Perspektif

Benarkah Bank Syariah Lebih Kejam daripada Bank Konvensional?

4 Mins read

Pada Bulan Mei yang lalu Ustadz Yusuf Mansur (UYM) menyampaikan kritiknya terhadap Bank Syariah. Menurut UYM, Bank Syariah lebih mahal dibanding dengan Bank Konvensional. Hal ini membuat nasabah malas mengambil pembiayaan di institusi berbasis nilai syariah tersebut. UYM juga sebut pembiayaan Bank Syariah belum bisa diakses untuk masyarakat bawah. 

Belum lama ini, gugatan kepada Bank Syariah kembali muncul. Kali ini datang dari Pengusaha Jalan Tol Jusuf Hamka. Anak angkat dari Buya Hamka tersebut, mengaku diperas oleh sebuah bank syariah swasta yang tak dia buka identitasnya. Dia melayangkan somasi sebanyak 3 kali namun tidak digubris. Jusuf kemudian menempuh jalur hukum atas peristiwa yang menimpanya.

Kasus ini mencuat ke publik. Jusuf mengeluarkan pernyataan bahwa bank syariah kejam. Pemberitaan mengenai kasus Jusuf Hamka ditanggapi oleh Masyarakat Ekonomi Syariah. Menurut Iggi H. Achsien Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah, Jusuf telah minta maaf atas pernyataannya tersebut.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas menyayangkan pernyataan Jusuf Hamka soal bank syariah. Menurutnya pernyataan tersebut merugikan bank syariah secara umum. 

Bersikap Adil Terhadap Bank Syariah

Saya ingin menanggapi terlebih dahulu pernyataan Ustadz Yusuf Mansur. Entah motif apa yang mendorong beliau tiba-tiba mengeluarkan pernyataan tersebut. Soal bank syariah lebih mahal dibanding bank konvensional. Meskipun menurut Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), margin (sebagai pengganti dari bunga) bank syariah sekarang sudah lebih kompetitif.

Kenapa margin bank syariah lebih mahal? Ada banyak faktor yang menyebabkannya. Namun secara sederhana, membandingkan bank syariah dengan bank konvensional ibarat membandingkan warung dengan mall.

Secara usia, bank syariah lebih muda dan asetnya lebih kecil dibanding dengan bank konvensional. Karena asetnya yang masih kecil, maka harga barangnya menjadi lebih mahal dibanding dengan yang asetnya besar.

Baca Juga  Menanggapi Mark Woodward: Muhammadiyah Makin Islami atau Makin Sekuler?

Ada juga salah paham yang muncul di masyarakat bahwa karena ada label syariah yang menempel, maka bank syariah tidak terlalu mementingkan keuntungan. Hal ini merupakan salah kaprah. Bank syariah merupakan lembaga bisnis yang berorientasi profit, mau dengan label syariah ataupun tidak. Jangan samakan dengan lembaga zakat atau lembaga swadaya masyarakat yang bersifat non profit. Karena itu tidak salah jika bank syariah ambil untung dari transaksinya.

Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Salah paham lainnya adalah menganggap bank syariah sama dengan bank konvensional. Jika kita memahami mekanisme transaksinya, sebenarnya ada bedanya. Secara umum, yang membedakan bank syariah dan bank konvensional adalah prinsipnya.

Prinsip syariah melarang adanya riba (rente), maysir (judi), dan gharar (ketidakjelasan) dalam transaksi ekonomi. Prinsip syariah juga memperhatikan kehalalan barang yang ditransaksikan. Misalnya bank syariah tidak akan memberikan pembiayaan kepada perusahaan bir. 

Fatwa MUI nomor 1 tahun 2004 mengharamkan bunga bank dengan alasan bunga sama dengan riba nasi’ah. Padahal dalam bank konvensional bunga bank merupakan sumber keuntungan bagi bank. Oleh karena itu, ada beberapa transaksi dalam bank syariah yang dimodifikasi menyesuaikan prinsip syariah.

Untuk kredit konsumtif, mekanisme pada bank konvensional adalah memberikan pinjaman dana kepada nasabahnya untuk dibelikan barang yang dibutuhkan. Dalam jangka waktu tertentu, nasabah harus mengembalikan dana tersebut ke bank berikut dengan bunganya. 

Sementara dalam bank syariah, mekanisme yang digunakan bukan kredit konsumtif, namun jual beli konsumtif. Akad ini disebut dengan murabahah. Misalnya seorang nasabah ingin membeli sebuah mobil. Maka agar tidak menjadi riba, pihak bank terlebih dahulu membeli mobil yang diinginkan.

***

Setelah itu, pihak bank akan menjual kembali mobil itu kepada nasabah dengan harga yang dinaikan. Selisih kenaikan harga ini disebut dengan margin. Margin inilah yang digunakan oleh bank syariah untuk memperoleh keuntungan. 

Baca Juga  LUAR BIASA! Orang Indonesia Kebal Virus Corona?

Apakah dalam praktiknya benar-benar seperti itu? Kenyataannya bank syariah tidak membeli mobil seperti teorinya. Yang membeli mobil tetap nasabah. Uangnya tetap diberikan kepada nasabah. Sehingga, mirip dengan bank konvensional.

Bank mewakilkan pembelian mobil kepada nasabah. Akad ini disebut murabahah bil wakalah. Praktik yang masih mirip bank konvensional ini menjadi salah satu kritik dari pihak yang ingin bank syariah benar-benar sesuai dengan teorinya. 

Untuk kredit produktif, bank konvensional akan meminjamkan dana kepada nasabah untuk digunakan sebagai modal. Setelah beberapa waktu yang dijanjikan, nasabah wajib mengembalikan dananya beserta bunganya. 

Adapun untuk kredit produktif di bank syariah, pihak bank bertindak menjadi pemilik modal (investor/sohibul mal). Sementara nasabah menjadi pengelola usaha. Akad ini disebut mudharabah. Keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi dengan pihak bank sebagai investor (profit/loss sharing) berdasarkan persentase yang disepakati. Teorinya jika pengusaha untung maka bank juga untung. Namun jika pengusaha rugi maka bank akan rugi juga. 

Dalam praktiknya akad mudharabah jarang dipraktikan di bank syariah. Alasannya bagi pengusaha akad ini rumit, karena mengharuskan mereka rutin melaporkan keuangannya kepada bank. Bank syariah lebih nyaman dengan murabahah yang lebih sederhana. 

Akad mudharabah dipraktikan saat nasabah menyimpan uang di bank syariah berupa deposito atau tabungan biasa. Jika bank konvensional menjanjikan bunga untuk nasabah yang menyimpan deposito, bank syariah menjanjikan revenue sharing (bagi hasil). Namun belum ada ceritanya nasabah ikut menanggung kerugian bank syariah jika rugi. Nasabah akan selalu dapat hasil bagi untung dari bank syariah. 

Menjawab Kritik Terhadap Bank Syariah Secara Persuasif

Dalam kasus terbaru yang menimpa Jusuf Hamka, saya cukup menyayangkan respon yang diberikan otoritas seperti MUI dan Mantan Wapres Jusuf Kalla. Yang disampaikan Jusuf Hamka jelas beda dengan Yusuf Mansur. Jusuf Hamka menyampaikan bahwa dirinya merasa dirugikan oleh Bank Syariah. Ini merupakan bentuk kekecewaan konsumen terhadap layanan produsen.

Baca Juga  Bunga Bank Belum Tentu Haram

Seharusnya Jusuf Hamka dirangkul dan diajak dialog secara persuasif. Setelah itu dicarikan solusinya. Hal ini akan membuat citra bank syariah naik lagi. Namun yang terjadi Wakil Ketua MUI dan Mantan Wapres malah berkonfrontasi dengan Jusuf Hamka. Memang pernyataan Jusuf Hamka tidak sepenuhnya benar, karena menggeneralisasi bahwa bank syariah kejam. Tapi hal itu tidak muncul begitu saja, namun karena ada peristiwa yang menimpanya.

Dalam podcast Deddy Corbuzier terlihat jelas bahwa Jusuf Hamka tidak punya niat melakukan black campaign terhadap bank syariah. Dia hanya minta keadilan atas apa yang menimpanya. Beliau juga tidak langsung berbicara di publik, melainkan melakukan diskusi dan melayangkan somasi terlebih dahulu. Sayangnya karena tidak ada respon dari pihak bank, akhirnya dia memilih untuk speak up.

Hemat saya, sekalipun ternyata Jusuf Hamka berada di pihak yang salah dan bank syariah benar, pihak otoritas perlu mengedepankan upaya-upaya persuasif dan dialogis dalam menghadapinya.

Konfrontasi hanya akan membuat citra bank syariah menjadi turun kembali di tengah upaya meningkatkan citra dengan berbagai edukasi dan kampanye. Sebaliknya upaya persuasif dan dialogis akan menguntungkan semua pihak.

Robby Karman
26 posts

About author
Dewan Redaksi IBTimes.ID
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *