Masyarakat Indonesia kembali diperlihatkan dengan kebijakan-kebijakan yang tak arif. Kebijakan kali ini adalah adanya rencana untuk memberikan asimilasi kepada narapidana kasus korupsi di Indonesia.
Seperti dikutip dari https://detiknews.com edisi 5 April 2020, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat membantah kabar ini. Dalam keterangan persnya beliau menyampaikan, “Saya disebut mau meloloskan napi narkoba dan korupsi. Seperti sudah beredar beberapa waktu lalu di media massa. Itu tidak benar,” kata Yasonna dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/4/2020).
Narapidana kasus korupsi dapat dibebaskan atau diberikan hak asimilasi harus didahului dengan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Langkah yang diambil menteri dengan ciri khas kacamata hitamnya ini cukup kontroversial. Hal itu lantaran beliau dianggap mencari kesempatan dalam kesempitan.
Narapidana Koruptor Prosentasenya Sedikit
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah yang diambil Menteri Hukum dan HAM ini tidak tepat. Karena kejahatan korupsi tidak dapat disamakan dengan kejahatan biasa. Korupsi masuk dalam daftar kejahatan atau tindak pidana luar biasa (Extra Ordinary Crime).
Alasan utama keinginan untuk membebaskan para narapidana dalam pandemik Corona ini adalah karena over kapastitas lapas di Indonesia. Lapas di Indonesia berjumlah 528 dengan kapsitas 130.512 orang. Tetapi saat ini diisi oleh 248.690 orang. Jumlah tersebut menjadikan lapas over kapastias sampai dengan sekitar 107%.
Dari jumlah narapidana tersebut, jumlah narapidana kasus korupsi adalah 4.552 orang atau 1.8 persen dari total narapidana. Dengan data ini alasan untuk membebaskan narapidana koruptor terlihat hanya seperti akal-akalan saja.
Korupsi Kejahatan Luar Biasa
Dengan berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 atas perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002, korupsi masih masuk menjadi suatu kejahatan luar biasa. Sehingga cara-cara yang dilakukan untuk memberantas tidak lagi dapat menggunakan cara-cara biasa. Tetapi harus dituntut dengan cara-cara yang luar biasa
Kejahatan korupsi ini seperti kita ketahui bersama sudah menjadi gurita bagi para pemangku kebijakan di negeri ini. Puluhan kepala daerah sudah menjadi penghuni lapas narapidana koruptor. Mereka yang seharusnya mengabdi untuk masyarakat justru berbuat kemungkaran.
Korupsi sudah turut serta meruntuhkan sistem demokrasi yang dibangun oleh negeri ini. Sehingga keputusan untuk membebaskan narapidana koruptor hanya akan melukai segenap masyarakat dan tumpah darah Indonesia.
Sel Narapidana Koruptor Beda
Berbeda dengan sel yang digunakan oleh narapidana kejahatan lainya, sel milik narapidana koruptor dibuat lebih privasi. Sel mereka dipisahkan dari narapidana lain. Di Lapas Suka Miskin satu sel digunakan oleh satu narapidana. Ini sudah seperti physical distancing yang digaungkan oleh World Health Organization (WHO).
Dengan penggunaan lapas yang sedemikan rupa, tampaknya tak perlu sampai membebaskan narapidana koruptor dengan alasan untuk ikut serta menghentikan penyebaran virus Covid-19 ini. Melepaskan atau memberi asimilasi bagi narapidana koruptor layaknya melepaskan hewan buas kembali ke alam bebas. Memberikan kebebasan mereka untuk kembali berulah.
Ketimbang membebaskan narapidana koruptor, masih ada dan lebih banyak narapidana lainya yang lebih pantas mendapatkan itu. Contohnya narapidana kasus pencurian ayam, sandal, perampokan, judi, dan lainnya yang masih tergolong kejahatan biasa.
Pengawasan yang Tidak Maksimal
Apabila narapidana kasus korupsi diberikan asimilasi, ini akan membuat pengawasan tidak maksimal. Karena ketika narapidana dilepaskan, pengawasan mereka hanya diawasi oleh LP. Sedangkan kita masih ingat kasus korupsi pajak oleh Gayus Tambunan. Dia dengan seenaknya bisa liburan ke Bali. Padahal, seharusnya dia ada di dalam sel untuk menjalani hukuman.
Marilah kita berpikiran terbuka, bahwa para koruptor itu sudah menjadi virus bangsa. Karena ulah merekalah banyak masyarakat yang didzalimi. Tak seharusnya mereka mendapatkan hak yang istimewa. Triliunan uang negara yang seharusnya untuk menyejahterakan rakyat, justru di tangan-tangan licik mereka uang itu digunakan untuk foya-foya. Berdalih untuk memajukan kesejahteraan rakyat, mereka justru menindas rakyat.
Para pemangku kebijakan juga seharusnya bisa merasa bahwa mereka diberi jabatan untuk mengatur dan membantu membangun negara dan bangsa. Bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan sendiri saja.
Editor: Arif