Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan. Salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang Noomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 59 ayat 1). Di dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Praktik di Luar Indonesia
Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan campuran dapat dilakukan di luar Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat. Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya.
Namun, untuk sahnya perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Apabila lewat dari waktu yang ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan Peraturan Daerah setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang berbunyi:
(1) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2) dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah.
(2) Penetapan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing.
(3) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.
Akibat Hukum
Dampak atau akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut ialah mengenai kewarganegaraan yang bersangkutan (istri/wanita WNI) dan juga status kewarganegaraan sang anak.
Dari sisi hukum, status kewarganegaraan seseorang menentukan hak dan kewenangannya selaku warga negara. Orang yang memiliki status kewarganegaraan akan berbeda dengan orang yang tidak berstatus sebagai warga negara di negara tersebut, begitu juga sebaliknya, kewenangan dan hak orang asing juga terbatas.
Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara maupun negara. Hak dan kewajiban warga negara merupakan “isi” atau “aspek material” dari konsep kewarganegaraan itu sendiri. Hak dan kewajiban warganegara pada umumnya dimuatkan dalam konstitusi negara yang bersangkutan.
Penentuan kewarganegaraan berdasarkan aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat, yakni:
- Asas Ius Soli, artinya pedoman yang berdasarkan daerah atau tempat. Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Disebut juga asas daerah kelahiran.
- Asas Ius Sangunis, pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan. Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan orang tersebut.
Penentuan Status Kewarganegaraan
Suatu perkawinan dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Permasalahan akan muncul jika terjadi perkawinan campuran, yakni perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara Asing. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari masyarakat.
Berdasarkan asas ini diusahakan status kewarganegaraan suami dan istri adalah sama atau satu. Sedangkan asas persamaan derajat didasarkan pandangan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan istri maupun suami. Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegaraan. Jadi, mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya sebelum berkeluarga. Sisi positif dari asas ini yaitu dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum dan penyalahgunaan status kewarganegaran yang dimungkinkan terjadi jika digunakan asas kesatuan hukum.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Apatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraag, istilah lainnya stateless. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan rangkap (dua). Bahkan dapat muncul multiprade yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan banyak (lebih dari dua).
Undang-undang di Indonesia
Di Indonesia ada undang-undang yang mengatur tentang pasangan dari warga negara asing perkawinan campuran tersebut. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menyatakan: “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Namun beberapa perempuan WNI masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesianya, hal tersebut diatur dalam Pasal 26 (3) UU Kewarganegaraan. Sehingga perempuan WNI yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami WNA. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan berlangsung (pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan).
Perlu diperhatikan bahwa pengajuan tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Kewarganegaraan Ganda
Anak yang lahir dari pasangan berbeda warga negara, salah satunya, WNI, bisa memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling lambat tiga tahun setelah mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan memilih kewarganegaraannya. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus mengajukan pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor imigrasi.
Ada dua kategori anak yang harus memilih status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
(1) anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, adalah mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menhukham tentang kewarganegaraan.
(2) anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006, yang memiliki affidavit.
Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian saat keluar masuk Indonesia.
Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi Warga Negara Asing (WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat atau perwakilan Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak. Jika selama ini anak tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut. Demikian pula jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu harus dicabut pejabat yang menerima pernyataan memilih menjadi WNA.
Setelah Umur 18 Tahun Harus Memilih
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara Indonesia.
d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Anak yang tersebut di atas berakibat berkewarganegraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Editor: Arif