Di Jakarta ada banyak masjid yang memiliki nilai-nilai bersejarah yang layak diketahui. Salah satu dari sekian banyak masjid yang bersejarah, yakni masjid Al-Alam Marunda yang terletak di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Masjid ini juga merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta.
Kata “masjid” berasal dari bahasa Arab, sajada-yasjudu-sujudan, yang berarti “sujud” menundukkan kepala sampai ke tanah. Dari kata “sajada” kemudian terbentuk kata “masjid” yang artinya tempat sujud. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa kata “sajada” tunduk dan patuh atau kepatuhan kepada Allah Swt. Pada hakikatnya masjid merupakan tempat beribadah untuk melakukan kewajiban seorang Muslim, seperti sholat. Akan tetapi dalam perkembangannya masjid bagi kaum Muslim juga dapat digunakan sebagai sarana Pendidikan, dakwah, dan budaya Islam.
Masjid dalam Al-Qur’an
Meskipun bentuk konkrit masjid tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Namun, ada perintah untuk membangun sebuah masjid sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmizi berbunyi, “Rasulullah menyuruh kepada kita agar mamengun masjid di rumah kita dan ia memerintahkan agar kita selalu membersihkannya”. Masjid pertama yang dibangun pada masa Rasululllah Saw adalah masjid Quba, sekitar 10 km dari kota Madinah.
Dikarenakan tidak ada bentuk yang pasti dalam pembangunan sebuah masjid, maka bangunan masjid di setiap tempat dan daerah memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara kronologis desain masjid berkembang mengalami evolusi dalam tiga tahap yang dipandang sebagai fenomena umum di sebuah tempat.
Pertama, masjid dengan ruang hyspostyle (ruang lorong) dengan halaman terbuka, dikelilingi sederetan tiang-tiang yang menopang atap. Desain ini muncul di Saudi Arabia dan berkembang di era Abbasiyah sekitar abad ke-10 dan 11.
Kedua, munculnya berbagai desain bangunan masjid gaya regional yang memperlihatkan dominannya pengaruh geografis. Ketiga, desain bangunan masjid yang tumpang tindih dengan yang kedua tetapi tidak bertentang dengan gaya regional atau disebut “monumental style”, dicirikan dengan penggunaan elemen-elemen lengkungan dan kubah. Sebagaimana yang berkembang di Iran, Asia Tengah, masa Dinasti Usmaniah, India, dan Dinasti Mughal.
Sejarah Masjid Al-Alam Marunda
Menurut berbagai sumber yang berkembang, terdapat dua versi sejarah pendirian masjid Al-Alam Marunda. Pertama, pendirian masjid ini berkaitan dengan penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa tahun 1527. Dalam penyerangannya ke Sunda Kelapa, Fatahillah tidak menggunakan jalur laut atau darat, melainkan jalur Sungai Cilincing. Disinilah kemudian Fatahillah membangun basis sarana pertahanan dan masjid.
Kedua, masjid Al-Alam dibangun pada abad ke-17 oleh pasukan Mataram Islam pada waktu menyerang Batavia. Mereka menggunakan wilayah ini sebagai basis pertahanan. Maka, dibangunlah masjid ini sebagai tempat ibadah dan juga basis pasukan Mataram. (Setiawan, 2010). Menurut SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993, masjid tersebut dibangun pada abad ke-17 saat pasukan Mataram Islam menyerang Batavia (1628-1629.
Selain itu, masjid ini juga dinamakan masjid “Pitung”, hal itu dikarenakan berjarak 150 meter dari masjid Al-Alam terdapat rumah Si Pitung. Karena menurut berbagai sumber dahulu Si Pitung kerap bersembunyi di masjid Al-Alam ketika diburu oleh komponi Belanda. Penamaan Al-Alam sendiri sebenarnya baru digunakan pada tahun 1972 oleh Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Sebab dahulu nama masjid ini adalah Masjid Agung Al-Auliya.
Masjid Tiga Gaya Arsitektur
Secara keseluruhan masjid Al-Alam Marunda memperlihatkan adanya akulturasi arsitektur tiga budaya yang berbeda, yakni arsitektur tradisonal Jawa, Betawi, dan arsitektur kolonial Belanda. Bentuk arsitektur Jawa bisa dilihat melalui bentuk atap bangunan yang berupa tanjuk tumpeng. Bentuk arsitektur Betawi terlihat dari dinding masjid yang didominasi jendela jerusi kayu. Sedangkan bentuk kolonial Belanda dapat dilihat dari bentuk empat tiang saka guru yang bergaya order Yunani.
Masjid ini juga memiliki elemen yang unik, yakni adanya sebuah lubang kecil berbentuk oval yang terdapat di bagian selatan dinding utama. Lubang tersebut konon berfungsi sebagai tempat pengintaian oleh pasukan terhadap kapal Belanda yang masuk ke area Marunda.
Di samping itu, di sekitar Kawasan masjid Al-Alam terdapat sebuah bangunan yang persis seperti makam. Tetapi sebenarnya itu bukan makam melainkan petilasan Sayyid Abdul Halim bin Hayyi Yahya. Adapun menurut berbagai sumber, inisiasi untuk membangun petilan Sayyid Abdul Halim berasal dari Gus Dur saat menjabat sebagai Presiden. Sebab menurut Gus Dur, Sayyid Abdul Halim bin Hayyi Yahya seperti Amr bin Ash, Gubenur Mesir zaman pemerintahan Umar bin Khattab. Dimana Sayyid Abdul Halim menjadi salah satu mata-mata Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung.
Selain Sayyid Abdul Halim, terdapat juga ulama Mataram yang ikut membantu, yakni Syekh Nurul Ahmad Nur Muhammad. Seorang penggawa Cirebon yang diutus oleh Kesultanan Cirebon untuk membantu Mataram, di bawah Tumenggung Bahurekso, untuk menyebarkan agama Islam di Sunda Kelapa.
Editor: Assalimi