Review

Konteks Sosial Budaya dalam Sejarah Al-Quran

4 Mins read

Buku ini Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal memaksa pembaca untuk memikirkan ulang (rethinking) tentang sejarah al-Quran yang selama ini dipahami oleh kebanyakan kaum Muslim. Buku ini mempu menyajikan sejarah teks al-Qur’an dan kaitannya terhadap pemahaman baru terhadap wahyu Ilahi.

Pertama, penjelasan teks dalam sumber-sumber Muslim misalnya Sirah Nabawiyah. Kita akan mendapatkan informasi bahwa al-Quran diturunkan di kota Makah dan Madinah sebagai wilayah yang primitive (jauh dari peradaban) dan musyrik (membuat berhala dan disembahnya sendiri) atau dengan istilah “jahiliyah”.

Dijelaskan Adnan Amal, bahwa “Jazirah Arab terletak sangat terisolasi, baik dari sisi daratan maupun lautan. Kawasan ini–tempat Muhammad tampil dengan pekabaran ilahinya pada abad ke-7 perhitungan tahun Masehi–sebenarnya terletak di pojok kultural yang mematikan” (h.11). Berbeda dengan Muhammad Shahrur dalam bukunya Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qiroah Mu’ashirahbahwa al-Qur’an turun membaca etos keilmuan dan spirit peradaban pada masyarakat yang memiliki kualitas peradaan berpikir yang tinggi.

Al-Qur’an berbeda dengan wahyu dan mukjizat para Nabi sebelum Muhammad Saw. Namun Shahrur menantang kepada kita untuk berpikir ulang dan memberikan kesan baru bahwa “audiens al-Qur’an adalah jauh dari kesan primitive”, sebaliknya audiens al-Qur’an adalah masyarakat yang berperadaban tinggi.

Risalah Muhammad memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia perniagaanmasyarakat perkotaan Arab ketika itu. Kota Islam pertama, Makkah, merupakan pusat perniagaan yang sangat makmur. Sementara kota keduanya, Yatsrib–Madinah–adalah oase kaya yang juga merupakan kota niaga, sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian Muhammad, namun milieu komersial Makkahlah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan-ungkapan al-Quran (h.14).

Konteks Wahyu dalam Islam

Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan, dalam kenyataannya, memiliki fondasi religius. Mereka berdiam di dalam suatu kawasan yang dipandang suci seluruh suku Arab. Suku-suku ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan gagasan tentang kesucian Makkah. Lebih jauh, mereka juga merupakan penjaga Ka‘bah, dengan “batu hitam” (al-hajar al-aswad) beserta segala berhala di dalamnya, yang merupakan tempat suci yang diziarahi orang dari berbagai penjuru Arabia Barat. 

Baca Juga  Layla-Majnun: Cinta Tanpa Alasan kepada Tuhan

Pewahyuan al-Qur’an diturunkan dengan memperhatikan konteks sosial budaya dan Bahasa kaum. Perniagaan merupakan tema sentral dalam kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan kitab suci tersebut.Terma-terma perniagaan pun sangat akrab dengan istilah-istilah al-Quran misalnya kata tijãrah (“perniagaan”)disebutkan dalam sembilan kesempatan. Ia menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategorikategori berikut: terma-terma matematik (hisãb, al-hasîb, ahshã),takaran dan ukuran (wazana, mîzãn, tsaqula, mitsqãl), pembayaran dan upah (jazã, tsawwaba, tsawãb, waffã, ajr, kasaba),kerugian danpenipuan (khasira, bakhasa, zhalama, alata, naqasha), jual-beli (syarã, isytarã, bã‘a, tijãrah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardl, aslafa, rahîn). 

Selain itu, juga kata hisãb suatu istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan, muncul di beberapa tempat dalam al-Quran sebagai salah satu nama bagi Hari Kiamat (yawm al-hisãb),ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan sangat cepat (sari‘ al-hisãb).

Hasib dan Hari Perhitungan

Sementara kata hasîb (“pembuat perhitungan,” “penghitung”) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Gagasan utama yang mendasari “perhitungan” ilahi adalah kitãb, yang merekam segala perbuatan baik dan buruk manusia. Timbangan akan dipasang di Hari Perhitungan dan seluruh perbuatan manusia akan ditakar. Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Kata-kata kerja kasaba (“memperoleh keuntungan,” “berusaha,” “berbisnis”), jazã (“membayarkan,” “memberi upah,” “ganjaran,” “imbalan”), ãjara (“memberi upah,” “membayar nilai kontrak,” “imbalan”), serta berbagai bentuk konjugasinya, sering digunakan al-Quran dalam konteks-konteks semacam ini.

Uraian-uraian tentang derivasi, sinonim dan sumber-sumber al-Quran di atas dengan jelas memperlihatkan bagaimana konsepsi kitab suci itu mengenai asal-usul dirinya. Wahyu-wahyu qurani yang diterima Nabi, menurut gagasan ini, bersumber dari Allah. Wahyu-wahyu tersebut, sebagaimana dengan wahyu-wahyu lain yang diterima nabi-nabi sebelum Muhammad, terpancar dari “Luh yang Terpelihara” (lawh mahfûzh, 85:22), yang hanya dapat disentuh oleh yang disucikan (56:79). Luh ini juga disebut sebagai “Kitab yang Tersembunyi” (kitãb maknûn, 56:78), atau “Induk Segala Kitab” (umm al-kitãb, 13:39; 43:4), sebagaimana lazimnya ditafsirkan demikian di kalangan sarjana Muslim. Dari esensi kitab primordial inilah Jibril datang dan menyampaikan wahyu ilahi kepada Nabi. 

Baca Juga  Aisyiyah: Tempat Para Perempuan Terdidik di Kauman

Hal ini senada dengan konsep Shahrur turunnya al-Qur’an, menjelaskan tentang Ja’l, al-Inzal dan al-TanzilJa’l (transformasi wujud): perubahan struktur eksistensi (dari Lauh Mahfudz: muatan hukum-hukum universal yang mengatur keberadaan dan ketetapan segala eksistensi, sejak permulaan penciptaan hingga hari akhir), sehingga menjadi bahasa Arab”. Al-Inzal: perpindahan obyek dari wilayah yang tidak dapat diketahui menuju wilayah “yang dapat diketahui” pada Lailah al-QadrAl-tanzil: perpindahan obyek secara material berlangsung di luar kesadaran manusia (seperti: gelombang). Untuk konteks Alqur’an “proses al-inzalmelalui jibril” yang disampaikan kepada Muhammad saw. Al-Quran mengalami proses Ja’l dan al-Inzal sekaligus (dalam satu kesempatan), sedangkan al-Tanzil berlangsung secara terpisah dalam waktu 23 tahun.

Al-Quran dan Aspek Budaya

Dengan meyelami realitas sekitar teks, Nasr Abu Zayd menyatakan bahwa teks al-Qur ’an merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi). Hal itu karena al-Qur’an terbentuk atas realitas sosial budaya selama dua puluh tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama itu adalah merupakan fase “keterbentukan” (marh}alah al-takawwun wa al-tasyakkul).

Fase selanjutnya adalah fase “pembentukan” (marhalah al-takwin wa al-tasykul), dimana al-Qur’an selanjutnya membentuk suatu budaya baru sehingga al-Qur’an dengan sendirinya juga menjadi “produsen budaya” (muntaj tsaqafi).

Selama ini umat muslim cenderung (subyektif: imaniyah) dalam mengkaji al-Qur’an dengan terbatas dengan literatur yang bersumber dari sumber-sumber Muslim. Kita tidak berani membongkar pemahaman secara kritis (obyektif: ilmiyah) untuk menguji kebenaran teori-teori yang sudah mapan. Kita harus memproduksi ilmu, bukan konsumen ilmu.

Kuncinya adalah perkuat tradisi riset, kajian, terhadap ilmu pengetahuan. Karena islam adalah agama peradaban, al-Quran adalah wahyu ilmiah dan intelektual.

Editor: Nabhan

Baca Juga  TAUHID: Sejarah, Doktrin dan Perkembangan
Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…
Review

Sejauh Mana Gender dan Agama Mempengaruhi Konsiderasi Pemilih Muslim?

4 Mins read
Isu agama memang seksi untuk dipolitisir. Karena pada dasarnya fitrah manusia adalah makhluk beragama. Dalam realitas politik Indonesia, sebagian besar bangsa ini…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *