Oleh: Muhammad Kholil
Sebelumnya perlu diketahui bahwa terdapat kesulitan tersendiri dalam menguraikan pembahasan ini. Kesulitan itu terjadi karena kurangnya sumber litelatur yang mendukung, disisi lain tidak adanya karya tulis yang ditinggalkan oleh K.H Ahmad Dahlan sendiri. Walaupun demikian, dunia mengetahui bahwa K.H. Ahmad Dahlan memiliki pemikiran otentik yang layak untuk terus dikaji.
Selanjutnya untuk menganalisa pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, penulis berangkat dari analisis jejak historis aksi nyata yang ia lakukan dan pesan yang pernah ia sampaikan dalam judul “kesatuan hidup manusia”, atau yang lebih dikenal dengan “tali pengikat hidup”. Dari sumber tersebut, sementara ini penulis sampai kepada kesimpulan bahwa setidaknya K.H Ahmad Dahlan memiliki pemikiran filosofis yang terbagi dalam dua hal, yaitu worship-ethics (etika-ibadah) dan social-ethics (etika-sosial).
Worship-Ethics (Etika-Ibadah)
Worship-ethics merupakan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang hablum minallah “hubungan manusia dengan Allah”, yang memuat dasar filosofi bagaimana seharusnya umat Islam berhubungan dengan Tuhan. Dalam aspek ini, K.H. Ahmad Dahlan menggunakan pandangan sistem etika deontologi (deon=kewajiban).
Dalam pandangan filsafat, Deontologi merupakan cara berpikir etis dengan mendasarkan diri kepada hukum yang dianggap harus berlaku mutlak dalam situasi dan kondisi apapun. Padangan ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa nilai baik tindakan manusia bukan dilihat dari tujuan, melainkan kesadaran manusia akan hukum dari tindakan tersebut. Maka secara garis besar sistem etika deontologi beranggapan bahwa tindakan dan perbuatan manusia harus berdasarkan sebuah kewajiban.
Prinsip etika deontologi-nya K.H. Ahmad Dahlan memuat prinsip hubungan vertikal sebagai mana disebut sebelumnya yang berangkat dari substansi kewajiban. Akan tetapi karena hubungannya yang bersifat vertikal, maka kewajiban dalam pandangan ini berasal dari sumber hukum Al-Quran dan Asunnah. Dalam pesan yang pernah ia sampaikan dengan judul “tali pengikat hidup”, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan:
“Manusia harus mengikuti aturan dan syarat yang sah (Al-Quran dan Asunnah) yang sesuai dengan akal pikiran yang suci, jangan membuat keputusan sendiri”.
Pesan ini dapat dimaknai bahwa dalam masalah ibidah (hubungan dengan Allah) manusia harus senantiasa mematuhi sumber hukum Islam (Al-Quran dan Sunnah), yang pada dasarnya selalu diterima oleh akal pikiran suci. Terkait dengan aspek ini, bentuk ibadah yang tidak bersumber dari hukum yang sah, yaitu merekayasa dan membuat keputusan sendiri tidak dapat dinilai sebagai kebenaran.
Pada kesempatan yang sama, K.H. Ahmad Dahlan menghimbau agar umat tidak menjustifikasi produk budaya, adat dan pemikiran ulama sebagai kebenaran (ibadah) universal. Ia mengatakan;
“… berhukum pada adat-kebiasaan dan adat-istiadat, padahal adat-istiadat itu tidak boleh dijadikan dasar hukum dalam menentukan dasar hukum baik-buruk, benar salah hanyalah sumber hukum yang sah dan sesuai dengan hati yang suci”.
Dari pesan tersebut, pada dasarnya Worship-ethics dalam pandangan deontologi Kiai Dahlan tidak mempersalahkan “baik-buruk” melainkan menitik beratkan pada “benar-salah”. Bagi Kiai Ahmad Dahlan, benar (sesuai) dalam aspek ibadah adalah ketika hal itu bersumber dari hukum Islam, dan hukum Islam sekaligus sebagai indikator penilaian kebenaran tersebut.
Hal ini karena dalam sumber hukum Islam tidak hanya memuat kewajiban (apa yang harus dilakukan) manusia kepada Allah. Tetapi juga memberikan jawaban untuk pertanyaan “bagaimana?” (cara) manusia melakukannya sesuai ridha Allah. Dari pandangan inilah kemudian Kiai Dahlan dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam.
Social-Ethics (Etika-Sosial)
Selanjutnya terkait pemikiran filosofis social-ethics Kiai Dahlan, penulis membagi menjadi dua pembahasan, yaitu etika-moralitas dan etika reisan. Etika-moralitas berangkat dari etika yang melekat dalam diri Kiai Dahlan ditinjau dari sisi kemanusiaan (humanitas). Dalam pembahasan ini, Mulkhan (2010) mengatakan bahwa Kiai Dahlan adalah sosok yang memiliki etika walas asih (cinta kasih).
Cinta kasih tersebut menjadi dasar bagi Kiai Dahlan dalam melakukan interaksi sosial. Secara umum Kiai Ahmad Dahlan menganggap bahwa tidak seharusnya manusia itu mendapat dan memberi perlakuan berbeda satu sama lain, karena pada dasarnya semua manusia itu memiliki ikatan. Sebagaimana dalam pesan yang sama, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan;
“meskipun manusia memiliki kebangsaan yang berbeda-beda, sesungguhnya nenek moyang mereka adalah satu, yaitu Nabi Adam dan Hawa. Jadi sesungguhnya seluruh manusia itu satu darah daging”.
Berdasarkan pesan tersebut, etika welas asih sesungguhnya telah menjadi fitrah dalam diri manusia. Hanya saja karena terdapat perbedaan dalam berbagai hal, etika welas asih ini secara perlahan tercabut dari diri manusia. Menurut KH. Ahmad Dahlan, semua manusia memiliki tujuan yang sama dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu menggapai kebahagiaan. Sedangkan kebahagiaan tersebut hanya dapat tercapai manakala manusia telah bersatu hati.
Masih dalam pesan yang sama KH. Ahmad Dahlan mengatakan; “agar supaya dengan bersatu hati itu manusia dapat hidup senang secara bersama didunia”. Maka bagi K.H. Ahmad Dahlan kunci dalam menjalani kehidupan didunia ini adalah menyadari bahwa setiap manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia lainnya. Manusia harus dapat bersatu hati dalam ranah implementasi etika welas asih.
Selanjutnya masih dalam pembahasan social-ethics K.H. Ahmad Dahlan adalah apa yang penulis sebut sebagai etika reisan. Apabila sebelumnya etika-moral K.H. Ahmad Dahlan dalam bentuk welas asih ditinjau dari sudut humanitas, maka dalam etika reisan ini ditinjau dari sudut implmentasi pemahaman wahyu sebagai basis aspek humanis. Dengan kata lain, etika reisan menempatkan wahyu sebagai motivasi dan sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan sosial (sikap dan perbuatan).
Terkait teori etika reisan tersebut, kita dapat melihat dari apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan dalam aksi sosialnya sebagai bentuk implementasi penafsiran wahyu demi kemaslahatan manusia. Tentu tidak asing lagi bagi kita semua khususnya kader Muhammadiyah, bahwasaanya kelahiran Muhammadiyah sebagai organisasi modern berbasis teologis terbesar se-Asia kalau malah tidak sedunia itu, merupakan bentuk konkrit dari penafsiran atas Surat Ali Imran ayat 104.
Demikian pula tafsir atas Surat Al-Maun, sebagai suatu referansi aksi pemberdayaan kaum tertindas atas pertimbangan pragmatis seperti lahirnya aksi penyantunan bagi anak yatim, orang miskin dan yang menderita.
K.H. Ahmad Dahlan memandang Islam dengan sumber hukum Al-Quran dan Asunnah sebagai pedoman hidup merupakan alternatif fungsional untuk memecahkan problematika kehidupan manusia. Secara subtantif, pandangan K.H. Ahmad Dahlan ini menempatkan fungsi orientasi sebagai penilaian perbuatan. Dengan demikian, dalam hubungannya secara horizontal K.H. Ahmad Dahlan menggunakan etika reisan sebagai fundamental-oprasional.