Biasanya kalau Agus datang ke rumah di Karanganyar dan kemudian akan pergi kembali, Ibu saya selalu membekalinya dengan membuatkan nasi arem-arem untuk bekal Agus di perjalanan.

Penulis Kritis

Masih sebagai mahasiswa tingkat pertama, atau awal tingkat kedua, Agus Edy Santoso sudah mulai menulis opini. Salah satu tulisannya yang berjudul, “Kesalahpahaman Kaum Agamawan terhadap Teori Positivisme Auguste Comte, sempat bikin heboh dan menjadi polemik panjang yang berlangsung berminggu-minggu di harian Kedaulatan Rakyat. Tak ayal, Agus dipanggil oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan diultimatum untuk tidak lagi menulis artikel kontroversial yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat!

Dasar Agus, dia nyengir saja dengan teguran itu. Bacaannnya yang luas telah menjadikannya kaya sekali akan ide untuk menulis dan aktif berbicara dalam forum diskusi yang di awal 1980-an itu lagi marak-maraknya di Yogyakarta. Agus sejak mahasiswa tingkat awal sudah melahap tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, Tan Malaka, Haji Misbach, KH Achmad Dasuki Siradj, dan tokoh-tokoh kiri lainnya meskipun hanya dalam bentuk copy atau stensilan. Agus juga sudah akrab dengan nama-nama ilmuwan seperti Rudolf Mrazek, Harry A. Poeze, WF. Wertheim, Anton Lukas, dan lain-lainnya. Agus sangat rakus dengan bacaan buku-buku terpilih. Saya rasa dia mahasiswa dengan  koleksi perpustakaan pribadi terbanyak yang pernah saya lihat.

Dia juga sering membagikan buku-buku langka dan terlarang dalam bentuk stensilan atau kopian kepada teman-teman yang dia rasa suka membaca. Tentu dengan ganti ongkos cetak seperlunya. Bahkan, dia pernah membagi-bagikan buku kopi Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Politik Prof. Deliar Noer di IKIP Jakarta yang tidak jadi dibacakan dan juga buku tipis karangan WF Wertheim yang berjudul, kalau tidak salah, “Paralelisme Yang Mencolok: Kebijakan Kolonialisme dan Neokolonialisme terhadap Islam.” Saya agak sedikit lupa apa judul persisnya tulisan itu. Pokoknya, asal buku terlarang, Agus punya! Keluasan bacaan itu yang membuat Agus yang sekolahnya jurusan agama bisa bertukar pikiran secara intensif dan ekstensif dengan para aktivis mahasiswa dan para dosen dengan latar belakang keilmuan apapun dan universitas manapun.

Baca Juga  Menafsir Angka 108 pada Milad Muhammadiyah

Masih dalam tingkat itu juga Agus sudah biasa bertamu ke rumah para ilmuwan kelas satu di Yogyakarta terutama yang baru kembali dari studinya di luar negeri dengan gelar doktor (Ph.D)-nya yang waktu itu masih sangat langka dan istimewa. Di antara beberapa doktor baru tersebut, almarhum Dr. Kuntowijoyo-lah yang pemikirannya paling disenangi oleh Agus dan karena itu beliau banyak “diganggu” dengan kedatangannya bertamu. Sebagai intelektual muda dengan bakat yang menjanjikan, apalagi tingkat keberanian dan karakter percaya dirinya yang menyala-nyala ala orang Madura Panarukan yang mengalir dalam jiwanya, Agus juga mulai tampil sebagai aktivis mahasiswa.

Aktivis HMI

Sebagai mahasiswa tingkat propoedeuse Agus mengajak saya mengikuti Maperca HMI dan kemudian pengkaderan Basic Training (Batra). Seperti biasanya anak orang Muhammadiyah waktu itu, pengagum tokoh kiri itu lebih tertarik memasuki HMI. Akhirnya, kami mengikuti pelatihan kader HMI tersebut. Tapi oleh karena tidak utuh mengikuti Batra sampai selesai, saya memang lulus Batra dan sempat mendapatkan sertifikat training dengan predikat “Lulus dengan Terpaksa,” suatu tingkat kelulusan yang oleh Agus dijadikannya sebagai materi ledekan kepada saya sepanjang hidupnya.

Agus terus berkecimpung di HMI walau sering berada di luar struktur kepengurusan, dan saya di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tingkat Cabang. Agus sempat menjadi redaktur majalah berkala HMI Korkom IAIN Sunan Kalidjaga (yang saya juga lupa apa nama persisnya karena kayaknya cuma terbit dua atau tiga kali saja: kala-kala terbit kala-kala tidak).

Sebagai redaktur Majalah Himpunan tersebut saya bersama Agus menemui Dr Arif Budiman di Univeristas Satya Wacana, Salatiga, untuk sebuah wawancara. Saya kaget (tidak sampai setengah mati) menyaksikan Agus sudah sangat akrab dengan Arif Budiman. Anak ini memang luar biasa pede-nya dan memiliki talenta mudah berkenalan dan bersilaturahim dengan kalangan yang sangat luas dan majemuk yang lintas umur/generasi, golongan, ideologi, dan agama/aliran. Bersambung

Editor: Arif

Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *