Oleh: Yusuf Rohmat Yanuri*
Beberapa tokoh menyebut Ali Syariati (1933-1977) sebagai ideolog par excellence (tiada banding). Ia adalah orang nomor 2 setelah Khomeini yang mendorong terjadinya revolusi Islam Iran. Sekalipun ia meninggal 2 tahun sebelum terjadi revolusi yang menumbangkan rezim diktator Syah Pahlevi. Ali Syariati dibenci siapapun tapi dicintai rakyat.
Sebagai seorang intelektual yang melahirkan konsep Raushan Fikr (pemikir yang tercerahkan), ia banyak mengkritik kelas-kelas sosial dimana ia hidup. Seperti penguasa, yang dalam hal itu diwakili oleh rezim diktator Syah. Kemudian ulama’ tradisional yang ia anggap ikut melanggengkan status quo.
Tak ketinggalan kelompok intelektual dimana ia hidup juga banyak ia kritik karena dianggap melepaskan diri dari tanggung jawab sosial. Tokoh-tokoh yang banyak mempengaruhinya antara lain Karl Marx, Fanon, Sartre, Camus, Jalamuddin Al-Afghani (Al Asabaadi), dan Muhammad Abduh.
Agama VS Agama
Salah satu yang menjadi konsentrasi Ali Syariati adalah dialektika sejarah. Hasil analisa yang ia lakukan terhadap perjalanan sejarah agama-agama adalah bahwa agama Islam (tauhid, monoteisme) yang dia yakini kebenarannya tidak pernah berhadapan dengan non-agama, atau sesuatu diluar agama. Melainkan selalu berhadapan dengan agama lain.
Istilah kufr (kafir) didalam Alquran tidak menunjukkan sesuatu non-agama. Namun menunjukkan orang-orang beragama politeisme yang menolak kebenaran yang dibawa oleh Muhammad. Begitu pula dengan istilah syirk, nifaq, dzulm, dan lain-lain.
Musa misalnya, berhadapan dengan Firaun yang mengaku sebagai tuhan, sehingga pengikut Firaun bukanlah orang ateis atau orang yang tidak beragama. Agama mereka adalah agama yang menyembah Firaun sebagai tuhan.
Begitu juga dengan Ibrahim bapak monoteisme yang berhadapan dengan Namrud. Masyarakat Namrud adalah masyarakat penganut politeisme, bukan masyarakat non-agama.
Lantas apa yang menjadi akar bagi ratusan agama politeisme yang terus ada sejak empat ribu tahun yang lalu? Yang pertama adalah superioritas ras tertentu di atas ras yang lain.
Hal ini yang membuat masyarakat di kelas bawah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dalam hal ekonomi. Mereka dibius dengan dalil agama agar diam dan tidak melakukan protes terhadap ketidakadilan yang sedang menimpa mereka. Isu rasial ini menurut Syariati menjadi akar pertama agama politeisme dan senantiasa hidup hingga abad modern hari ini.
Politeisme Bertopeng Monoteisme
Akar yang kedua adalah status quo. Salah satu tugas agama politeisme adalah melanggengkan status quo. Status quo adalah sesuatu yang sudah berjalan apa adanya.
Para penguasa dan agamawan dalam agama politeisme melanggengkan status quo. Menolak perubahan agar mereka terus berkuasa dan menikmati kekayaan yang berpusat disekitar mereka.
Akar yang ketiga adalah penyerahan batin dan pelepasan tanggung jawab sosial. Akar ini masih berkaitan erat dengan akar yang kedua. Di mana kepentingan masyarakat luas dikorbankan demi kepentingan penguasa dan agamawan politeisme.
Setelah agama-agama yang banyak jumlahnya menjadi penganut politeisme, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sebenarnya agama monoteisme (tauhid, Islam) yang benar?
Mengingat Syariati juga mengelompokkan beberapa sekte dalam Islam kedalam kelompok politeisme yang menyamar menggunakan pakaian monoteisme. Ini adalah yang paling berbahaya bagi berlangsungnya eksistensi agama Islam.
Menurut Syariati, masyarakat monoteisme yang ideal dalam sejarah panjang peradaban manusia hanya berlangsung selama 10 tahun pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah. Syariati nampak melakukan penyederhanaan dengan mengatakan bahwa selain 10 tahun pemerintahan Muhammad, Islam dikuasai oleh orang-orang politeisme yang bertopeng monoteisme.
Ia mengatakan bahwa monoteisme adalah yang bersifat revolusioner. Menentang status quo, memberontak, menolak, dan berkata “tidak” di hadapan kekuasaan selain kekuasaan yang sah di hadapan manusia dan Tuhan. Melawan para aristokrat yang kaya, mala’, orang-orang serakah yang hidup dalam kemakmuran dan kemewahan, mutrif, dan orang-orang yang berkuasa di masyarakatnya sendiri tanpa punya rasa tanggung jawab.
Karena sepanjang sejarah, yang berkuasa adalah agama kaum aristokrat kaya dan orang-orang serakah yang hidup dalam kemakmuran dan kemewahan. Berkuasa baik menggunakan nama agama politeisme maupun monoteisme yang dijadikan topeng dari politeisme.
Ali Syariati Mengkritik Agamawan dan Intelektual
Berangkat dari analisa ini ia kemudian mengkritik agamawan yang ia asosiasikan dengan Bal’am. Seorang ulama yang hidup pada zaman nabi Musa yang menjual agama untuk kepentingan pribadi. Juga intelektual hipokrit yang hidup di menara gading.
Lantas apa yang harus kita lakukan? Yang harus dilakukan pertama kali oleh kelompok ulama dan intelektual adalah membangun jembatan yang menghubungkan antara pulau ulama dan intelektual dengan pulau masyarakat. Dewasa ini kedua pulau terpisah oleh jurang yang begitu lebar.
Karena perbedaan bahasa antara kaum terpelajar dan masyarakat awam akan memberikan sumbangsih terhadap status quo. Itu berarti dukungan terhadap agama politeisme.
Ali Syariati Dibenci Siapapun Tapi Dicintai Rakyat
Syariati meyakini bahwa nabi sosial, raushan fikr, tokoh publik, atau apapun sebutannya, yang benar adalah yang ummi. Syariati mengartikan ummi dengan berasal dari ummat, berasal dari rakyat, dan hidup di tengah-tengah rakyat.
Syariati sendiri, meskipun seorang intelektual, juga banyak mengkritik intelektual sejawatnya. Syariati adalah tokoh yang dibenci semua kalangan kecuali rakyat. Ia dibenci oleh penguasa karena jelas menentang rezim syah.
Ia dibenci oleh kalangan ulama karena terlalu banyak mengkritik ulama menara gading. Ia dibenci beberapa kalangan intelektual yang pikirannya tidak mampu mengikuti alam pikiran Syariati.
Namun, Ali Syariati dicintai oleh rakyat Iran, foto-fotonya tersebar luas mengiringi foto-foto Khomeini saat revolusi Iran. Tulisan-tulisannya disebar luas kepada rakyat yang terinspirasi olehnya.
Gerakan oposisi ’98 yang berhasil menumbangkan rezim kuat Soeharto dipimpin oleh seorang anak bangsa bernama Amien Rais. Yang perlu diingat adalah bahwa Amien Rais sedikit banyak terpengaruh oleh gagasan-gagasan Syariati.
Barangkali matinya gerakan oposisi di Indonesia hari ini adalah karena tidak adanya tokoh-tokoh yang siap dibenci dan dicaci-maki oleh siapapun demi membela kepentingan rakyat. Yang ada justru rakyat dikorbankan untuk memuluskan langkah elit dari kelompok manapun untuk mendapatkan jatah kue kekuasaan. Wallahu a’lam.
*) Ketua PW IPM Jateng bid PKK