Oleh Piet Hizbullah Khaidir
Mungkinkah Al Qur’an berfungsi sebagai big data? Dan apakah dengan demikian dapatkah menjadi dua kemungkinan ini: (i) Jika jawabannya ya, apakah Al Qur’an akan berguna hanya bagi kaum milenial berkenaan dengan revolusi 4.0?; dan (ii) Jika jawabannya tidak, apakah Al Qur’an akan usang ditelan zaman dan ditinggalkan oleh kaum milenial?
Terhadap beberapa hal di atas, saya ingin mengupasnya dari sudut pandang Al Qur’an dan fakta-fakta umum historis yang menyertainya.
Al-Qur’an dan Big Data
Adakah petunjuk Al Qur’an yang menjelaskan secara self-referential tentang dirinya sebagai big data? Jawabannya ada. Yaitu: secara zahir dan langsung merujuk makna lafaznya termaktub dalam QS. Al-Waqi’ah [56]: 77-82. Terjemahannya begini: “dan (ini) sesungguhnya Al Qur’an yang sangat mulia [77]; dalam Kitab yang terpelihara (Lawh Mahfuzh) [78]; tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan [79]; Diturunkan dari Tuhan seluruh alam [80]; Apakah kalian menganggap remeh berita ini (Al Qur’an) [81]; dan kalian menjadikan rezeki yang kalian terima (dari Allah) justru untuk mendustakan-Nya [82].
Dalam konteks Al Qur’an sebagai big data, kata kuncinya adalah lafaz: Qur’an, Karim, Kitab, dan Maknun. Kemudian laa yamassuhu, illaa, dan al-Muthahharuun. Menarik merenungkan penjelasan Abdullah Muhammad al-Razi tentang lafaz-lafaz tersebut dalam kitab agungnya, Mafatih al-Ghayb. Memulai penjelasan QS. 56: 77, al-Razi mengurai tentang dlamir hu setelah huruf ta’kid inna. Dlamir itu, dapat dipahami, merefer kepada dua hal: pertama, Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan reference pertama ini ingin menegaskan bahwa Al Qur’an bukanlah syair dan sihir seperti tuduhan orang-orang kafir.
Melainkan Al Qur’an yang sangat mulia yang berisi ajaran tauhid, hari kebangkitan, serta dalil-dalil tentangnya. Kedua, Al Qasam (sumpah). Penjelasan ini merefer kepada QS. 56: 76, untuk menjawab tuduhan orang-orang kafir yang mengolok-ngolok bahwa Al Qur’an adalah perkataan Muhammad. Jawaban QS. 56: 76 adalah “Dan sesungguhnya itu adalah sumpah yang agung (mengenai kebenaran Al Qur’an sebagai Kalam Tuhan) sekiranya kalian mengetahui”. Al Qur’an sebagai Kalam Tuhan dengan penjelasan ini hendak diyakinkan sebagai sesuatu yang tak terbantahkan, baik secara teologis ataupun ilmu pengetahuan.
***
Di mana poin tentang big datanya? Al Qur’an bisa dipahami sebagai isim mashdar dan juga isim ghairu mashdar. Untuk yang pertama, Al Qur’an isim mashdar yang dimaksudkan sebagai maf’ul, yakni maqru’ dari kata qa-ra-‘a. Jadi, Al Qur’an disebut Al Qur’an karena dibaca. Sedangkan yang kedua diibaratkan dengan kata qurban ketika seseorang mendekatkan diri, atau kata hulwan ketika seseorang merasakan manis. Al Qur’an dengan posisi makna lafaz yang kedua ini adalah sesuatu yang dibaca karena terus-menerus dibaca. Al Qur’an senantiasa dibaca, banyak dibaca orang, dan diyakini akan dibaca selamanya (abadi) sebagian di dunia dan sebagian lainnya di akherat.
Biasanya sesuatu itu, kalau sering dibaca atau didengarkan membosankan. Tetapi tidak dengan Al Qur’an. Karena itulah lafaz Al Qur’an diikuti lafaz Kariim. Dengan lafaz kariim ini disebutkan, bahwa membaca dan mendengarkan Al Qur’an itu lezat rasanya, dan seolah selalu merasakan aroma dan selera hidangan baru. Hal itu karena Al Qur’an itu berasal-muasal dari yang suci, dan zhahirnya memiliki keutamaan. Dalam istilah Arab, zakiy: suci, bila dikaitkan dengan kariim, berlaku rumusan seperti ini: orang yang dirinya tidak suci, tidak bisa disebut karim secara mutlak. Jadi kariim mengandaikan kesucian diri pada zatnya, dan kesucian diri pada aktusnya.
Jika ada orang mencuri harta benda untuk dibagi-bagikan kepada orang lain yang membutuhkan, sesungguhnya orang ini bukanlah kariim, karena tidak suci lahir batin; tidak suci pada aktus dan tindakan serta zat barang yang dibagikannya, meski motif dan niatnya mungkin suci. Al Qur’an, disebut karim, karena sebagai kalam, makna, maksud, dan reference objeknya suci lagi bersih; membacanya akan berdampak bersih. Dia mutiara mahal sekaligus hidangan lezat bagi siapapun yang membacanya dengan memosisikan diri pada zat dan aktus yang sejajar dengannya. Al Qur’an kariim, kata al-Razi, karena dapat memberi pemahaman kepada siapa saja, lafaznya sangat fasih, dan maknanya selalu benar.
***
Al Qur’an adalah kitab yang tertulis secara tersembunyi (maknun), bagaikan mutiara seperti disebut dalam QS. 56: 23. Maknun dalam pengertian ini adalah mastur (tersembunyi). Bisa juga diartikan maktub (tertulis) dalam mushaf. Juga bisa dimaknai mahfuzh (terjaga), ditulis secara lafaz dan makna dalam lawh mahfuzh (QS. 85: 20-21). Dalam konteks inilah, Al Qur’an bisa disebut sebagai big data. Al Qur’an tertulis dalam mushaf, tersimpan dan terjaga secara cloud di lawh mahfuzh.
Tetapi, mengacu kepada Ulum al-Qur’an, dijelaskan bahwa ayat Al Qur’an berjumlah kurang lebih 6236. Mungkinkah jumlah yang dapat dihitung dengan kalkulator itu memuat big data? Bila mengacu ke QS. 18: 109 dan 31: 27, Al Qur’an sebagai big data dalam konteks makna, bukan lafaz/ayat. Lautan luas yang airnya dijadikan tinta, didatangkan lagi air tinta dari lautan luas itu (QS. 18: 109). Bahkan disediakan lagi tujuh samudera, disertai seluruh ranting-ranting pohon dijadikan pena, tidak akan dapat mencukupi untuk mengurai makna kalimat Allah. Big data Al Qur’an adalah maknanya sebagai Kalam Allah. Dan untuk memahaminya seseorang harus menjadikan dirinya al-Muthahharun. Karena tidak dapat menyentuh (maknanya) Al Qur’an kecuali orang-orang yang disucikan.
Big Data Al-Qur’an
Secara ringkas, big data Al Qur’an bisa diklasifikasi menjadi dua, yaitu: soft and hard data. Yang soft data: ilmu pengetahuan dan kalimat tauhid, sedangkan yang hard data: hukum resiko dan sikap mental/akhlak.
Yang membedakan Nabi Adam As., dan para malaikat adalah tersedianya atau diberinya perangkat ilmu pengetahuan berupa nama-nama tentang segala sesuatu di alam semesta. Tuhan alam semesta mengajari Nabi Adam As., nama-nama segala sesuatu yang ada di alam semesta sehingga mampu memetakan dan menjabarkan informasi/data penting di alam semesta; sesuatu yang tidak diajarkan kepada para malaikat dan iblis. Informasi mengenai nama-nama ini menjadi perangkat ilmu pengetahuan bagi Adam, sehingga dia mampu memanfaatkan data-data itu untuk mengerjakan program ‘pengabdiannya’ dengan baik. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan soft data pertama dari big data yang dikandung oleh Al Qur’an.
Sang pemilik data baik zhahir (yang tertulis) ataupun bathin (cloud) adalah Tuhan semesta alam. Hal ini menegaskan dua hal: pertama, yang memahami alur, maksud dan masa depan data itu berimplikasi apa di masa depan adalah Tuhan. Kedua, big data paling tinggi derajat keistimewaannya adalah kalimat tauhid. Dalam kaitan ini, ketika berinteraksi dengan Al Qur’an, dan kita kemudian memperoleh big data dari Al Qur’an berupa ilmu pengetahuan, harus ditambahi dengan soft data kedua dari big data Al Qur’an yaitu kalimat tauhid. Big data berupa kalimat tauhid yang menghunjam dalam sanubari dan otak otomatis kita akan men-drive kita kepada upaya memanfaatkan big data berupa ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi alam semesta kemanusiaan. Sebagai puncak big data, kalimat tauhid merupakan pintu gerbang utama menuju dua hard data dari big data Al Qur’an, yaitu: hukum resiko dan sikap mental/akhlak.
***
Data-data yang dikandung Al Qur’an secara makna juga memuat hukum resiko dan sikap mental/akhlak. Yang dimaksud hukum resiko di sini adalah warning dan alert tentang dampak segala sesuatu yang dikerjakan. Bagaikan hukum algoritma, warning dan alert dari big data Al Qur’an juga bersifat pasti. Yaitu, pasti melahirkan dampak yang otomatis sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Jika baik, maka berdampak baik bagi diri dan alam semesta. Sebaliknya jika buruk, akan berdampak buruk juga. Big data Al Qur’an seolah merekam pada diri yang melakukan sesuai hukum resiko itu.
Sama seperti pengakses youtube ataupun mesin pencari lainnya, yang ditanam di dalamnya artificial intelligent (AI). Bila sang pengakses seringkali berselancar mencari batu akik, notifikasi dan jejak digital yang direkam oleh AI di mesin pencari itu adalah batu akik. Pada pengakses itu, selalu dimunculkan info tentang batu akik, setiap dia masuk ke dunia maya. Begitupula, ketika sang pengakses suka mengakses pengajian dari aliran tertentu, yang muncul sebagai notifikasi dan jejak digitalnya adalah sesuatu yang sama. Pada diri orang ini, yang dalam rekaman makna Al Qur’an lebih sering melakukan yang dilarang Al Qur’an, dampak dan jejak digital di otaknya adalah otomatis hal yang serupa.
***
Dampak berikutnya adalah hard data yang kedua dari big data Al Qur’an, yakni: sikap mental atau akhlak. Kesadaran merenungkan berlakunya hukum resiko secara otomatis dalam sunnatullah berdasarkan informasi Al Qur’an akan membawa orang pada sikap mental yang baik, kreatif dan mungkin dapat memahami big data Al Qur’an (makna) secara komprehensif. Dan begitupula sebaliknya. Kegagalan merenungkan hukum resiko secara otomatis dalam sunnatullah berdasarkan informasi Al Qur’an akan membawa orang pada sikap mental yang buruk, merusak dan semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Di sinilah sekali lagi, Al Qur’an sebagai big data itu bersifat kariim (sangat mulia), dan yang bisa memahaminya serta menggunakannya dengan baik adalah al-Muthahharun. Yakni, yang disucikan lahir (dari hadats kecil dan besar) dan batin (syahwat, angkara murka, hasad, ujub, dan niat buruk). Hanya al-Muthahharun inilah yang dapat melakukan tadabbur dan tadzakkur terhadap big data Al Qur’an, dus mereka itulah ulul albab.