Pada hakikatnya, filsafat merupakan alat. Sebagai alat, ia tidak hanya berfungsi menghantarkan kita untuk memahami makna kehidupan, tetapi juga dapat menemukan kearifan di balik kehidupan itu sendiri. Kebijaksanaan adalah puncak berfilsafat.
Mengutip dari perkataan Prof. Nasrun SH, ia mengungkapkan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan kepada agama. Akan tetapi, malah filsafat pada hakikatnya terkandung di dalam agama.
Jika filsafat tidak berdasarkan kepada agama yang semata-mata hanya berlandaskan kepada akal saja. maka dapat dipastikan bahwa filsafat tersebut tidak memiliki kebenaran yang objektif.
Karena, sifat asli dari akal ini sangat terbatas. Sehingga, filsafat yang hanya mengandalkan akal, tidak akan mampu menjadi alat pemahaman yang benar dalam memahami kehidupan. Apalagi menyangkut dengan pemahaman yang ghaib atau yang berhubungan dengan alam metafisika.
Lebih lanjut, perlu kita untuk memahami bahwa jangan menganggap filsafat hanya sebagai omong kosong metafisika atau sebagai suatu abstrak yang hanya mengudara dilangit tanpa tujuan yang benar.
Filsafat mengajarkan kita untuk berfikir kritis dalam membaca berbagai gejala dan fenomena kehidupan.
Dari pemahaman tersebut, kita dapat memahami bahwa sebenarnya terdapat perbedaan antara filsafat dengan agama terutama dalam hal eksistensinya. Dalam hal ini, filsafat sebagai usaha dari akal dalam menemukan suatu kebenaran. Sedangkan di sisi lain, agama sebagai suatu kebenaran yang didasarkan oleh wahyu dari Tuhan.
Al-Kindi: Filsuf Bangsa Arab
Namun, untuk menggali lebih dalam lagi antara filsafat dengan agama, di sini kita memiliki filsuf muslim terkenal yang memiliki pemikiran dalam menyelaraskan antara filsafat dengan Agama.
Beliau adalah orang Arab pertama yang memperkenalkan filsafat ke dalam pemikiran Arab sehingga diberi gelar “Filsuf Bangsa Arab”. Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Yakub ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi atau yang kita kenal sebagai Al-Kindi.
Ada suatu kutipan Al-Kindi yang amat berkesan bagi saya ketika membaca salah satu karya bukunya yang berjudul al-Falsafah al-Ûlâ, dia mengungkapkan bahwa bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri.
Kebenaran bisa datang dari mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Karena, mengambil kebenaran dari orang lain tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, namun justru menjadikannya terhormat dan mulia (Al-Kindi, 1950).
Agama dengan Filsafat Menurut Al-Kindi
Dalam memperkenalkan Fislafat kedalam pemikiran Arab, Al-Kindi berhadapan dengan dua situasi sulit pada saat itu.
Pertama, kesulitan dalam menyampaikan gagasan-gagasan filsufis ke dalam bahasa Arab yang saat itu kekurangan istilah teknis untuk menyampaikan ide-ide abstrak.
Kedua, adanya tantangan atau serangan yang dilancarkan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat. Bahkan, filsafat maupun filsuf dituduh sebagai pembuat bid’ah dan kekufuran (Atiyeh, hlm.10).
Dalam mengatasi kesulitan yang pertama, al-Kindi menerjemahkan secara langsung istilah-istilah Yunani ke dalam bahasa Arab. Kemudian, ia mengambil istilah-istilah Yunani kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kosa kata bahasa Arab murni.
Ia juga menciptakan kata-kata atau istilah baru dengan mengambil kata ganti dan menambahkan akhiran iyah di belakangnya. Hal itu menjelaskan istilah Yunani dan memberikan makna baru pada istilah yang sudah dikenal.
Al-Kindi Menyelaraskan Agama dan Filsafat
Untuk menghadapi tantangan kedua, di sini lah Al-Kindi menyelesaikannya dengan cara menyelaraskan antara agama dengan filsafat. Nah, dalam upaya untuk menyelaraskan agama dan filsafat itu sendiri melalui beberapa cara.
Pertama, beliau membuat kisah atau riwayat yang membuktikan bahwa bangsa Arab dan Yunani merupakan saudara sehingga tidak pantas bermusuhan.
Kedua, yaitu menyatakan bahwa siapapun bagi orang pencari kebenaran, seharusnya ia tau bahwa kebenaran bisa datang kapan dan darimana saja sehingga umat Islam tidak perlu malu untuk mengakui kebenaran tersebut.
Pernyataan Al-Kindi tersebut bahkan juga pernah disampaikan oleh Khalifah al-Rasyidin yang keempat. Ali menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran merupakan milik umat Islam yang tercecer, karna itu ia harus diambil dimanapun ditemukan.
Ketiga, menyatakan filsafat merupakan suatu kebutuhan. Yakni sebagai sarana dan proses untuk berfikir. Bukan sesuatu yang aneh atau kemewahan. Bahkan, Al-Kindi menekankan kepada orang-orang yang terlalu fanatik terhadap Agama atau yang menentang kegiatan filosofis. Di sini, Al-Kindi, dengan metode dialektikanya, mengajukan pertanyaan yang luar biasa kepada mereka.
Ia bertanya, “Apakah filsafat itu diperlukan atau tidak?”. Jika para penentang filsafat menyatakan bahwa filsafat itu perlu, maka mereka harus mempelajarinya. Namun sebaliknya, jika mereka menyatakan tidak perlu, maka mereka harus memberikan argumen atau pendapat mereka untuk itu dan menjelaskannya secara rasional.
Padahal, dengan menyampaikan alasan dan argumen tersebut, dipastikan mereka telah masuk ke dalam kegiatan filosofis dan berfilsafat. Karena, argumen sudah bagian dari proses berpikir filsufis (Soleh, 2016).
Selain itu, menurut Atiyeh, dengan pembelaan cara ketiga ini, di sini al-Kindi ingin memperlihatkan bahwa para filsuf dan filsafat sesungguhnya tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dan agama. Sebaliknya, justru memberi suatu dukungan pada agama dengan argumen-argumen rasional dan kokoh.
Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan filsafat itu berbeda, namun dalam tujuan yang ingin dicapainya itu sama baik secara teoritis maupun praktisnya. Tujuan praktis agama dan filsafat mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Sedangkan tujuan teoritisnya adalah mengenal dan mencapai kebenaran tertinggi, yaitu Tuhan.
Namun bukan berarti dalam hal kedudukan antara agama dan filsafat itu sama. Karena menurut al-Kindi pun lebih cenderung untuk menempatkan pengetahuan rasional filosofis di bawah pengetahuan kenabian atau ilmu-ilmu kegamaan.
Kesimpulan
Dari sini, kita dapat memahami bahwa perbedaan-perbedaan antara filsafat dengan agama bukanlah suatu perbedaan yang esensial dan tidak menutup kemungkinan untuk menemukan titik terang di antara keduanya.
Dari uraian di atas tadi, kita dapat memaparkan intisari dari berbagai argumen al-Kindi dalam mempertemukan filsafat dengan agama. Bahwa ilmu filsafat merupakan bagian dari ilmu agama. Bahkan, di antara agama dan filsafat itu, memiliki tujuan yang hampir sama. Namun bukan berarti filsafat sejajar atau diatas dari agama, dan terakhir, menuntut ilmu logika juga diperintahkan dalam agama.
Kita perlu untuk mempelajari filsafat agar tidak dogmatis dalam beragama dan menjadikan agama hanya sebagai kumpulan dogma. Kita diberikan oleh Allah berupa akal untuk berpikir. Berapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berpikir, mempelajari, dan lain sebagainya. Wallahu’alam.