Review

Brene Brown: Rasa Malu dalam Diri Bisa Berdampak Positif!

3 Mins read

Suatu hari saya pernah membaca satu buku dari seorang penulis dan peneliti psikologi manusia, Brene brown yang berjudul I Thought it was just Me. Tidak ada yang menarik dalam lembaran pertama buku ini.

Karena, sebagaimana banyaknya buku selfimprovement yang beredar,  pembahasannya adalah penerimaan diri. Namun persepsi saya dikejutkan saat saya menemukanbagian buku ini yang membahas rasa malu yang menyebabkan rasa takut secara spesifik.

Kisah Mantan Pemabuk

Bagian dalam buku ini yang mengejutkan saya adalah ketika Brown menceritakan satu kisah tentang seorang wanita mantan pemabuk yang berbicara kepada tetanggnya bahwa ia pernah kecanduan alkohol 20 tahun yang lalu.

Seketika, tetangganya membalas bahwa dirinya tidak nyaman jika anak-anaknya bermain lagi di rumahnya. Lalu, si wanita tersebut bertanya kenapa tetangganya memperlakukannya berbeda setelah dirinya menceritakan hal tersebut. Padahal, dirinya sudah berhenti dalam kecanduannya terhadap alkohol 20 tahun yang lalu dan anak-anak si tetangga yang diceritakan sudah bermain ke rumahnya selama 2 tahun belakangan.

Permasalahan yang Muncul dari Dalam Diri

Permasalahannya dalam cerita ini dalam hemat saya bukan terletak pada si mantan pemabuk tersebut. Namun, pada si tetangga yang mendengar ceritanya. Sekilas, kita akan berpikir bahwa si tetangga melakukan tindakan preventif yang benar untuk melindungi anak-anaknya. Karena mungkin bisa jadi si wanita akan kembali pada kecanduannya dan mengajarkan hal buruk kepada anak-anaknya.

Saya tidak menegasikan hal tersebut dapat terjadi. Namun pertanyaannya, apakah kita pernah terpikir bahwa penerimaan diri yang tulus adalah jalan keluar terbaik dari kesalahan masa lampau?

Terlebih jika kita berhasil jujur kepada lingkungan kita sebagaimana yang dilakukan si wanita mantan pemabuk kepada tetangganya? Pertanyaan selanjutnya, siapa yang lebih menerima dirinya. Si wanita mantan pemabuk atau si tetangga?

Baca Juga  Melihat Rasulullah sebagai Manusia Biasa: Review Buku Rasulullah Saw. The Untold Story

Studi kasus dari kisah yang diceritakan Brene Brown sebenarnya menunjukkan bahwa si mantan wanita pemabuk memiliki kemungkinan terkecil untuk kembali dalam kesalahan masa lampau.

Kebalikannya dengan si tetangga, ia malah memiliki kemungkinan melakukan kesalahan di masa depan dengan bentuk yang mungkin berbeda namun tidak menjamin dampak buruknya lebih kecil. Salah satunya adalah memutuskan keterhubungan dengan manusia lain yang mana ini menjadi poin penting kemanusiaan hari ini.

Hal ini disebabkan karena ia tidak menyadari lalu menerima rasa malunya dan takutnya terhadap si wanita pemabuk tersebut.

Definisi Rasa Malu

Definisi rasa malu dalam kajian dari Wong dan Tsai dijelaskan sebagai perasaan yang berhubungan dengan evaluasi yang bersifat negatif secara individual ataupun orang lain dan tidak sesuai dengan harapan yang diiginkan sebagain besar orang lain.

Rasa malu juga menimbulkan ketakutan. Dalam hemat penulis, rasa malu memiliki sisi positif dan negatif pada hasil proses pengolahannya. Rasa malu akan menjadi negatif jika tidak disertai penerimaan diri secara holistik.

Contohnya adalah rasa malu si tetangga untuk mengakui bahwa si wanita adalah mantan pemabuk bukan pemabuk. Hal ini sebagaimana yang dituliskan akan berdampak ke depannya pada terputusnya hubungan antara si tetangga dengan wanita. Padahal salah satu prinsip kesehatan mental individu adalah keterhubungan dengan orang lain dan sekitarnya.

Selanjutnya, rasa malu menjadi positif jika dikenali, diterima, dan diakui secara holistik. Sebagaimana yang dilakukan wanita mantan pemabuk yang menerima dirinya bahwa dia pernah melakukan kesalahan di masa lampau dan melawan rasa malu dan takutnya untuk mengakui bahwa ia pernah melakukan kesalahan.

Rasa malu dalam perspektif psikologi Islam disebut haya’ yang menurut Ibnu Fadl Jamaluddin (1990) secara etimologi berarti taubat dan menahan diri. Hemat penulis dalam konteks taubat dan menahan diri, diperlukan pengenalan yang baik akan sebab akibat rasa malu, penerimaan yang holistic, dan pengakuan yang jujur hingga akhirnya rasa malu dapat mencapai tingkatan paling positif dari perspektif psikologi Islam.

Baca Juga  Review Buku: Melawan Nafsu Merusak Bumi

Yaitu rasa malu menahan diri dari berbuat keburukan dan dosa sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Saw dan dirawayatkan dalam HR. Muslim no 161 tentang rasa malu merupakan salah satu bagian dari iman.

Timbulnya Rasa Malu dalam Diri itu Wajar

Kembali kepada studi kasus atas kisah yang diceritakan oleh Brene Brown, menurut hemat penulis rasa malu adalah emosi wajar yang dimiliki oleh semua orang. Selanjutnya, rasa malu sebenarnya adalah emosi hasil evaluasi yang sifatnya adalah negatif namun tetap memiliki sisi netral dalam kemudi kesaran.

Kenetralan inilah yang bisa dikelola oleh individu untuk mengubah negatifitas rasa malu menjadi sebuah tools optimalisasi diri.

Sebagaimana yang dituliskan oleh Brown dalam bukunya yang lain yaitu The Gift of Imperfection (2010) bahwa untuk menjadi diri sendiri dalam upaya mencapai kebahagiaan hidup adalah menerima kerentanan kita terhadap kekurangan diri yang salah satunya adalah rasa malu akan ketidaksempuranaan kita. Tentu catatan terakhir yang paling penting adalah rasa malu menjadi positif jika diilhami secara holistik.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Rausyn Fikr. Sedang dalam proses menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *