Perspektif

Spiral Silence dan Matinya Kritisisme di Muhammadiyah

3 Mins read

Jika ingin hidup sehat, jauhilah media sosial. Pernyataan ini seolah menunjukkan ekspresi paham fatalisme. Pernyataan itu seolah juga menunjukan sikap orang yang tidak siap dengan kemajuan zaman. Orang-orang seperti ini gagal memasuki zaman milenial atau era revolusi industri 4.0.

Media Sosial

Agak tragis memang jika kita menanggapinya demikian. Pernyataan ini justru sebaliknya, mengajak kita untuk hidup lebih sehat, agar kita memandang sesuatu lebih positif dan objektif. Kalau kita tidak memiliki kritisisme—tepatnya kematangan metode—membaca media sosial, maka sebaiknya jauhi media sosial.

Peran media sosial dalam meningkatkan fanatisme (sumbu pendek) beragama telah diungkap LIPI sejak 2015 yang lalu. LIPI menemukan bahasa intoleransi dan politik identitas yang cukup masif di media sosial. Bahasa-bahasa seperti itu digunakan untuk membangun narasi kebenaran di internal kelompok tertentu.

Jika di satu sisi media sosial membentuk sumbu pendek dalam beragama—bukan hanya umat Islam, tetapi non muslim juga—di sisi yang lain media sosial juga meningkatkan sekularisme, hedonisme, dan konsumerisme. Intinya, media sosial selalu mendorong terciptanya kutub-kutub perilaku dan sikap yang saling mengisolasi diri satu dengan yang lain. Kebenaran yang hidup di dalamnya menjadi semu.

Spiral Keheningan dan Janin Post-Truth

Fenomena kebenaran semu (post truth) seperti digambarkan di atas dapat disebut dengan “spiral keheningan” (spiral silence). Teori spiral keheningan ini pertama kali dikeluarkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann, pakar ilmu politik asal Jerman tahun 1980.  

Spiral keheningan adalah sebuah teori yang menjelaskan bahwa pandangan mayoritas (mainstream) akan menekan (mengintimidasi) pandangan minoritas atau individual. Pandangan minoritas tersebut lama-kelamaan akan melemah dan “diam” (silence), tidak berdaya di tengah pandangan mayoritas. Pandangan mayoritas inilah yang kemudian disebut sebagai “kebenaran semu” karena tidak ada anti-tesis lain.

Baca Juga  Warganet Indonesia untuk Palestina (3): Julid Fisabilillah sebagai Gerakan Humanisme Kosmopolitan

Dari sinilah kebenaran itu terbentuk, meskipun berisi berbagai dusta. Dari sinilah opini dan berita itu muncul di permukaan, meskipun berbeda dengan fakta sesungguhnya. Begitulah cara era post-truth dilahirkan di media sosial.

Hantu Big Data

Jika kita hari ini membuka satu berita atau iklan (baik komersial maupun layanan sosial), maka keesokan harinya berita atau iklan serupa akan muncul. Tidak hanya muncul satu kali, bahkan mungkin lebih dari tiga. Makin sering kita buka semakin banyak hal serupa muncul di media sosial kita. Itulah yang kita baca. Itulah yang akan mencuci otak kita. Itulah kebenaran yang akan diyakini seseorang.

Begitulah cara big data bekerja di media sosial. Big data bekerja seperti spiral keheningan. Big data akan mengisolasi seseorang dengan beragam informasi yang dibaca dan diklik. Jika hal tersebut terus dilakukan, maka kritisismenya lambat laun akan melemah dan tidak berdaya (silence). Pada saat itulah, media sosial sukses mencuci otaknya, dan dia kini menjadi agen yang ikut re-post apa yang didapat.

Jika itu berita anti Cina, maka dia akan fanatik anti Cina. Jika pro Palestina, maka dia akan jadi loyalisnya, bahkan bisa jihad ke sana. Jika yang dibuka urusan hedonis, duitnya akan terkuras memenuhi keinginannya itu. Itulah hantu big data dan spiral keheningan yang membelenggu kebenaran.

Matinya Kritisisme Muhammadiyah

Dengan menggunakan teori spiral keheningan, kita dapat pula membaca Muhammadiyah. Fakta hilangnya pikiran-pikiran kritis dua dekade ini menunjukkan bahwa kekuatan besar (invisible hand) berupa komunitas, wacana, dan gerakan tertentu ini sukses melakukan isolasi terhadap narasi minor.

Kejadian ini berawal dari ditariknya dengan paksa Buku Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Perkembangan Pemikiran Islam di tahun 2002. Prof Syamsul Anwar, salah satu tokoh kunci perumus buku tersebut menjelaskan, bahwa pada waktu buku tersebut terbit dan dibedah, datanglah segerombolan orang yang meminta buku tersebut ditarik dari peredaran. Meskipun jumlahnya tidak banyak, intensitas ancaman (semacam teror) sangat tinggi. Dengan alasan menjaga suasana batin agar grassroot (umat) tidak bergejolak, akhirnya diputuskan buku tersebut dicabut dari peredaran.

Baca Juga  Mungkinkah Ada yang Salah dalam Keberislaman Kita?

Pencabutan buku tersebut menjadi awal rusaknya iklim kebebasan berpikir di Muhmmadiyah. Gerombolan tersebut yang memiliki sumbu pendek dalam bergama akhirnya mendominasi pemikiran di internal Muhammadiyah dan menekan suara minoritas. Dalam catatan penulis, sejak saat itulah muncul dikotomi Muhammadiyah murni (kelompok dominan) dan liberal (minoritas), atau kelompok qath’i dan dzanni.

Tahun 2004, Majalah Tabligh sempat mengunggah nama-nama tokoh liberal Muhammadiyah, baik yang muda maupun tua, termasuk salah satunya Piet Hizbullah Khaidir (Mantan Ketua DPP IMM), yang saat ini menjadi Kiai di sebuah Pesantren di Jember. Saudara Piet dianggap liberal karena terlibat dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Beberapa isu yang digunakan untuk menekan kelompok minoritas pada waktu itu antara lain; 1) menolak wacana pluralisme dan teologi inklusif; 2) dalam wacana akademik menolak hadirnya hermeneutika; 3) mendiskriminasikan JIMM. Di beberapa daerah rapat JIMM sempat dibubarkan oleh KOKAM.

Puncak isolasi terhadap suara minoritas ini terjadi pada saat Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005. Pada Muktamar inilah tokoh-tokoh intelektual Muhammadiyah yang distigmakan liberal terlempar dari struktur besar Muhammadiyah. Paska Muktamar Malang, akhirnya kelompok minoritas lebih memilih diam dan tidak membuat kegaduhan. Gerakan diam ini rupanya membawa hikmah, sebab pada Muktamar 1 Abad tahun 2010 di Yogyakarta hingga Muktamar di Makassar tahun 2015, tenaga mereka dibutuhkan, dan saat ini memegang kunci di beberapa Majelis.

Akhir kata, dalam sebuah narasi besar pasti ada kelompok minoritas yang berbeda. Perbedaan itu merupakan awal terbukanya dialog. Dari dialog itulah akan muncul beragam inovasi yang menjadi cikal tajdid dan ijtihad Muhammadiyah. Betapa ruginya Muhammadiyah selama dua dekade ini telah kehilangan ruang ekspresi itu. Wallahu’alam bishawab.

*) Penulis adalah Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Bidang Kader Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, dan Dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Editor: Arif

Baca Juga  Mengunggah Foto Jenazah di Media Sosial: Patutkah?
Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *