Review

Melihat Rasulullah sebagai Manusia Biasa: Review Buku Rasulullah Saw. The Untold Story

3 Mins read

Ali Abdullah seorang penulis yang aktif dalam menyeru umat pada kebaikan. Tulisannya beragam jenis baik di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan politik. Di antara karyanya adalah Rasulullah Saw. The Untold Story. Buku tersebut saya beli saat menginjak semester 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Buku setebal 179 halaman itu membuat pandangan saya terbuka mengenai sosok Rasulullah yang selama ini selalu dihadirkan oleh para penceramah sebagai sosok yang benar-benar mulia tiada bandingnya dengan manusia biasa. Tidak salah memang, namun bagi saya perlu juga dijelaskan sifat manusia biasa yang juga ada pada diri Rasulullah agar mampu memahami sosoknya dengan utuh.

Buku tersebut berisi 30 hal yang ada pada diri Rasulullah sebagai fakta bahwa beliau pun manusia biasa. Misalnya, Rasulullah pernah keliru memberi pendapat mengenai penyerbukan kurma oleh masyarakat Madinah dengan memasukkan benih pejantan ke dalam benih betina.

Rasulullah berpendapat bahwa, jika hal itu dilakukan maka hasilnya tidak baik. Karena sebagai panutan, pendapat Rasulullah pun diikuti oleh masyarakat Madinah, namun ternyata hasil panen kurmanya malah berkurang. Itu artinya, pendapat Rasulullah yang diikuti menjadi penyebab berkurangnya hasil panen kurma. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah dan beliau menyadari kekeliruan pada pendapatnya itu. Akhirnya, beliau berkehendak jika penyerbukan itu lebih baik maka lanjutkan hingga beliau bersabda:

“Kalian lebih mengetahui tentang perkara duniawi kalian.” (HR. Muslim)

Rasulullah pun pernah lupa jumlah rakaat shalat sebagaimana umat muslim pada umumnya. Seperti pada hadits berikut:

Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Nabi Saw., melakukan shalat dzuhur dan ashar bersama kami, lalu salam. Berkatalah Dzul Yadain kepada beliau, ‘Shalat ini, ya Rasulullah, apakah berkurang? Nabi Saw., bertanya, “Benarkah apa yang dia katakan?’ para sahabat menjawab, ‘Ya’. Maka beliau melanjutkan shalat dua rakaat lagi, kemudian bersujud dua kali (sujud sahwi).” (HR. Bukhari)

Baca Juga  Islam sebagai Tradisi Diskursif: Tawaran Konsep Talal Asad (Bagian 2)

Tak hanya itu, Rasulullah pun pernah shalat subuh kesiangan. Sebagaimana pada sebuah hadits yang berbunyi:

Pada suatu malam kami menempuh perjalanan bersama Nabi saw. Sebagian orang mengatakan, “Wahai Rasulullah, sebaiknya kita beristirahat menjelang pagi ini.”

Rasulullah Saw., bersabda “Aku khawatir kalian tidur nyenyak sehingga melewatkan shalat subuh.”

Bilal berkata, “Saya akan membangunkan kalian.”

Mereka semua akhirnya tidur, sedangkan Bilal menyandarkan punggung pada hewan tunggangannya. Namun, Bilal akhirnya tertidur juga. Nabi Saw., terbangun ketika busur tepian matahari sudah muncul.

Nabi Saw., berkata, “Hai, Bilal! Mana bukti ucapanmu?”

Bilal menjawab, “Saya tidak pernah tidur sepulas malas ini.”

Rasulullah Saw., pun bersabda, “Sesungguhnya Allah mengambil nyawamu kapan pun Dia mau dan mengembalikannya kapanpun Dia mau. Hai, Bilal, bangunlah dan suarakan azan.” Beliau lantas mengambil wudhu. Setelah matahari agak meninggi dan bersinar putih, beliau berdiri untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari)

Walaupun kesiangan, Rasulullah tetap menunaikan shalat subuh yang kemudian menjadi dalil bahwa meskipun telah kehabisan waktu, hendaknya tetap menunaikan shalat.

Rasulullah dikenal sebagai sosok yang suci dari dosa, perbuatannya terjaga dari timbulnya dosa. Namun dalam buku tersebut dikatakan bahwa, Rasulullah memiliki dua dosa, namun Allah telah mengampuni dan memaafkan beliau.

Menurut Abdul Mun’im al-Hafni dalam tafsirannya mengenai ayat “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”. Ada dua dosa, yaitu dosa yang telah lalu dan dosa yang akan datang. Adapun dosa yang telah lalu pada Rasulullah adalah doa Rasulullah saat berkecamuknya perang badar, Rasul berdoa “Ya Allah, jika engkau tidak membinasakan pasukan itu (kafir Mekkah), niscaya Engkau tidak akan di sembah untuk selamanya”. Kemudian dosa yang kedua saat perang Hunain.

Baca Juga  Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

Rasul menyuruh Abbas dan Ibn Abbas untuk mengambil pasir dari Rasulullah dan di kasihkan kepada Rasulullah. Rasulullah pun kemudian melemparkan pasir itu ke wajah orang-orang kafir hingga berkata kepada para sahabat bahwa jika beliau tidak melempari mereka dengan segenggam pasir yang diambilkan oleh Abbas dan Ibn Abbas, niscaya kaum kafir tidak akan kalah.

Dosa yang pertama dinilai seolah-olah memberikan ultimatum kepada Allah jika tidak membinasakan orang kafir maka tidak akan disembah, padahal Allah mampu membalikkan keadaan dengan mudah. Dosa yang kedua dinilai bahwa Rasul merasa beliaulah yang mengalahkan pasukan kafir karena lemparan pasir tersebut. Kedua dosa tersebut dinilai menyimpang dari ketauhidan. Allah langsung menegur Rasulullah dan beliau pun langsung bertaubat kepada Allah.

Hikmah yang dapat dipetik dari beberapa kisah tersebut adalah betul memang Rasulullah merupakan makhluk mulia dan sempurna, namun di sisi itu ternyata Rasul juga manusia biasa yang tidak sama dengan manusia biasa lainnya.

Maksudnya, saat Rasulullah telah berbuat kekeliruan, beliau langsung menyadari kekeliruan itu dan menyerahkan kepada yang lebih tahu bahkan tak jarang dari kekeliruan itu muncul sebuah hujjah untuk umat muslim seperti sujud sahwi yang disebabkan beliau lupa rakaat shalat dan sebagai Rasul saat berbuat dosa beliau langsung bertaubat dan meminta ampun kepada Allah.

Sedangkan kita, iya kita, selalu merasa paling benar sampai-sampai sesuatu yang sebetulnya salah kita bungkus sedemikian rupa agar terlihat benar dan kita yang masih sering melakukan dosa merasa hidup aman-aman saja, seakan-akan tidak ada pertanggung jawaban di akhirat kelak.

Semoga tulisan ini menggugah hati kita termasuk saya agar terus menjadi pribadi yang lebih baik lagi seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Baca Juga  Perjalanan yang Patah

Editor: Soleh

Akhmad Fawzi
11 posts

About author
UIN Jakarta/Fakultas Ushuluddin
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *