Dua tokoh Muhammadiyah, Profesor Amien Rais dan Profesor Din Syamsuddin menggugat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI Nomor 1 tahun 2020 atau dikenal dengan Perppu Penanganan Covid-19.
Amien Rais, Din Syamsuddin dan Sri Edi Swasono mengajukan gugatan atas Perppu Penanganan Covid-19 pada tanggal 14 April 2020. Din Syamsudin menunjuk konsultan hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) sebagai tim kuasa hukum perkara yang terdiri atas Zainal Arifin Hoesein, Ibnu Sina Chandranegara, Ahmad Yani dan Iwan Darlian.
Ketiga nama ini mewakili secara teknis dua puluh satu tokoh dan figur publik, beberapa di antaranya ialah Marwan Batubara (mantan anggota DPD), Hatta Taliwang (aktifis dan mantan politisi PAN), Abdullah Hehamahua (Mantan Penasehat KPK), M.S. Kaban (politisi PBB), Adhie Massardi (juru bicara Gus Dur), Gus Aam (NU “Garis Lurus”), Ahmad Redi (Dosen Tarumanegara), Sayuti Asyathri (mantan Politisi PAN), Ramli Kamidin (UI), dan lainnya.
Pengajuan gugatan tersebut sudah melewati tiga kali sidang pengujian materil di Mahkamah Konstitusi yakni: tanggal 27 April, 13 Mei, 19 Mei. Gugatan juga diajukan oleh perkumpulan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakkan Hukum Indonesia (LP3HI), Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia dan LBH Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (Peka) dengan perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020.
Sebetulnya, ada tiga ajuan gugatan yakni Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020 tapi pada sidang tanggal 13 Mei dinyatakan sudah dicabut oleh pemohon.
Perppu/UU Penanganan Covid-19 yang Kontroversial
Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 mengajukan pengujian Perppu Penagangan Covid-19 pada Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 terhadap UUD 1945. Sedangkan Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 mempersoalkan Pasal 27 terhadap UUD 1945. Singkatnya, dua gugatan ini menilai Perppu bersifat inkonstitusional terhadap UUD 1945.
Pasal 27 ayat (1) berbunyi “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”.
Ayat (2) berbunyi, “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota secretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementrian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) menyatakan, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”.
Pengesahan Dianggap Terlalu “Politis”
Status peraturan penanganan Covid-19 masih dipertanyakan. Mewakili Pemerintah, Sri Mulyani menyatakan bahwa Perppu ini sudah sah menjadi Undang-Undang. Sri Mulyani menyatakan, “Pemerintah telah mengesahkan persetujuan DPR dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang. DPR di dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 masa Sidang III Tahun Sidang 2019-2020 hari Selasa, tanggal 12 Mei 2020”.
Sebagaimana tercantum dalam risalah persidangan MK, Sri Mulyani menyatakan bahwa Perppu sudah sah menjadi Undang-Undang. Menteri Keuangan ini menyatakan,
“Pemerintah telah mengesahkan persetujuan DPR tersebut melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Desease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Tercantum dalam Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6516, dan selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020”.
Zainal Arifin Hoesein, tim kuasa hukum perkara nomor 23 menilai bahwa proses pengesahan Perppu menjadi UU ini sangat terburu-buru. “Kami menerima itu (perubahan Perppu menjadi UU), tetapi ada satu catatan kami. Kami menggunakan logika hukum yang lurus dan ini saya menilai bahwa kecepatan ketika mengesahkan undang-undang … perppu … kesepakatan di DPR, kemudian menjadi undang-undang, itu luar biasa. Ini kami menilai sebagai logika politik. Jadi hukum sudah tercampur dengan logika politik, ini akan mencederai prinsip-prinsip negara hukum. Itu kami”.
Senada dengan Zainal, Ahmad Yani yang juga merupakan tim kuasa hukum perkara nomor 23 mengatakan Perppu ini seharusnya belum masuk pada tahap forum persetujuan atau penolakan DPR. Dia menilai ini sebagai bentuk keputusan politik DPR. “Ya, nanti mungkin menjadi objek gugatan kami yang akan datang, baik formal prosedural maupun secara substansial terhadap perppu ini sendiri yang telah menjadi undang-undang”.
Jihad Konstitusi Tokoh Muhammadiyah
Keterlibatan Amien Rais dan Din Syamsuddin dalam gugatan Perppu/UU Penanganan Covid-19 ini merupakan bagian peran konstitusional tokoh Muhammadiyah. Dalam berbagai kesempatan, keduanya sering memperingatkan ancaman kekuatan oligarki dan karakter kleptokratis birokrasi yang membayang-bayangi demokrasi Indonesia.
Menurut Din Syamsuddin, Perppu Penangangan Covid-19 mengandung problem serius. Sebab, peran lembaga negara seperti DPR dan BPK dalam bidang keuangan mengalami penegasian. “Perppu ini tidak memiliki konteks darurat. Perppu ini kelihatannya hanya untuk stabilisasi keuangan nasional, dan bukan untuk penyelamatan publik. Saya pribadi melihat ada penguatan pembentukan kediktatoran konstitusional” ungkapnya dalam sesi wawancara bersama Refly Harun (12/5).
Gugatan Amien Rais dan Din Syamsuddin atas Perppu/UU Penanganan Covid-19 punya arti penting bagi Muhammadiyah dan posisi masyarakat sipil muslim terhadap demokrasi. Keduanya mewakili bentuk politik kewargaan Islam yang berupaya menggerakkan pemikiran keagamaan menjadi motivasi pembelaan kepentingan publik.
Bersama dengan gelombang gerakan “Islam sipil” yang terus bertahan pasca reformasi, mereka tengah merumuskan makna Islam dalam dunia politik kontemporer.
Reporter: Fauzan A Sandiah