Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam, juga pedoman hidup bagi manusia yang menjadi landasan adanya hukum-hukum dalam agama agar tatanan hidup lebih rapi dalam bersikap.
Selain itu, Qur’an juga menjadi landasan problematika isu-isu keagamaan yang sangat marak. Bahkan, acap kali banyak dari golongan-golongan Islam yang menyuarakan “kembali pada Qur’an dan sunnah”, tanpa mendalami seperti apa karakteristik atau penyikapan dari Qur’an dan sunnah itu sendiri. Atau bisa dikatakan, hanya melihat kulitnya tanpa tahu maknanya.
Perdebatan Keotentikan Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan tidak hanya berupa ayat-ayatnya yang unik nan indah, tapi juga sebab turunnya, meski tidak semua ayat-ayat Qur’an mengandung asbabunnuzul. Keotentikan atau keaslian Qur’an juga kerap kali menjadi perdebatan dalam forum-forum diskusi maupun dengan author-nya sendiri. Bahkan, sempat diragukan, apakah Qur’an itu memang sebuah kebenaran?
Metode-metode penafsiran pun sempat diperdebatkan di kalangan para ulama dan cendekiawan. Tentunya ada yang pro dan kontra di dalamnya, serta kalangan manusia yang mengkaji Qur’an pun beragam dan dengan niat yang beragam pula.
Seandainya kelebihan dan kekurangan Qur’an itu terungkap, tidak akan menetap kecacatannya dalam Kitab Furqan tersebut. Karena pemiliknya bukan dari kalangan yang diciptakan, melainkan dari Dzat yang Esa.
Qur’an hadir untuk menjawab problematika zaman yang kian panas maupun dingin. Permulaan turunnya ayat-ayat tersebut juga berangkat dari sebuah kebiasaan, serta kebudayaan dan tradisi yang tidak adil.
Bisa dikatakan, ayat-ayat Qur’an adalah sebuah hakim yang mengadili ketidakadilan budaya dan tradisi, juga sebagai arah kehidupan. Lalu, apakah Qur’an diinfiltrasi oleh budaya pada waktu itu?
Jawabannya iya. Tentu demikian, Qur’an terkontaminasi oleh keadaan-keadaan yang terjadi pada masa turunnya, termasuk budaya negaranya. Perkembangan budaya dan tradisi yang kita lihat saat ini sangat jauh berbeda dari kebiasaan terdahulu. Tidak mungkin pula terjadi perkembangan negara jika perkembangan ilmunya tidak meningkat di atasnya.
Terlebih, sistem akal manusia sangat dibutuhkan untuk suatu perkembangan (Al-Baqarah: 266). Di sini pun dapat dikatakan bahwa insan masa kini lebih banyak menata pola pikirnya dibanding insan terdahulu (jahiliyyah). Bedanya, hatinya dipakai dengan benar atau tidak, ini pun tergantung pada pribadi insan masing-masing.
Kontaminasi Budaya Terhadap Ayat-ayat Al-Qur’an
Kontaminasi budaya terhadap ayat-ayat Qur’an tidak selamanya mengikuti. Oleh karena itu, para mufassir selalu menyaring dari makna-makna ayat-ayat Qur’an tersebut dengan mengaitkan pada kebiasaan, kebudayaan, dan tradisi yang sedang dijalani, agar problematika yang terjadi pada saat ini dapat terjawab dengan baik.
Al-Qur’an tidak pernah mengatakan bahwa keotentikannya tidak dengan infiltrasi dan kontaminasi. Justru yang menjadi titik temu kebenaran dari Qur’an itu sendiri, adalah dengan adanya infiltrasi dan kontaminasi tersebut. Keterlibatan budaya atau penyusupan di dalam Al-Qur’an juga memengaruhi sikap berpikir bagi yang membaca maupun yang mengkajinya.
Dikatakan bahwa infiltrasi dan kontaminasi adalah sebuah titik temu kebenaran Al-Qur’an, karena mampu menjawab sikap yang harus diambil dalam segi ibadah mahdhah (ibadah yang ditetapkan oleh dalil secara langsung) maupun ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang ditetapkan oleh dalil tapi tidak secara langsung).
Secara garis besar, mayoritas manusia hanya mengulik kepada apa yang dikenakan di luar dan berpaku pada satu argumentasi, tanpa tahu bagaimana sebenarnya maksud dari Qur’an itu sendiri.
Memang sangat erat kaitan Qur’an dengan sejarah, sehingga mengikuti sesuatu yang menjadi sejarah dan tidak dipermasalahkan pula ketika cara-cara atau gaya kehidupan terdahulu digunakan di masa sekarang. Yang mana menjadi masalah adalah mengatasnamakan cara atau gayanya adalah perintah dari Qur’an.
Qur’an sendiri mempunyai ayat-ayat yang sifatnya elastis, bisa ditarik ulur sesuai kebutuhan zaman. Sehingga, ketertiban selalu terjadi menyesuaikan zamannya. Tidak pula dengan penafsiran yang sembarangan tanpa metode dan pendekatan yang dapat ditafsirkan dengan seenak jidat.
Hukum Rimba dalam Kehidupan Tanpa Ajaran Agama
Saat ini, ketergantungan budaya terhadap Qur’an sangat mengikat erat, di mana hal-hal budaya dapat tertib apabila dikaitkan dengan Qur’an. Terlebih, menganggap semua hal duniawi mempunyai hukum rimba dan hukum Tuhan.
Tentu tanpa sumber ajaran agama, hukum rimba binatang masih berlaku di arena kehidupan. Di mana yang lemah akan selalu tertindas dan tidak layak hidup, sementara yang kuat akan selalu merajalela memangsa yang berada di bawahnya. Tidak ada yang namanya maslahat, sopan santun, ramah sosial.
Seperti halnya budaya terdahulu yang tidak sedikit pun mengindahkan bayi perempuan dengan dianggap sebagai malapetaka. Juga yang menganggap wanita hanyalah budak permainan, serta yang memakai cadar, jilbab besar bagi perempuan dan celana cingkrang bagi laki-laki, hal tersebut bukanlah sebuah penilaian untuk menuju akhlak Qur’an melainkan adalah budaya di negara lain, bahkan di negara yang tinggi popularitas perzinahannya.
Di sini memerlukan pemahaman ekstra, di mana saya yakin manusia tidak bodoh dalam memilih antara yang benar dan yang salah. Tetapi yang menjadi masalah ialah kurangnya pendalaman terhadap sesuatu yang dikaji.
Abuddin Nata mengatakan bahwa karakteristik ajaran Islam dalam bidang ilmu kebudayaan adalah bersikap terbuka, akomodatif, tetapi juga selektif. Yakni tidak begitu saja menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan kebudayaan yang sejalan dengan Islam (MSI, 2014).
Pada surah Al-A’raf ayat 199:
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Tafsir Ayat
Dalam Tafsir Al-Wajiz dijelaskan, “Wahai para Nabi, mudahlah terhadap sikap-sikap manusia, dan janganlah kamu terbebani dengan apa yang meretakkanmu, dan suruhlah mereka dalam kebaikan: yang sesuai dengan pemahaman, syari’at, perkataan dan perbuatan, serta berpalinglah dari perbuatan yang jahil: seperti orang-orang bodoh dan kebodohan. Maka janganlah kalian melakukan perbuatan yang kurang akal dan berdebat dalam kebathilan.“
Beragam budaya memang kerap kali membingungkan banyak orang. Terlebih, yang menjadi perdebatan adalah budaya Barat dan budaya Arab. Namun, ayat ini mengajarkan agar kita tetap menerapkan kebaikan, meskipun terlihat hal demikian bukanlah hal yang pantas.
Editor: Zahra