Sekte Mu’tazilah, dalam Islam, dikenal sebagai aliran yang sering melahirkan ulama-ulama cerdas dan berani berpikir terbuka. Aliran ini berdiri diatas 5 pokok ajaran utama yaitu at-Tauhid (keesaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-manzilah baina al-manzilatain (tempat diantara dua tempat), al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), dan amar ma’ruf nahi munkar.
Salah satu ulama yang cerdas itu adalah Abu Hasyim al-Jubbai al-Mu’tazili. Nama lengkapnya adalah Abdus Salam bin Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam bin Khalid bin Humran bin Aban maula Utsman bin Affan. Namun, ia populer dengan panggilan Abu Hasyim atau al-Jubbai. Al-Jubbai adalah nama tempat dimana ia tinggal, di Baghdad, yang melahirkan banyak ulama besar.
Ia lahir pada tahun 861 M dan wafat pada tahun 933 M. pendidikan Abu Hasyim al-Jubbai awalnya diberikan oleh ayahnya sendiri. Ayahnya dikenal dengan nama Abu ‘Ali. Kemudian, ia belajar ilmu kalan kepada Abu Yusuf Ya’qub bin Abdullah asy-Syahham al-Bashri, seorang pemimpin Muktazilah di Basrah. Ia adalah orang yang cerdas dan memahami ilmu. Selain itu, ia juga memiliki ciri khas orang Mu’tazilah pada umumnya, yaitu memiliki kekuatan argumen dalam berdebat. Orang memandangnya sebagai seorang filsuf terkemuka. Pada saat tinggal di Baghdad, ia mendirikan aliran Muktazilah dengan nama Al-Bahsyamiyyah.
Sebagaima yang dikutip oleh Abdullah Musthafa al-Maraghi, al-Jubbai mengatakan:
“Orang yang tidak berbuat dosa bisa saja tercela. Taubat atas perbuatan buruk yang dilakukan secara terus-menerus dan diketahui bahkan diyakini keburukannya adalah tidak sah, meskipun secara esensial ia adalah bangsa Negro, Turki, Indian, hingga Arab yang bisa membuat kitab suci seperti Alquran.”
***
Menurut Al-Jubbai, orang yang telah melaksanakan perintah Tuhan tidak berarti bahwa ia telah selesai melaksanakan kewajiban. Ia melaksanakan perintah Tuhan kemudian tidak diharuskan untuk mengulangi, karena memang tidak ada yang mengharuskan untuk mengulangi. Bukan karena telah memenuhi kewajiban. Karena kewajiban sebagai seorang hamba akan terus berlanjut.
Contohnya adalah tentang haji. Orang yang sudah berhaji tidak lagi diwajibkan untuk berhaji, bukan karena kewajibannya telah selesai. Namun lebih karena tidak ada nash yang memerintahkan untuk mengulangi ibadah haji. Jika hajinya rusak, maka ia tetap wajib mengulangi.
Karya-karya al-Jubbai antara lain Al-Jami’ al-Kabir, Al-Jami’ ash-Shogir, Al-Abwab al-Kabir, Al-Abwab ash-Shogir, Kitab al-‘Awdh, An-Naqd ‘ala Aristoteles di al-Kaun Wa al-Fasad, Ath-Thabai’ wa an-Naqd ‘ala Qailina biha, dan Kitab al-Ijtihad.
Ia meninggal dunia di Baghdad pada hari Rabu, 321 H. Jenazahnya dikuburkan di pemakaman Khaiziran. Pada waktu yang sama, Abu Bakar Muhammad bin Duraid al-Lughawi, seorang ulama ahli bahasa, meninggal dunia.