Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read

Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan membelinya. Sebab itu memang menjadi kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan primer sampai yang bersifat sekunder.

Jual beli didefinisikan sebagai suatu akad pertukaran harta antara penjual dan pembeli berdasarkan rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan, sehingga terjadilah perpindahan kepemilikan. Rukun-rukunnya meliputi adanya penjual dan pembeli, barang yang dijual, dan shighat (ijab kabul).

Dalam konteks penetapan harga, jual beli memiliki dua jenis utama: bai’ al-musawamah dan bai’ al-amanah. Bai’ al-musawamah adalah ketika penjual tidak mengungkapkan kepada pembeli harga asli saat pertama ia beli barang tersebut. Sebaliknya, bai’ al-amanah adalah transaksi di mana penjual menginformasikan kepada pembeli harga asli barang atau modal pembelian. Bai’ al-amanah ini juga terbagi menjadi beberapa macam.

Macam-macam Jual Beli al-Amanah

Ketika seseorang membeli barang dan kemudian menjualnya, dia bisa memberitahu kepada pembeli harga asli barang tersebut. Dia juga bisa menjualnya dengan harga yang lebih rendah, lebih tinggi, atau bahkan sama dengan harga saat pertama kali membelinya. Ini adalah bagian dari jual beli al-amanah, yang mencakup al-wadi’ah (penjualan dengan harga lebih rendah), al-murabahah (dengan harga lebih tinggi), dan al-tauliah (dengan harga yang sama seperti harga awal).

Setiap kali melakukan jual beli, tujuannya pasti mencari keuntungan. Oleh karena itu, akan terlihat kurang bijak jika seorang pedagang menjual barangnya dengan harga yang sama seperti saat dia membelinya, atau bahkan lebih murah, karena itu berarti dia akan mengalami kerugian. Namun, dalam situasi di mana barang dagangan tersebut memiliki batas waktu kadaluarsa, pedagang terkadang terpaksa untuk menjualnya dengan harga lebih rendah agar tidak mengalami kerugian yang lebih besar.

Baca Juga  Prediksi Kuntowijoyo: Muhammadiyah 2020-2025 dan Teologi Kesejahteraan

Murabahah dalam Fikih Klasik

Secara bahasa, kata al-murabahah berasal dari kata al-ribh yang berarti tambahan atau keuntungan dalam jual beli. Dalam praktiknya, ini berarti menjual barang dengan menaikkan harga dari harga beli asli, untuk mendapatkan keuntungan. Sebagai contoh, jika Zaid membeli barang seharga 100 ribu dan ingin menjualnya, dia bisa memberitahu pembeli bahwa dia membelinya seharga 100 ribu dan menjualnya seharga 130 ribu, dengan selisih 30 ribu sebagai keuntungannya. (al-Fiqh al-Syafi’i al-Muyassar: 486).

Sebagaimana akad syariah lainnya, jual beli murabahah harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan. Pertama, pembeli harus mengetahui harga awal barang yang dijual oleh penjual, sebab ini termasuk syarat dari jual beli al-amanah, termasuk juga bai’ wadi’ah dan tauliah. Kedua, pembeli juga harus mengetahui keuntungan yang diperoleh penjual, sebab keuntungan termasuk bagian dari harga barang yang melebur menjadi harga jual. Ketiga, tidak tercampur dengan transaksi yang mengandung riba. Keempat, akad pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan. (Wahbah Zuhaili, al-Mu’amalah al-Maliah al-Mu’asharah).

Dalam fikih, dikatakan bahwa dalam akad murabahah, hanya ada dua pihak yang terlibat, yaitu penjual dan pembeli. Al-Kasani, seorang cendekiawan fikih, mencatat bahwa masyarakat telah menerima dan mewarisi praktik akad jual beli murabahah ini dari generasi ke generasi tanpa ada yang menentangnya. Ulama sepakat bahwa jenis jual beli ini dianggap sah secara syariah. (Badai’ al-Shanai’ lil Kasani :5, 220). Seiring berjalannya waktu, implementasi akad murabahah pun mengalami perubahan, yang jelas berbeda antara praktik fikih klasik dan kontemporer.

Murabahah dalam Fikih Kontemporer

Modern ini akad jual beli murabahah tidak melulu hanya berada di pasar, toko, dan sebagainya, tetapi juga digunakan sebagai salah satu produk dalam perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah. Mungkin muncul pertanyaan, mengapa lembaga semacam itu tertarik pada jenis transaksi ini? Bukankah mereka biasanya fokus pada layanan finansial seperti simpanan, pinjaman, dan pembiayaan?

Baca Juga  Menggugat Nalar Anti Kritik Salafi

Untuk menghindari adanya praktik yang dilarang dalam syari’ah seperti riba dalam pinjaman berbunga, maka lembaga keuangan syariah mengubah pinjaman berbunga menjadi pembiayaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, salah satunya dengan menggunakan akad murabahah. Produk ini cocok digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dana untuk keperluan konsumtif, seperti pembelian mobil atau untuk keperluan usaha produktif seperti toko pakaian atau toko sembako.

Karena lembaga keuangan syariah bukan produsen yang memproduksi barang untuk dijual dan bukan pula berdagang, maka ulama fikih kontemporer membuat formulasi yang disebut al-murabahah lil amir bi syira’, yaitu jual beli murabahah kepada orang yang meminta untuk membelikan barang. Orang yang meminta pembelian barang adalah nasabah, sementara lembaga keuangan syariah adalah pihak yang melakukan pembelian sesuai permintaan..

Nasabah yang meminta lembaga keuangan syariah untuk membelikan barang biasanya telah memberikan kriteria barang yang diinginkan. Misalnya, seseorang ingin membeli mobil Alphard dengan opsi pembayaran angsuran. Untuk memenuhi permintaannya, ia pergi ke lembaga keuangan syariah untuk mendapatkan pembiayaan berdasarkan spesifikasi mobil yang diinginkan. Lembaga keuangan syariah kemudian membeli mobil tersebut seharga 1 miliar dari diler. Setelah mobil tersebut menjadi milik lembaga keuangan syariah, mereka menjualnya kepada nasabah dengan harga 1,1 M secara angsur, termasuk keuntungan. Inilah bagaimana praktik murabahah di lembaga keuangan syariah berlangsung.

Dalam gambaran tersebut, perbedaan dengan fikih klasik hampir tidak terasa karena penjual (lembaga keuangan syariah) sama-sama membeli barang langsung dari penjual pertama (diler). Namun, perbedaan yang paling mencolok adalah ketika nasabah sebagai wakil dari lembaga keuangan syariah membeli sendiri barang yang diinginkan. Dalam hal ini, nasabah harus mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam akad wakalah. Akad murabahah tidak dapat dilakukan sebelum barang yang diwakilkan tersebut benar-benar dibeli. Baru setelah barang tersebut dibeli dan menjadi milik lembaga keuangan syariah, akad murabahah bisa dilakukan.

Baca Juga  Ateisme Menguat di Timur Tengah, Ada Apa Sebenarnya?

Demikianlah evolusi bai’ al-murabahah dari zaman klasik hingga kontemporer. Praktiknya akan terus beradaptasi dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Selama tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, tidak ada masalah, sebab prinsip dasar muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Staf Audit Syariah KSPPS BMT Fastabiq Khoiro Ummah Pati
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *