Tafsir

Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (1): Masterpiece Milik Al-Tabataba’i

4 Mins read

Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an | Salah satu aktivitas keilmuan yang memperoleh respons luar biasa dalam sejarah Islam adalah studi Al-Qur’an. Umat Islam melakukan aktivitas pengkajian Al-Qur’an ini tanpa kenal lelah, baik dengan mempelajari cara membacanya secara benar, mempelajari tafsir, dan ilmu-ilmu yang berkaitan maupun dengan melakukan penulisan kitab-kitab tafsir.

Penulisan kitab-kitab tafsir sendiri sangat beragam. Mulai yang sangat sederhana, hingga yang rumit. Dengan berbagai metodologi, corak, dan pendekatan yang beragam pula.

Salah seorang ulama besar yang cukup perhatian dengan studi Al-Qur’an ini adalah Muhammad Husain al-Tabataba’i. Selain dikenal sebagai seorang filsuf, al-Tabataba’i juga dikenal sebagai seorang mufassir besar yang terkenal dengan karya tafsirnya.

Jumlah tafsirnya sebanyak 20 jilid tebal dan ditulis selama lebih dari 10 tahun. Kitab tafsir yang diberi nama al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an ini merupakan masterpiece al-Tabataba’i.

Selain kitab tafsir ini, dalam studi Al-Qur’an, al-Tabataba’i juga menulis satu buku lain yang sangat terkait dengan pemahaman Al-Qur’an, yaitu Al-Qur’an fi al-Islam.

Sekilas Tafsir Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an

Setiap kitab tafsir disusun dengan motivasi tertentu. Ada kitab tafsir yang ditulis untuk memenuhi permintaan masyarakat semisal al-Siraj al-Munir karya al-Khatib al-Syarbini atau Madrik al-Tanzil karya al-Nasafi.

Ada kitab tafsir yang ditulis dengan tujuan merangkum kitab tafsir sebelumnya yang dinilai terlalu panjang dan luas. Sehingga untuk memahaminya pun, perlu waktu yang lama. Seperti al-Durr al-Mansur karya al-Suyuti dan al-Jawahir al-Hisan karya al-Sa’labi.

Ada juga kitab tafsir yang disusun dengan keinginan untuk menguatkan suatu mazhab. Seperti Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas. Ada seorang yang menulis kitab tafsir karena tidak puas dengan kitab-kitab tafsir yang ada yang dinilai belum mampu mencerminkan Al-Qur’an sebagai sumber hidayah. Seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dengan tafsirnya al-Manar. Bahkan, ada juga yang menulis kitab tafsir karena terdorong oleh mimpi, seperti dialami al-Alusi.

Baca Juga  Kesan Mendalam Al-Qur’an Ketika Membahas Perempuan

Motivasi Menulis Tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an

Sementara itu, motivasi yang mendorong al-Tabataba’i untuk menulis kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, adalah karena keinginannya mengajarkan dan menafsirkan Al-Qur’an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya.

Hanya saja, penulisan kitab tafsirnya ini memerlukan sebuah proses yang sangat panjang. Yakni dimulai dari ceramah-ceramahnya yang disampaikannya kepada para mahasiswa di Universitas Qum, Iran.

Atas desakan para mahasiswanya, al-Tabataba’i mengkodifasikan jilid I pada tahun 1375 H. Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1392 H, al-Tabataba’i berhasil keseluruhan kitab tafsirnya.

Nama Al-Mizan, diberikan oleh al-Tabataba’i sendiri. Karena di dalam kitab tafsirnya itu, dikemukakan berbagai pandangan para mufassir. Selanjutnya, ia memberikan sikap kritis serta menimbang-nimbang pandangan mereka. Baik untuk diterima maupun ditolaknya.

Meskipun tidak secara eksplisit memberikan nama ini, namun pernyataannya secara implisit memang mengarahkan pada penamaan al-Mizan tersebut.

Penulisan Tafsir Al-Mizan

Dalam kitab tafsirnya al-Mizan ini, al-Tabataba’i mengikuti sistematika tartib mushafi. Yaitu menyusun kitab tafsir berdasarkan susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf Al-Qur’an. Dimulai dari Surah al-Fatihah hingga berakhir pada Surah al-Naas.

Meski menempuh sistematika tartib mushafi, namun al-Tabataba’i dalam penafsirannya membagi-baginya ke dalam beberapa tema. Sehingga dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Tabataba’i tidak melakukannya secara ayat per ayat. Melainkan, mengumpulkan beberapa ayat untuk kemudian baru diberikan penafsirannya.

Dalam kaitan ini, al-Tabataba’i mengawalinya dengan tema penjelasan meliputi kajian mufradat, i’rab, balaghah, lalu tema kajian riwayat yang di dalamnya berisi pandangan berbagai riwayat yang disikapi al-Tabataba’i secara kritis. Dilanjutkan kajian filsafat dan lain-lain.

Mengenai metode penafsiran Al-Qur’an, al-Tabataba’i mengemukakan tiga cara yang bisa dilakukan untuk memahami Al-Qur’an. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non-ilmiah.

Kedua, menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan dari imam-imam suci. Ketiga, menafsirkan Al-Qur’an dengan jalan memanfaatkan ayat-ayat lain yang berkaitan. Di sini hadis dijadikan sebagai tambahan.

Baca Juga  Tafsir Ilmi: Ulama yang Menerima dan yang Menolaknya

Meski memberikan rumusan tentang cara-cara menafsirkan Al-Qur’an seperti di atas, al-Tabataba’i tidak menganggap kesemua cara yang disebutkan tadi sebagai valid dan akurat.

Cara yang pertama tidak boleh diikuti karena menurutnya. Cara itu menggunakan pendapat pribadi. Cara yang kedua dianggapnya tidak cukup memadai. Bukan saja karena sangat terbatasnya jumlah hadis Nabi yang bisa dipertanggungjawabkan validitasnya, namun hadis-hadis itu sendiri tidak cukup memenuhi kebutuhan untuk menjawab berbagai persoalan tentang Al-Qur’an yang semakin berkembang.

Menurut al-Tabataba’i hanya cara ketiga. Yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain yang berkaitan. Yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai cara untuk menafsirkan Al-Qur’an.

Dalam pandangan al-Tabataba’i, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini, tidak termasuk ke dalam penafsiran dengan ra’yu sebagaimana yang dilarang Nabi.

Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengaitkan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain (yang kemudian dikenal penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ) yang oleh al-Tabataba’i dinilai sebagai cara penafsiran yang paling valid ini, pada dasarnya merupakan hal yang umum di kalangan mufassir. Meski dalam aplikasinya kemudian terjadi berbagai perbedaan.

Beberapa mufassir, seperti Ibn Taimiyah dan al-Zamakhsyari, menilai cara penafsiran tersebut dinilai sebagai yang paling baik. Fazlur Rahman menilainya sebagai cara yang dapat meminimalkan subjektifitas.

Kalangan ulama Syiah sendiri berpendapat, bahwa menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an merupakan metode yang dipraktekkan oleh ahlul bait dan karenanya harus diikuti.

Meski menilai penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagai cara yang paling valid, namun dalam kitab tafsirnya al-Mizan, al-Tabataba’i juga memanfaatkan sumber-sumber yang lain.

Sumber Penafsiran Al-Qur’an

Lebih rinci, sumber yang diganakan al-Tabataba’i dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah: Pertama, al-Tabataba’i menggunakan Al-Qur’an sendiri sebagai sumber penafsirannya. Baik untuk menjelaskan arti yang mubham atau mujmal, menambah kejelasan arti, menguatkan atau menjelaskan makna yang tersembunyi, atau untuk menentukan istilah-istilah tertentu yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti al-tawhid, al-jihad, dan lain-lain.

Kedua, al-Tabataba’i menggunakan sunah Nabi untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Baik yang berasal dari kalangan Sunni, seperti Bukhari Muslim, Abu Dawud dan lain-lain, maupun yang berasal dari kalangan Syiah sendiri.

Baca Juga  Tafsir Sufistik Ibnu 'Arabi: Menyingkap yang Tak Kasat Mata

Dalam hal ini, kadang-kadang, al-Tabataba’i menyebutkan sanadnya, kadang-kadang tidak. Dan yang jelas, al-Tabataba’i menilai secara kritis hadis-hadis tersebut. Terutama terhadap hadis-hadis yang berasal dari kalangan perawi-perawi Sunni.

Ketiga dan keempat, al-Tabataba’i menggunakan riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat dan tabi’in. Hanya saja ia sangat kritis terhadap riwayatriwayat yang berasal dari sahabat dan tabi’in ini.

Ini sangat bisa dipahami karena bagi Syiah, sahabat, dan tabi’in tidaklah berbeda dengan umat Islam lainnya yang pendapatnya tidak selalu bisa dijadikan hujjah.

Dalam kaitan ini, al-Tabataba’i mengatakan: Bila hadis-hadis tersebut berisi pandangan dan pendapat para sahabat sendiri dan bukan Nabi. Hadis-hadis tersebut tidak mempunyai kekuatan sebagi sumber untuk ajaran-ajaran agama.

Dalam hubungan ini, ketetapan para sahabat adalah sama dengan ketetapan kaum muslimin lainnya. Sementara terhadap para imam Syiah, al-Tabataba’i menyatakan: Anggota ahlul bait Nabi mempunyai kewenangan dalam pengetahuan dan tak akan keliru dalam memberikan penjelasan mengenai ajaran-ajaran dan kewajiban-kewajiban dalam Islam.

Kelima, al-Tabataba’i menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab sekadar untuk memperjelas makna ayat tanpa berlau-larut membicarakan, misalnya pendapat para ahli bahasa. Untuk memperkuatnya, al-Tabataba’i memanfaatkan syair-syair Arab, filologi, i’rab, dan lain-lain.

Keenam, al-Tabataba’i memanfaatkan pendapat para mufassir terdahulu, baik yang berasal dari kalangan Sunni maupun Syi’i, dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Hanya saja sekali lagi, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu ini tidak begitu saja ia terima, melainkan ia pertimbangkan secara kritis, baik untuk diterima maupun ditolak.

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds