Didikan serta lingkungan keluarga yang selalu menanamkan nilai-nilai Islam pada pribadi Amien Rais telah membuatnya tumbuh menjadi tokoh nasional yang selalu menjadikan Islam sebagai acuan dalam berbicara, bertindak dan bergerak. Pesan sang Ibu, Hj. Sudalmiyah, tentang pentingnya amar makruf dan nahi munkar sangat membekas pada dirinya. Ia masih ingat betul ketika kecil dinasehati oleh ibunya dengan bahasa yang kira kira begini: Nak, amar makruf (menyeru pada kebaikan) itu tidak susah. Yang susah itu adalah nahi munkar (mencegah kemungkaran).
Nasehat sang ibu tersebut terus ia ingat dan begitu ia rasakan ketika menjalankan aksi-aksi perubahan. Tentu kita masih ingat bagaimana ia berhadapan dengan Soeharto berserta kekuatan Orde Baru-nya. Tidak ada intelektual yang secara terang-terangan berani vis-à-vis dengan penguasa 32 tahun itu. Banyak yang enggan sebab resikonya adalah berakhir pada penculikan, penjeblosan dalam jeruji besi dan bahkan hilang tanpa berita.
Di saat seperti itulah Amien Rais tampil. Saat berbagai macam ancaman siap untuk menerkamnya. Dan dia sadar betul akan itu. Tetapi tanpa gentar, sembari mengingat nasehat ibunya, ia mantap melangkah. Karena inilah resiko menjalankan nahi munkar: melakukan perlawanan terhadap otoritarianisme kekuasaan, menghadapi kekuasaan yang telah masa bodoh dengan kritik dan membunuh sistem demokrasi yang menjadi rule Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan Soeharto yang tidak ingin diganggu, akhirnya terusik dengan kemunculannya. Lewat forum Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 ia meneriakkan suksesi kepemimpinan nasional. Sebuah teriakan yang kemudian menyentakkan dan membuat para intekktual, mahasiswa dan rakyat meledakkan protesnya terhadap kekuasaan sang jendral. Memang tidak mudah. Karena seluruh birokrasi dari pejabat, TNI, Polri, PNS, semuanya berada di genggaman Soeharto. Namun berkat perjuangan yang gigih tanpa mengenal letih, perjuangan Amien Rais dan segenap elemen bangsa menumbangkan kekuasaan otoriter Soeharto akhirnya berhasil.
Amien Rais Tidak Konsisten?
Langgam Amien Rais dalam kancah politik nasional telah banyak menuai kejengkelan dari beberapa pihak. Di antara desas desus yang muncul belakangan ini adalah pendiri Partai Amanat Nasional tersebut tidak konsisten dan telah berubah. Ia dituduhkan tidak konsisten karena pada awal-awal Reformasi ia mendukung Gus Dur naik sebagai presiden dan menjegal Megawati Soekarnoputri. Namun belakangan, ia berbalik melengserkan Gus Dur dan menaikkan Megawati Soekarnoputri.
Untuk menjawab hal ini, kita dapat melihat terlebih dulu apa motif (atau ‘illat dalam bahasa ushul fikihnya) Amien Rais mendukung Gus Dur. Dalam buku Ensklopedi Tokoh Muhammdiyah yang ditulis oleh Nadjamuddin Ramly dan Hery Sucipto dijelaskan, alasan Amien Rais mendukung Gus Dur sebagai presiden saat itu adalah karena ia merupakan kiai dan tokoh ormas besar Islam di Indonesia, yakni Nahdahtul Ulama (NU). Dengan background tokoh Islam seperti itu, ia berharap ketika jadi presiden Gus Dur dapat memperjuangkan kepentingan umat Islam. Namun apa yang diharapkannya menemui jalan buntu.
Apa yang dilakukan Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden malah jauh dari yang diharapkan Amien Rais. Sebagaimana julukannya ‘Pendekar Mabuk’, kebijakan kebijakan yang dibikinnya membuat orang-orang geleng kepala. Di antara kebijakan tersebut adalah mengeluarkan dekrit presiden pada 23 juli 2001 untuk membekukan MPR-DPR. Kemudian disusul kebijakan dengan mengusulkan agar mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1996 tentang pelarangan PKI dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme/leninisme di Indonesia. Kebijakan yang menyulut kemarahan umat Islam, penolakan dari PKB dan beberapa kiai NU.
Adapun anggapan bahwa Amien Rais menaikkan Megawati sebagai presiden, itu tidak benar. Megawati menjadi presiden karena secara konstitusi, apabila presiden diberhentikan, maka wakilnya lah yang menggantikan.
***
Kemudian terkait tuduhan benarkah Amien Rais telah berubah. Kayaknya kita perlu melihat alasan di balik tuduhan tersebut. Kebanyakan orang orang melemparkan tuduhan tersebut karena Amien Rais dulunya pernah menggaungkan ide high politic. Di mana terjemahannya, versi mereka, adalah seseorang tidak boleh terjun dalam politik praktis. Karena politik praktis sarat akan perebutan kepentingan. Artinya ketika Amien Rais terjun ke politik praktis, ia telah mengkhianati gagasannya sendiri, yakni high politic di atas.
Terjemahan itu, jika merujuk pada pengertian Amien Rais tentang high politic sebagaimana dijelaskan dalam Amien Rais Dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah, adalah terjemahan yang keliru. High politic tidak mengandaikan ataupun melarang seorang warga negara terjun ke dalam politik praktis. High politic tetap membolehkan dengan syarat tidak memperlakukan jabatan secaca oportunis. Karena high politic memiliki tiga syarat: pertama, memandang suatu jabatan politik atau kekuasaan sebagai suatu amanah yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Kedua, masih berkaitan dengan yang pertama setelah mengemban sebuah amanah yang diberikan kepadanya maka jabatan politik itu mempunyai suatu pertanggung jawaban (mas’uliyah, accountability), terutama di hadapan Allah dan rakyat. Ketiga, jabatan politik didasarkan kepada prinsip ukhuwah (brotherhood), persamaan pada umat manusia.
Dari ciri-ciri tersebut, kita akhirnya maklum dan menyadari bahwa tuduhan Amien Rais telah berubah adalah tuduhan yang jauh panggang dari api. Sebab kenyataannya tidak demikian. High politic tetap membolehkan seseorang terjun ke politik praktis dengan prasyarat memandang jabatan sebagai amanah yang harus dijalankan sebaik-baiknya dan dioptimalkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat. Sebab semuanya akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah.
Oposisi Seumur Hidup
Menjuluki Amien Rais sebagai ‘oposisi seumur hidup’ tentunya bukanlah hal yang berlebihan. Hampir seluruh penguasa di negeri ini dari era Soeharto sampai Jokowi tidak pernah lepas dari kritiknya. Padahal jika ia mau, Amien Rais bisa saja berkompromi dengan penguasa dan kemudian meraup banyak kenikmatan. Namun itu bukan tipe Amien Rais. Ia selalu memosisikan sebagai orang yang melakukan controlling terhadap negara.
Bahkan dalam buku Memimpin Dengan Nurani: An Authorized Biography by Zaim Undrowi, diceritakan ketika BJ. Habibie telah resmi menjadi presiden menggantikan Soeharto, Habibie mengajak Amien Rais untuk gabung dalam pemerintahan. Namun ia menolak. Kepada Habibie ia mengatakan dalam bahasa yang kurang lebih begini: Biarlah saya berada di MPR menjalankan tugas saya untuk melakukan kontrol terhadap negara. Dan kau berada di pemerintahan. Tidak bagus kalau kita berdua sama-sama di pemerintahan.
Di batang usianya yang tidak lagi muda, Amien Rais tetap konsisten menjalankan kerjanya sebagai oposisi. Kendatipun ia akan dibenci dan ditinggalkan oleh orang orangnya. Yakinlah rakyat akan terus bersamamu di saat politisi-politisi lain hampir seluruhnya telah berkompromi dengan negara. Akhirnya, sebagai seorang kader Muhammadiyah yang mengagumi sosok Amien Rais, saya mengucapkan: Selamat milad yang ke-76 ayahanda. Semoga selalu konsisten meniti jalan sunyi.