Apa yang akan terjadi setelah kematian? Itu adalah satu misteri terbesar yang masing-masing agama memiliki jawabannya. Beberapa meyakini manusia akan mengalami reinkarnasi dan berubah ke dalam sosok hidup baru. Sementara sebagian yang lain mempercayai adanya alam berikutnya dimana segala tindakan manusia diadili. Nah, alam pengadilan itu dapat disebut dengan ma’ad.
Adapun dalam Islam, alam pengadilan (ma’ad) merupakan konsep agama dan ‘fakta’ yang secara yakin-pasti akan dijumpai seorang hamba Allah di masa depan. Itulah mengapa ma’ad menjadi salah satu rukun iman. Tulisan ini akan menguraikan signifikansi dari hari ma’ad bagi seseorang serta premis-premis yang menjustifikasi dasar argumentasi yang membuktikan adanya hari ma’ad.
Alam Pengadilan bagi Makna Hidup dan Pandangan Dunia
Para ulama dan filsuf muslim menyepakati bahwa hari ma’ad begitu penting bagi seorang muslim. Keyakinan bahwa ada hari perhitungan, pembalasan, dan keabadian akan membuat seseorang memiliki sikap keberagamaan yang lebih ta’at. Sebabnya, mereka tahu bahwa setiap rincian yang mereka lakukan dan acuhkan akan dicatat Tuhan dan diadili di hari ma’ad itu.
Sejak dulu sebetulnya orang kafir dan agnostik juga banyak yang mengakui adanya Tuhan. Namun, karena tidak yakin pada hari ma’ad maka mereka memiliki sikap dan makna hidup yang berbeda. Seorang muslim sekalipun bisa jadi yakin pada eksistensi Allah. Namun tanpa keyakinan atas hari ma’ad maka ia bisa berperilaku jauh dari tuntunan syariat.
Pentingnya keyakinan pada hari ma’ad juga menentukan bagaimana pandangan hidup seseorang. Hal ini sangat mudah dijelaskan, misalnya, pada penerimaan atas apa yang menjadi bagian dari hak-hak asasi manusia. Mereka yang percaya dan tidak percaya pada hari ma’ad akan memiliki daftar yang berbeda mengenai mana yang asasi atau bukan asasi bagi manusia.
Mereka yang menganut materialisme dan mengabaikan hari ma’ad akan menganggap yang asasi adalah yang ada di dunia dan serba sementara seperti hak pendidikan, hak politik dan hak hidup. Mereka melihat aspek-aspek material itulah yang menjadi standar kebahagiaan manusia di dunia dan karenanya semua itu adalah yang asasi.
Adapun para muslim yang sejati akan memprioritaskan hak beragama atau hak beribadah dan mempraktikan nilai ajaran agamanya sebagai hak asasi paling tinggi. Muslim tahu bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara yang bertindak sebagai tempat untuk mereka mengumpulkan amalan baik guna menjumpai hari pembalasan Tuhan yang seadil-adilnya.
Justifikasi Pertama: Tuhan itu Ada
Jauh sebelum kita beragumen mengenai ada-tidaknya ma’ad, harus diterima dulu beberapa premis awal. Pertama, seseorang harus membuktikan dan percaya bahwa Tuhan itu Ada. Ma’ad adalah suatu dimensi ruang dan waktu yang diciptakan. Maka, mustahil menuju kepada penalaran mengenai yang dicipta (ma’ad) tanpa sebelumnya menerima adanya Sang Pencipta (Tuhan).
Penalaran mengenai kewujudan Tuhan ini penting. Sebabnya, ma’ad bukan sesuatu yang bisa diakses saat ini dengan segenap alat-alat sains. Ma’ad bukan objek yang bisa diletakkan di atas mikroskop atau ditunjuk di satu titik manapun di sebuah atlas. Membuktikan adanya ma’ad hanya terjadi dengan didahului pembuktian adanya si pencipta ma’ad.
Atas dasar itu, para ateis jelas merupakan kaum penolak ma’ad. Bagi mereka Tuhan itu sendiri tidak ada. Bagi ateis, yang jelas dan nyata-ada hanyalah yang bisa diindra dan berada di dunia kehidupan. Entitas maha dahsyat Tuhan yang melampaui pengindraan gagal mereka nalar dan berikutnya pula sebagian ciptaan Tuhan lainnya seperti ma’ad.
Justifikasi Kedua: Penciptaan Memiliki Tujuan
Premis kedua dasar pembuktian ma’ad adalah bahwa setiap penciptaan memiliki tujuan. Tuhan tidak menciptakan segala sesuatu tanpa perencanaan ke depan yang matang dan berakhir mubadzir seperti yang manusia ciptakan. Melainkan Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatu bagi makhluk yang diciptakan. Hewan dan tumbuhan ada untuk menunjang hidup manusia. Manusia sendiri ada untuk mengemban tugas kekhalifahan.
Karenanya, penolak ma’ad adalah kelompok yang menganggap bahwa penciptaan alam atau realitas bersifat acak. Bahwa semua terjadi begitu saja dan tanpa suatu grand design. Manusia, hewan dan tumbuhan ‘terlempar’ begitu saja dan terjebak dalam kehidupan di dunia. Keyakinan semacam ini jelas menolak adanya ma’ad sebagai persinggahan akhir setelah kematian.
Argumentasi keacakan telah banyak dibatalkan oleh berbagai filsuf dan fisikawan sendiri. Bagaimana mungkin sesuatu yang acak bisa begitu harmonis, teratur, dan canggih hingga manusia sendiri hingga kini belum mampu menciptakan yang sama? Jawabannya jelas karena alam diciptakan dengan suatu kesengajaan atau perencaan oleh dzat yang Maha Cerdas.
Justifikasi Ketiga: Sifat-sifat Niscaya dan Mustahil Tuhan
Terakhir, menerima ma’ad hanya bisa dilakukan jika memahami pula sifat-sifat yang niscaya dan mustahil pada Tuhan. Sifat-sifat mustahil Tuhan menyatakan bahwa Ia adalah dzat yang mandiri, tunggal, imateri dan melampaui segala dimensi. Semua itu adalah konsekuensi dari dzat Tuhan sebagai wajibul wujud, suatu eksistensi yang niscaya Ada.
Adapun sifat-sifat yang pasti berlaku pada-Nya adalah lebih sempurna dibanding setiap akibat, mampu mengadakan dari ketiadaan tanpa berkurang dzat-Nya, dan adanya akibat bergantung kepada pemeliharaan oleh dzat Tuhan (sang Sebab). Semua itu menjadikan Tuhan adalah yang Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha adil dan Maha Bijak.
Pengetahuan mengenai kedua kutub sifat-sifat di atas akan menjadi dasar terpenting memahami ma’ad. Bahwa Tuhan adalah dzat yang maha kuasa untuk menciptakan sistem peradilan pasca kematian. Bahwa Tuhan memiliki kebijaksanaan dalam menguji manusia di dunia termasuk kemudian mencatat dan memberi pembalasan seadil-adilnya dengan ma’ad.
Editor: Soleh