Perspektif

Menggugat Nalar Anti Kritik Salafi

4 Mins read

Sepanjang bulan Ramadhan kemarin, setidaknya ada tiga hal yang sempat memicu kalangan NU(Nahdatul Ulama) dan salafi bersitegang, yaitu tentang doa buka puasa, imsak, serta penggunaan kata hijrah.

Hal yang Menimbulkan Bersitegang

Pertama tentang doa buka puasa. Awal bulan puasa ini—sepertinya tahun lalu juga sudah ada tapi kembali mencuat tahun ini—ada semacam pesan WA(WhatsApp) berantai yang menyampaikan bahwa doa buka puasa yang sudah biasa dirapalkan di Indonesia itu tidak didasarkan pada hadis yang sahih.

Dalam pesan tersebut disebutkan kalau berdasarkan kajian hadis yang dilakukan oleh Syekh al Albani, tokoh salafi kontemporer, doa Allahumma laka sumtu wa bika amantu… sampai akhir, itu merupakan doa yang berdasar pada hadis da’if atau lemah secara sanad(silsilah periwayat hadis). Sementara, masih menurut Syekh al Albani, doa yang pas dan berdasarkan hadis shahih adalah yang berbunyi Dzahabat damaau waftallatil uruf… sampai akhir.

Kalangan NU langsung merespon kritik tersebut. Mereka melakukan klarifikasi dan memunculkan beberapa dalil fiqh, untuk melegitimasi keabsahan menggunakan doa, walaupun ia berasal dari hadis yang da’if. Sepanjang urusan itu tidak menyangkut halal-haram dan tidak menyangkut persoalan teologi Islam, maka hadis da’if pun bisa digunakan, seperti dalam konteks doa buka puasa ini.

Kedua, Ustadz Khalid Basalamah mengatakan bahwa imsak dalam tradisi muslim Indonesia itu tak ada dasarnya. Dalam salah satu ceramahnya, ustadz salafi kondang ini mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa bila ada makanan di tangan, maka boleh di makan hingga waktu subuh. Atas dasar itu, ia pun menyatakan bahwa tradisi imsak di Indonesia itu bid’ah.

Kalangan NU pun segera melakukan klarifikasi. Mereka memunculkan dasar hadis sahih yang dikutip dari kitab Sahih Bukhari, bahwa jarak antara selesainya waktu sahurnya Rasulullah dengan waktu salat subuh beliau adalah sekira waktu membaca 50 ayat al-Quran. Durasi ini kemudian dikonversikan menjadi 10-15 menit dan dijadikan pijakan atas penentuan waktu Imsak.

Baca Juga  Ramadhan: Islam Populer vs Islam Populis

Ketiga, Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, menyoal penggunaan terma hijrah yang sering dipakai oleh orang-orang salafi. Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Santri NU DIY ini mengatakan bahwa konsep hijrah yang dipegang erat oleh kalangan salafi, terutama salafi jihadis, itu tidak tepat.

***

Konsep hijrah mereka lebih bersifat politis daripada transendental dan spiritual. Konsep hijrah itu oleh kalangan salafi dijadikan pijakan untuk mengaplikasikan prinsip al wala’ wa al barra’, mencintai golong mereka dan membenci di luar golongan mereka. Mereka yang hijrah akan dianggap segolongan dan harus dicintai, sementara mereka yang tidak dianggap jahiliyah dan harus dibenci.

Video yang sempat ditayangkan dalam akun youtube UGM tanggal 6 Mei 2020 itu pun segera diserang oleh kalangan salafi. Ribuan dislike dari buzzer kalangan salafi segera menghampiri video tersebut. Dalam sekejap, video berdurasi sekitar 5 menit itupun tiba-tiba lenyap dari youtube karena dihapus oleh pengunggahnya dan kembali diunggah beberapa hari kemudian.

Itulah sekilas cerita tentang retakan hubungan antara kalangan NU dan salafi di Indonesia, setidaknya di bulan Ramadhan ini saja. Keduanya memiliki cara yang berbeda ketika menghadapi kritik atas ajaran masing masing-masing.

Belajar dari NU (Nahdatul Ulama)

Kalangan NU, betapapun dulu sempat dianggap berpikiran tradisional dan kolot, ternyata cenderung lebih bijak ketika menghadapi kritik. Mereka tetap menunjukkan sikap diskursif. Tidak langsung main hajar, kalangan Islam mayoritas di Indonesia ini masih berupaya mengetengahkan argumen-argumen klarifikatif dalam menghadapi kritik kalangan salafi.

Sementara kalangan salafi, cenderung tidak diskursif ketika mendapati ajarannya dikritik. Betapapun kritik yang disampaikan kalangan NU itu seringkali merupakan semacam serangan balik dan berpijak atas argumen-argumen yang logis, hampir selalu akan ditanggapi secara sarkastik oleh kalangan salafi.

Baca Juga  Naluri Kosong Pelaku Teror

Bukan hanya dalam kasus Prof. Dr. Noorhaidi Hasan mereka bertindak begitu. Plt. Rektor UIN Sunan Kalijaga, Dr. Sahiron Syamsuddin, juga pernah mengalami hal yang serupa. Bahkan cenderung lebih parah. Pakar tafsir ini, pernah menulis ulasan panjang lebar di Facebook tentang tafsir ayat al-Maidah ayat 51.

Hanya karena beliau menuliskan status tersebut, akun Facebook beliau pun diserang ratusan buzzer dan dilaporkan sebagai status yang tidak pantas pada pengelola Facebook. Alhasil, Facebook beliau pun diblokir dan baru bisa aktif lagi setahun kemudian.

Selain itu, beberapa kali penulis menghelat diskusi publik yang mendatangkan tokoh-tokoh salafi, penulis sering mendapati mereka memang cenderung anti kritik. Walaupun awalnya tokoh salafi itu kerap melancarkan kritik pedas atas konsep Islam Nusantara, tetapi ketika kemudian direspon dan balik dikatakan kalangan salafi radikal, mereka langsung marah dan menganggap itu sebagai penistaan.

Bijak Menyikapi Kritik

Keberbedaan cara menyikapi kritik yang ditunjukkan oleh kalangan NU dan salafi ini sebenarnya tidak lepas dari tradisi keislaman masing-masing. Meski sama-sama mendaku Islam, tapi dua aliran ini memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Dalam hal membaca hadis misalnya, kalangan salafi cenderung ketat melihat sanad dan cenderung longgar melihat dimensi pesan moral hadis, konteks, logika, dst.

Sementara, kalangan NU sedikit tidak terlalu rigid dalam urusan sanad hadis selama ia tidak berhubungan dengan hal-hal yang prinsip (ibadah, halal-haram, dan aqidah). Dalam membaca hadis, kalangan NU juga melihat dimensi ushul fiqh, sejarah, konteks, batin, maslahat, logika, pesan moral, dst.

Pola keduanya dalam melihat hadis itu pada gilirannya membentuk karakter masing-masing dalam menyikapi kritik. Kalangan salafi yang terbiasa melihat sanad, akan segera melihat orang yang mengkritik daripada melihat isi kritik. Realitas ini diperparah dengan prinsip al wala’ wa al barra’ yang mereka pegang teguh. Alhasil, ketika ada kritik dan itu berasal dari kalangan lain, mereka pun segera menutup telinga atau membungkam sang pengkritik, seperti yang terjadi pada kasus di atas.

Baca Juga  Berniat Tulus Menjaga Amanah

Sementara kalangan NU yang terbiasa melihat ajaran Islam secara multidimensi, dengan sendirinya akan menunjukkan sikap diskursif ketika menghadapi kritik. Perbedaan pendapat dalam hal fiqh atau hukum Islam merupakan makanan sehari-hari kalangan NU, sehingga wajar jika mereka tak gagap ketika menjumpai kritik atas ajarannya.

Akhirnya, di negeri yang menjunjung tinggi asas demokrasi permusyawaratan dan di ruang publik dunia maya tanpa sekat, sikap bijak menghadapi kritik ada syarat mutlak. Tanpa sikap ini, komunikasi akan sulit, demokrasi akan tergadai, dan ruang publik jadi cemar.

Maka, demi menjaga harmoni publik, agaknya kalangan salafi perlu belajar dari NU. Jika ini tidak memungkinkan, setidaknya hentikanlah hasrat untuk melancarkan kritik atas kalangan lain di ruang publik. Kalau tak mau dicubit, maka jangan mencubit. Kalau tidak mau dikritik, maka jangan mengkritik.

editor : Rizki Feby Wulandari

Avatar
1 posts

About author
Pengajar di Prodi Aqidah dan FIlsafat Islam UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *