Tepat di depan pagar sekolah saya dahulu, ada seseorang yang selalu berdiri rapi. Laki-laki paruh baya pedagang siomay ini menggunakan topi abu-abu dan baju kemeja dua saku. Sepeda onthel-nya selalu dikemas apik dengan beberapa aksesoris yang melekat tepat di belakang sadel sepeda.
Pedagang Siomay dan Kejujurannya
Pukul tujuh pagi beliau sudah berada di tempat itu. Bertahun-tahun ia mengemban tugas sebagai pedagang siomay. Kedisiplinannya patut saya acungi jempol. Dedikasi dalam melayani anak-anak sekolah yang singgah membeli siomay sangat luar biasa. Ia meracik siomaynya dengan cita rasa unik. Senyumannya melihatkan lentik pipi untuk menyambut rezeki melalui tangan-tangan mungil anak-anak sekolah.
Sering saya melihat, ia hanya menerima beberapa uang logam lima ratusan. Agaknya sih, masih belum cukup menambah pundi-pundi pendapatannya. Ia hanya berharap bisa menukarkannya dengan satu kilogram beras untuk anak istrinya di rumah.
Di jam istirahat, biasanya saya dan teman-teman sudah menyerbu jajanan siomay yang terkenal empuk dan gurih itu. Siomaynya yang super lezat ditambah selera guyonan pedagangnya yang tinggi membuat saya dan teman-teman betah sekali berada di tempat itu.
Wah. Saya sempat berpikir, andai saja tidak ada pedagang siomay di sekolah saya dahulu, mungkin hari-hari kami tidak begitu menyenangkan. Berbaur dengan beliau dan mengunyah siomay racikannya sungguh menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri buat saya.
Ah. Mulia sekali pedagang siomay ini beliau sudah membuat kami merasa bahagia. Yang lebih hebatnya lagi ia selalu berangkat pagi, kadang pulang sore. Sambil menunggu jualannya habis. Jika tak habis mungkin ia akan pulang sedikit larut malam dengan keadaan letih yang tiada tara.
Esoknya ia akan kembali berdiri di tempat semula mulai pukul tujuh. Menyapa anak-anak sekolah dengan penuh ramah tamah. Setelah tugas itu selesai ia berkeliling untuk memastikan barang dagangannya terjual semua. Dan hanya akan pulang jika somaynya sudah habis atau minimal tinggal sedikit.
Walaupun pendapatannya tidak seberapa, namun konsistensinya itu yang membuat saya kagum. Setelah sekian tahun kejadian itu berlalu saya merasa bangga dan tidak sungkan untuk membela pedagang-pedagang yang jujur bagi dirinya sendiri.
Konsistensi dan Komitmen
Berjibaku dan komitmen dengan apa yang sudah ia emban. Mental seperti ini agaknya sangat sedikit dimiliki segelintir kaum elit negeri ini. Terkadang, negara sudah mengeluarkan anggaran besar demi membayar gaji dan tunjangannya, ternyata hobinya hanya sekedar bermalas-malasan. Bahkan menghadiri rapat yang notabene sudah diberi nutrisi empat sehat lima sempurna saja, masih juga telat.
Ditambah ketika rapat dan agenda mingguan dimulai ia malah terlihat asyik tertidur. Ini mental- mental yang harus diperbaiki. Andai saya diberikan wewenang untuk sekedar usul, saya mengusulkan agar mereka berguru kepada pedagang siomay tadi. Agaknya mereka harus belajar bagaimana mengasah mental untuk jujur kepada diri sendiri sambil mereka menelaah agar paham rasanya mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari logam.
Ya seharusnya, jika amanah itu sudah diemban, mereka sudah mampu memosisikan diri sebagai andalan negara. Agar kontribusi itu terlihat jelas terang benderang. Bukan hanya menjadi penumpang gelap tanpa kontribusi apa-apa. Punyailah rasa malu jika kemampuan dirinya tidak menjadi prioritas negara.
Ya, ya,ya. Saya jadi paham kalau seperti ini. Bagaimana kalau kita tukar sebulan saja, mas tukang siomay akan mengenakan baju dinas untuk menghadiri rapat, sedangkan para elit nangkring di depan sekolah saya sambil menggelar dagangan siomay persis yang di lakukan pedagang siomay sungguhan.
Saya yakin saking bersyukurnya pedagang siomay tadi bertukar posisi, ia akan benar-benar memanfaatkan momen ini dan sangat berterimakasih akan nikmat yang Tuhan berikan. Bahkan ketika rapat dimulai pukul delapan pagi kemungkinan besar ia akan datang pukul tujuh, lah kenapa bisa? Karena mereka sudah terbiasa jujur terhadap diri sendiri. Rasanya kalau sikap ini sudah melekat terlalu lama, ia akan sulit membohongi dirinya. rasa-rasanya itu adalah hal yang tabu, seperti menguliti diri sendiri.
Krisis Moral dan Kejujuran
Ya, perbandingannya sama seperti kita, ibarat sudah terbiasa makan nasi dikasih kentang untuk makan sehari-hari, jelas nggak enak dong, nggak nyaman to? Saya malah kepikiran ingin menjadikan mereka sebagai pelatih training kejujuran diberbagai instansi kepemerintahan. Lucu ya kedengarannya? Tapi ya seperti itu, kita harus mengakui moral para elit penguasa belum semulia pedagang siomay.
Lantas bagaimana sang elit yang bertukar posisi sebagai pedagang siomay? Saya sempat berfikir agaknya tidak ada anak-anak yang mau membeli siomaynya, ya bagaimana mau membeli barang dagangannya? Menghargai diri sendiri dan belajar jujur saja belum bisa. Toh anak-anak juga masih polos, ia hanya mendekat dengan orang-orang yang tulus menyayanginya.
Sekarang cukup renungi dan akui saja. Negeri ini memang sedang krisis moral jujur terhadap diri sendiri. Sudahlah jangan terus bersandiwara dengan bayangan masing-masing. Kebohongan apapun yang mereka lakukan dampaknya juga akan mereka terima. Tidak di dunia Tuhan telah memepersiapkan balasan terbaik di akhirat.Â
Editor: Nabhan