Review

Islam sebagai Tradisi Diskursif: Tawaran Konsep Talal Asad (Bagian 2)

3 Mins read

Sebagaimana kelemahan-kelemahan pendekatan kajian antropogi Islam sebagaimana diuraikan di atas dalam tulisan saya sebelumnya https://ibtimes.id/antropologi-islam-pendekatan-talal-asad/, Talal Asad mengajukan konsep Islam sebagai tradisi diskursif. Dalam merumuskan konsep ini, Asad dipengaruhi oleh konsep tentang tradition yang dirumuskan oleh filosof Katolik kontemporer, Alasdair MacIntyre, konsep discourse dari Michel Foucault, konsep orthodoxy (doxa) dari Pierre Bourdieu.

Untuk memahami Islam dan masyarakat muslim, para pengkaji, khususnya antropolog, menurut Asad harus melihat peran penalaran khas umat Islam (Islamic reasoning), yaitu penalaran yang berbasis pada al-Quran dan Hadis. Para antropolog dan pengkaji Islam secara umum harus memulai studi mereka dengan terlebih dahulu memahami cara berfikir spesifik umat Islam, yaitu berbasis pada sumber ajaran Islam. Asad menulis:

“if one wants to write an anthropology of Islam one should begin, as Muslims do, from the concept of a discursive tradition that includes and relates itself to the founding texts of the Qur’an and the Hadith.”

“Jika seseorang ingin menulis antropologi Islam, ia harus memulai, sebagaimana muslim melakukannya, dari konsep tradisi diskursif yang selalu memasukkan dan mengkaitkan dirinya dengan teks-teks dasar, yaitu al-Quran dan hadis.”

Asad mengingatkan para peneliti bahwa Islam adalah tradisi diskursif. Umat Islam dalam ruang dan waktu manapun selalu berupaya untuk melegitimasi praktek-praktek beragama mereka dengan kembali pada rujukan otoritatif. Sebagai tradisi diskursif, Islam memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencari bentuk beragama yang benar serta mencari tujuan dalam mempraktekkan ajaran keagamaan (instruct practitioners regarding the correct form and purpose of a given practice).

Adalah sebuah fakta yang harus dipahami oleh para peneliti, lanjut Asad, bahwa umat Islam selalu berusaha untuk mencari legitimasi dan otentisitas dengan menemukan ittisaliyyah (ketersambungan) dengan otoritas di masa lalu. Bagi umat Islam, proses pencarian inilah yang menentukan satu praktek beragama sebagai islami atau tidak. Sebuah doktrin atau praktek beragama baru akan dianggap otoritatif dan otentik jika telah diterima oleh masyarakat muslim beberapa generasi ke belakang atau memiliki jangkar dari tradisi intelektual di masa lalu.

Baca Juga  Tujuh Langkah Mengintegrasikan Sains Modern dan Agama di Sekolah

Kecendrungan mencari legitimasi ini kemudian secara tidak langsung melahirkan apa yang disebut fenomena ortodoksi dan ortopraksi (keyakinan yang benar dan pengamalan yang benar) dan fenomena heterodoksi and heteropraksi (keyakinan yang keliru dan praktek yang keliru) di tengah umat Islam. Para peneliti tentang Islam, sebagaimana mereka tidak bisa menghindar dari tugas melihat proses penalaran yang menjadi ciri khas Islam di atas, juga tidak bisa menghindar dari investigasi terhadap proses terbentuknya ortodoksi dan ortopraksi. Mereka yang menghindar dari tugas ini, karena alasan apapun (misalnya karena merasa bahwa dirinya bukan teolog), sebenarnya telah melewatkan satu aspek inti dari Islam sebagai tradisi diskursif.

Jangkar Tradisi Islam

Kembali tentang pandangan Asad sebagai tradisi, selain melihat otoritas pada teks dan preseden dari masa lalu, tradisi Islam juga memiliki jangkar ke depan. Artinya, tradisi tidak sekedar replikasi model dari masa masa lalu.

Dalam hal ini Asad sesungguhnya tengah mengkontraskan pandangan Islam tentang tradisi dengan pandangan Barat. Dunia Barat, khususnya paska periode Pencerahan (the Enlightenment), cenderung melihat tradisi sebagai sesuatu yang serba negatif. Tradisi dimaknai sebagai “a set of unchanging doctrinal or cultural givens” (sekumpulan doktrin yang sudah tidak dapat berubah atau fakta kebudayaan yang sudah jadi).

Tidak hanya itu, tradisi juga dianggap sebagai lawan dari nalar (the opposite of reason). Bangsa yang memasuki fase modernity (kemodernan), menurut cara berfikir ini, adalah bangsa yang memutus diri dari tradisi.

Dalam Islam, menurut Asad, tradisi bukan sesuatu yang statis. Tradisi dapat berubah karena ia merespon tuntutan masa kini. Tradisi bukan berarti atavisme, regresifisme dan penolakan terhadap perubahan. Sebagai tradisi, Islam selalu memiliki kemampuan untuk bertransformasi menyesuaikan dengan tuntutan kekinian, tanpa kehilangan otentisitas dan kontinuitasnya dengan masa lalu. Hal itu disebabkan karena tradisi Islam melahirkan agency para ulama. Mereka inilah yang melakukan negosiasi antara praktek masa lalu sebagai referensi dan tuntutan masa kini dan masa depan.

Baca Juga  Shoemaker: Keraguan dalam Tradisi Pengumpulan Al-Qur'an

Untuk memahami konsep tradisi yang dirumuskan Talal Asad, menarik untuk mengutip penjelasan Ovamir Anjum, seorang Asadian tulen yang menerapkan konsep Asad dalam penelitiannya mengenai Ibnu Taimiyah. Anjum mengibaratkan sifat tradisi Islam seperti proses bekerjanya organisme dalam mutasi genetik. Sebuah organisme mengalami perkembangan dengan mewariskan karakter dasarnya kepada keturunannya. Keturunan ini berkembang mencari bentuknya sendiri tanpa menjadi identik seperti pendahulunya, tetapi masih memiliki keterkaitan genetik dengan mereka.

Dari analogi di atas dapat dipahami bahwa para pengkaji Islam selain melihat penalaran Islami yang berbasis pada upaya pencarian legitimasi dari masa lalu, juga perlu melihat bagaimana para aktor Islam mencari bentuk baru dari tradisi Islam untuk masa sekarang dan yang akan datang. Dalam bahasa yang lain, para peneliti Islam harus melihat bagaimana sebuah wacana dan praktek keislaman terhubung dengan preseden masa lalu, dan bertransformasi menyesuaikan diri dengan tuntutan aktual dan obyektif yang melingkupinya.

Kelebihan Konsep Talal Asad

Hemat penulis, setidaknya ada empat kelebihan dari konsep yang diajukan oleh Talal Asad ini. Pertama, konsep tradisi diskursif sangat bermanfaat digunakan sebagai framework untuk memahami diversity (keragamaan) dalam pelbagai manifestasi lokal Islam serta hubungannya dengan Islam sebagai agama global. Konsep ini tidak mengurung satu fenomena lokal dalam ruang tertutup, tetapi menghubungkannya dengan identitas universal Islam.

Kedua, konsep ini merekonsiliasi antara pendekatan Islamologi yang melihat teks dan pendekatan antropologi yang berkecendrungan melakukan penelitian lapangan (fieldwork). Selama ini keduanya diposisikan terpisah dan tidak pernah saling menyapa. Melalui konsep tradisi diskursif, keduanya dapat diintegrasikan sekaligus.

Ketiga, konsep ini dapat menjadi framework untuk melihat hubungan antara dunia ide dan struktur material (ekonomi dan politik) yang membentuk ide-ide itu. Asad memasukkan analisa tentang power (kekuasaan) dalam perangkat konsepnya untuk melihat wacana dan praktek beragama umat Islam.

Baca Juga  Menjadi Agamis Sekaligus Feminis

Keempat, konsep ini bermanfaat untuk melihat transformasi atau perubahan dalam pemikiran Islam atau budaya Islam. Asad tidak hanya menekankan tentang the past (masa lalu) saat melihat tradisi Islam, tapi juga memasukkan unsur change yang meliputi waktu sekarang (present) dan masa depan (future).

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *