Perspektif

Amerika dan Iran: Dulu Kawan, Sekarang Lawan

3 Mins read

Iran tidak terlepas dari aspek historisnya sebagai negeri yang pernah dikuasai oleh Dinasti Safawiyah, yang dahulunya merupakan daratan wilayah kekuasaan imperium Persia. Lahirnya dinasti tersebut merupakan kebangkitan kembali kejayaan Islam di abad pertengahan. Kemudian Dinasti Safawiyah telah memberikan kepada Iran semacam identitas nasional berupa aliran Syi’ah, yang merupakan landasan bagi perkembangan nasionalisme Iran modern (Zamzami, 2013, p. 214) Dinasti yang didirikan oleh Ismail pada tahun 1501 ini, mendapat era kejayaannya pada masa kekuasaan Abbas I.

Secara politik Abbas I mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh dinasti lain pada masa sebelumnya. Kejayaan ini terlihat dari stabilitas dan kemakmurannya, yang tampak dari kemegahan ibu kota negara Isfahan, beserta super-bazar dan keindahan arsitekturnya. Bidang kesenian berkembang, dan kajian filsafat kembali mengakar di negeri-negeri Islam. Pemerintahan dipulihkan sebagaimana mestinya (Zamzami, 2013, p. 220).

Namun setelah mengalami kemajuan pada Abbas I, dinasti ini mengalami kemunduran disebabkan adanya konflik panjang dengan Dinasti Turki Utsmani karena perbedaan mazhab (sunni vis a vis Syiah), kemudian terjadinya dekadensi moral para pimpinan Dinasti Safawi dan terjadinya konflik internal dalam perebutan hak kekuasaan istana hingga akhirnya ditaklukkan oleh Dinasti Qajar pada tahun 1736 di masa pemerintahan Nadir Khan.

Ketertarikan Amerika terhadap Iran

Setelah Dinasti Qajar juga mengalami kemunduran, kemudian perlahan wilayah daratan Persia ini dikuasai oleh Dinasti Pahlevi (1925-1979). Pada abad ini kita menyaksikan penegasan kembali otoritas pusat yang kuat di Iran dan kemunculan kembali prinsip kedinastian. Penemuan minyak bumi di awal abad ke-20 dan ketertarikan terhadap hal tersebut oleh Inggris dan kemudian Amerika menentukan gaya dan peranan Syah Pahlevi II.

Baca Juga  Mengapa Manusia Diciptakan Beragam?

Hasil tambang minyak yang memiliki daya tarik sangat kuat bagi Amerika Serikat untuk menguasai Iran saat itu menjadi hal yang tidak mustahil. Karena kekayaan dari minyak memungkingkan Syah Pahlevi II memimpin istana yang mewah dan korup sambil mendukung pihak Sekutu Barat (termasuk Amerika Serikat) sebagai ganti dari konsesi minyak membuatnya bisa memainkan suatu peran yang sangat penting dalam politik di wilayah itu (Ahmed, 2002, p. 132).

Namun, upaya Amerika Serikat tersebut mengalami penentengan keras dari Pergerakan Khomeini mengubah semua itu pada akhir 1970-an. Pergolakan masyarakat Iran semasa pemerintahan syah-syah Pahlevi menimbulkan ribuan laki-laki dibunuh oleh tentara dan Khomeini diasingkan dari tahun 1964 sampai Februari 1979. Amerika Serikat turun berperan dan ikut serta dalam mengendalikan pihak pemerintahan Dinasti Pahlevi.

Bukanlah hal yang mengherankan, mengingat pada saat itu Iran didominasi materialisme oleh agen rahasia, Savak dan korupsi keluarga Syah. Amerika Serikat berperan penting dalam pemerintahan Iran masa Syah-Syah Dinasti Pahlevi tersebut yang ikut serta dalam trans-intervensi politik dan ekonomi Iran saat itu hingga akhirnya terjadinya Revolusi Iran membuat Amerika Serikat keluar dari Iran dan menghapus sistem monarki yang dibuat oleh Dinasti Pahlevi. Pelopor paling utama revolusi tersebut adalah Khomeini yang sebelumnya sudah membuat gebrakan-gebrakan kecil bersama koleganya dari kalangan Syiah dan Sunni dalam perjuangan Republik Islam Iran.

Runtuhnya Hubungan Amerika dan Iran

Setelah Islam menjadi landasan hukum bagi Republik Islam Iran di era Ayatullah Khomeini dan pemerintah Iran sendiri dipimpin oleh orang-orang yang modern dan cerdas, sehingga para wanita mempunyai hak-hak yang sama dengan kaum pria, mereka banyak masuk dalam parlemen dan tahun 1977 seorang wanita, Massoumeh Ebtekar menjadi wakil presiden Iran. Pemilihan presiden 1997 yang memberikan Khatami mayoritas 70 persen suara membuka babak baru dalam sejarah setelah Revolusi Islam Iran (Ahmed, 2002, p. 182).

Baca Juga  Menjadi Terpelajar: Starter Pack ala Bumi Manusia

Dekade 2000-an hingga era terkini, Iran masih tetap kokoh dengan pendiriannya terhadap abilateral dengan AS dan Israel, karena supreme leader yakni Ayatullah Khomeini hingga Ali Khomeini memberikan dukungannya terhadap Palestina. Dengan demikian, secara eksplisit sudah jelas tidak akan dijumpai hubungan baik antara Iran dengan pihak Sekutu dari Amerika Serikat tersebut.

Ditambah lagi, pernah terjadi penyerangan dengan rudal balistik oleh Amerika Serikat terhadap jenderal Iran sehingga membuat situasi global-politik sempat mempengaruhi stabilitas politik dunia. Bahkan era terkini persaingan geo-politik antara blok Rusia Bersama Iran dan Turki, Amerika Serikat bersama Inggris, Perancis dan Arab Saudi, membuat hal tersebut menjadi yang lumrah saja jika mereka saling berlomba untuk menguasai hasil sumber daya alam untuk memenuhi keuntungan negara mereka masing-masing walaupun pada akhirnya berujung pada pertempuran militer langsung.

Dengan demikian, dapat diberikan satu kesimpulan bahwa negara-negara Barat yang berjiwa imperialis tidak pernah mampu menguasai secara penuh wilayah kekuasaan Islam. Biarpun pernah menguasai wilayah Islam tersebut, namun tetap saja hanya sebentar. Kekuatan dari revolusioner Islam tidak mampu dibendung oleh kekuatan barat. Islam dan i’tikad politiknya pasti akan tetap mengalami eksistensi sepanjang zaman dan tidak akan pernah padam walaupun mendapat serangan langsung ataupun laten dari pihak barat yang notabenenya bukan dari kalangan Islam.

Editor: Soleh

Johan Septian Putra
38 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds