Falsafah

Antropologi Islam: Pendekatan Talal Asad (Bagian 1)

3 Mins read

Muhamad Rofiq*

Diskusi tentang bagaimana mengkonseptualisasikan Islam sebagai obyek penelitian (the object of inquiry) telah banyak menyita perhatian para pengkaji Islam dari luar (outsider). Pertanyaan yang menjadi topik diskusi di antara mereka antara lain adalah aspek apa yang perlu dilihat saat Islam dipelajari oleh para peneliti.

Pertanyaan yang lebih umum adalah bagaimana memahami dan menjelaskan Islam itu sendiri. Sejauh ini, beragam pendekatan telah banyak dirumuskan oleh para sarjana dari lintas bidang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, masing-masing pendekatan tersebut memiliki kelemahan metodologis yang signifikan dan cenderung berdiri secara eksklusif, terpisah dari pendekatan yang lainnya.

Adalah Talal Asad, seorang antropolog beraliran post-strukturalis, yang mencoba mengatasi kelemahan dari pendekatan-pendekatan tersebut. Ia mengajukan gagasannya melalui sudut pandang disiplin ilmu yang ia tekuni, yaitu antropologi. Namun sekalipun latar belakang dan pijakan Asad adalah satu disiplin yang bersifat spesifik, pendekatan yang ia ajukan diakui oleh banyak sarjana lainnya memiliki potensi untuk digunakan crossing the boundary (lintas disiplin).

Asad meramu gagasannya dari perbagai referensi keilmuan, sehingga pendekatan yang ia rumuskan menjadi applicable untuk digunakan sebagai framework penelitian di luar disiplin ilmu antropologi. Selain itu, kelebihan lain dari pendekatan Asad adalah kemampuannya mengintegrasikan aspek-aspek tertentu dari pelbagai pendekatan yang ia kritik tersebut sehingga masing-masing pendekatan tidak berdiri secara terpisah dan eksklusif.

Beberapa Kelemahan

Secara umum pendekatan untuk mengkaji Islam dapat dipetakan ke dalam tiga kategori. Pertama, pendekatan yang paling awal digunakan adalah pendekatan teks yang mengkaji Islam dari referensi tekstual. Islam dilihat dari sudut pandang doktrin teologisnya dan pemikiran para sarjana (ulama)-nya. Pendekatan ini dicetuskan oleh para orientalis yang juga disebut sebagai Islamolog.

Baca Juga  Konsep Manusia Menurut Ibnu Khaldun

Kelemahan dari pendekatan ini adalah kecendrungannya untuk melakukan reduksi dan esensialisasi Islam. Pendekatan ini mengabaikan keragaman praktek popular berislam kaum muslimin. Islam teks dianggap sebagai universal dan ideal (orthodox), sementara Islam di luar teks dianggap sebagai penyimpangan (heterodox).

Kedua, sebagai respon terhadap pendekatan teks yang ingin melihat single Islam, sarjana humaniora merumuskan pendekatan antropologi terhadap Islam. Pendekatan ini melihat Islam dari sudut pandang keyakinan dan praktek pemeluknya, bukan dari sudut pandang teks. Pendekatan antropologi terhadap Islam memiliki beragam variasi. Yang paling menonjol ada dua, yaitu konsep Clifford Geertz dan Abdul Hamid Zein.

Geertz menekankan bahwa Islam adalah dua fenomena sekaligus: universal dan lokal. Sebagai fenomena lokal, ada banyak perbedaan keyakinan dan praktek di tengah umat Islam. Sebagai fenomena universal, ada dua common element dalam praktek-praktek lokal Islam, yaitu; pertama, Islam sebagai pengalaman beragama (religious experience) yang terdiri dari dua komponen, yakni pandangan hidup (worldview) dan etos; kedua, Islam sebagai tradisi makna.

Secara singkat, pendekatan yang dirumuskan oleh Geertz berusaha mencari titik temu atau apa yang diistilahkan pengkritiknya sebagai family resemblance di antara ragam manifestasi lokal Islam. Geertz membuat kesimpulannya tersebut setelah melakukan komparasi antara model Islam di Maroko dan Islam di Indonesia.

Sebagai respon terhadap pendekatan Clifford Geertz, Abdul Hamid Zein mengajukan gagasan lain. Menurutnya, kelemahan dari pendekatan Geertz adalah kecendrungan melakukan esensialisasi Islam dengan mencari kesamaan-kesamaan dari diversitas Islam. Para antropolog tidak seharusnya mencari titik temu tersebut karena setiap fenomena agama adalah unik. Selain itu, semua manifestasi beragama (baik yang bersifat diskursus maupun praktek) harus diposisikan secara equal.

Zen beragumen bahwa antropologi sebagai pendekatan keilmuan tidak boleh melakukan hirarkisasi terhadap wacana dan praktek beragama orang Islam. Antropologi tidak boleh membedakan antara Islam masa (folk Islam) dan Islam elit (elite Islam) dan mencari mana yang paling otentik dan valid dari beragam manifestasi Islam tersebut. Antropologi tidak perlu mencari ortodoksi dalam praktek beragama. Tugas antropologi menurutnya adalah mencari makna dari pengalaman beragama di tingkat lokal.

Baca Juga  Makna Filsafat itu Tak Hanya "Cinta Kebijaksanaan"

Proposal yang diajukan oleh Abdul Hamid Zein tersebut tampaknya menjadi pandangan paling favorit yang digunakan untuk mengkaji Islam oleh para antropolog. Namun, pendekatan ini memiliki setidaknya dua kelemahan.

Pertama, dengan menganggap sama (dalam pengertian valid dan otoritatif) semua diskursus dan praktek keislaman, pendekatan ini mengarah pada relatifisme reduktif. Framework ini membuat tidak nyaman dua belah pihak sekaligus, yaitu Islamolog, yang terbiasa melihat Islam melalui teks, dan muslim itu sendiri. Muslim dari kelompok mainstream tidak bisa menerima ketika praktek dan keyakinan mereka dianggap sama dengan praktek dari kelompok kecil yang biasanya dianggap sebagai menyimpang. Selain itu, dengan menganggap sama semua manifestasi Islam, antropologi sebenarnya telah mengambil alih tugas teologi yang berkecendrungan memberikan justifikasi.

Kedua, pendekatan ini mengabaikan proses perubahan atau reformasi yang terjadi di tengah lokalitas umat Islam setelah persinggungan mereka dengan bentuk Islam yang lain. Pendekatan ini mengandaikan seolah-olah praktek lokal itu terkurung, tidak berinteraksi, konstan (tidak berubah) saat mengalami perjumpaan dengan manifestasi Islam yang berbeda.

Ketiga, selain pendekatan teks dan antropologi, pendekatan yang juga banyak digunakan adalah pendekatan sosiologi dan ilmu politik. Pendekatan ini menekankan akvitisme sosial umat Islam. Manifestasi Islam, baik yang berupa wacana ataupun praktek, dianggap sebagai respon terhadap kondisi material tertentu, yaitu kondisi politik ekonomi. Pendekatan ini umumnya melihat Islam sebagai sebuah ideologi kontemporer yang merespon tantangan liberalisme Barat. Penekanan pada pendekatan ini adalah pada faktor struktur material yang membentuk sebuah ide. Kelemahan dari pendekatan ini bersifat ganda, yaitu mengesampingkan pentingnya teks Islam dalam membentuk ide dan menghilangkan agensi umat Islam. Umat Islam dianggap sebagai tawanan dari kondisi material yang melingkupi mereka.

Baca Juga  “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunah” ala Al-Afghani

*Penulis adalah alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM Amerika Serikat

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *