IBTimes.ID – Tidak ada bedanya dari produk sains dan teknologi, rupanya pemahaman atau penafsiran agama mengalami disrupsi juga, sebutlah mengalami semacam gegar budaya. Ketika pemahaman atau penafsiran keagamaan berada di tengah pusaran perubahan sosial-ekonomi-politik-budaya-teknologi yang dahsyat ia kehilangan daya kesetimbangan (al-tawazun), fleksibilitas (cognitive flexibility) atau elastisitas dan daya lenturnya, maka ia akan akan mudah terjebak dan terseret ke dalam pusaran arus disrupsi.
Fenomena disrupsi dapat terlihat pada sikap emosional, mudah tersinggung, intoleran, conservative turn, sumbu pendek, aliran keras dalam memahami agama, tafsir tunggal, despotic interpretation, moral monism, takfiri, jihadi, dan seterusnya. Para peneliti sosial keagamaan membuat pentahapan ketidak-fleksibilitas dalam beragama dari konservatif, intoleran, ekstrim, radikal sampai berujung pada terorisme.
Hal ini disampaikan oleh Prof Amin Abdullah dalam Seminar Nasional Munas Tarjih yang digelar pada Sabtu (5/12). Selain Prof Amin Abdullah, Prof Din Suamsuddin dan Prof Biyanto juga menjadi pembicara dalam seminar ini.
Enam Sinyal Arah Pembentukan Moderasi Beragama
Ia menyebutkan bahwa para peneliti Muslim kontemporer memberikan enam sinyal ke arah pembentukan sikap moderasi beragama dan sekaligus sebagai fundasi tindakan praksis moderasi dalam kehidupan.
Keenam elemen tersebut saling terkait antara satu dan lainnya, yaitu (1) Perlunya mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini. (2) Mengkombinasikan kesarjanaan dan pendidikan Islam tradisional (al-Turats; ‘Ulum al-Diin) dengan pemikiran dan pendidikan modern (al-hadatsah; al-tajdid) yang meliputi sains, sosial dan humaniora.
(3) Perlunya fresh ijtihad dan metodologi baru dalam berijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer. (4) Berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi, dan sains dan teknologi harus tergambar jelas dan terrefleksikan dalam hukum Islam.
(5) Dalam pendekatan kajiannya tidak mengikutkan dirinya dengan mudah terjebak pada dogmatisme atau madzhab hukum dan teologi tertentu. (6) Meletakkan titik tekan pemikiran dan perjoangannya pada keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi manusia (HAM) dan memprioritaskan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
“Maka corak epistemologi keilmuan Islam dalam pemahaman Muslim kontemporer menuju moderasi beragama berbeda dari corak epistemologi keilmuan Islam tradisional (‘Ulumu al-Diin). Penggunaan metode kesarjanaan-keulamaan dan epistemologi tradisional masih tetap ada dan diperlukan, dimana nash-nash al-Qur’an menjadi titik sentral berangkatnya (hadharah al-nash; Bayani; leksikal-lughawiyyah), tetapi metode penafsiran dan pemahamannya harus didialogkan, dikawinkan, diintegrasikan dan dikontekskan dengan realitas lokal dan regional, dan bahkan internasional,” jelasnya.
Implementasi Manhaj Bayani, Burhani, dan ‘irfani
Menurutnya, dalam konteks topik dan tema moderasi beragama untuk Indonesia berkemajuan, implementasi manhaj tersebut dalam praktik dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Pola Bayani
Amin Abdullah menjelaskan bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an (fundational text of al-Qur’an), yang dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan pola pikir moderasi keberagamaan dalam konteks Indonesia berkemajuan dengan tekstur masyarakat muktikultural, multi etnis, multi agama, multi aliran kepercayaan dan multi budaya.
Pola Burhani
Indonesia berkemajuan pada dasarnya adalah perjumpaan dan dialog yang intens antara keberagamaan Muslim Indonesia dengan kemajemukan tradisi dan budaya lokal Nusantara dengan modernitas yang difasilitasi ilmu pengetahuan modern.
Menurut Amin Abdullah, setidaknya, argumen Burhani melibatkan 4 (empat) elemen yang selalu berdialog dalam alam pikir dan diri manusia Muslim Indonesia dalam merawat moderasi keberagamaan. Yaitu budaya dan agama, pendidikan, masyarakat, dan konstitusi.
Pola ‘Irfani
Pria kelahiran Pati ini menyebut bahwa seringkali, gabungan antara pola pikir nalar Bayani (dunia subjektif) dan pola pikir nalar Burhani (dunia objektif) belum mampu menjamin terwujudnya moderasi keberagamaan Indonesia berkemajuan jika persoalan moderasi keberagamaan tidak sampai diturunkan ke dalam hati dan didialogkan dengan hati nurani dan hati sanubari (dunia intersubjektif).
“Dunia intersubjektif adalah dunia praksis akhlak mulia yang termanifestasikan dalam perilaku hidup sehari-hari. Dunia teks (naql) maupun dunia akal (‘aql) hampir-hampir kandas atau tidak ada manfaat dan pengaruhnya sama sekali jika esensi dan substansinya tidak tampak atau tidak termanifestasikan, terimplementasikan, tampak dalam wujud tindakan dan perilaku praktis keagamaan Islam dalam hidup sehari-hari,” tegasnya.
Kendala dan Solusi
Disrupsi dalam banyak lini di era industri 4.0, conservative turn, badai transnasionalisme, dan post truth yang mewujud dalam gerakan populis Islam tidak bisa dihindari. Untuk mengantisipasi dan menavigasinya, paling tidak masih ada 4 hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjaga dan merawat moderasi keberagamaan Indonesia berkemajuan, yaitu Nilai, Visi, Strategi keilmuan dan Pembaharuan manhaj.
Dalam pembaharuan manhaj, Majelis Tarjih dan Tajdid telah melakukannya pada tahun 2000, namun menurut hemat Amin, hal tersebut masih selalu perlu dipupuk dan dicek lagi pada tataran Nilai, Visi dan Strategi keilmuan.
“Tantangan yang jelas ada depan kita adalah mampukah manusia beragama menjaga keseimbangan (al-tawazun), keseimbangan antara sisi al-nur (peradaban tingkat tinggi; damai, harmonis) dan al-dzulumat (peradaban tingkat rendah; konflik, berseteru). Dapatkah manusia beragama berempati dan bersimpati terhadap penganut mazhab dan agama, kelompok, organisasi yang berbeda, tanpa harus kehilangan keyakinan fundamental agamanya? Inilah tantangan dan ujian terberat dalam moderasi keberagamaan Indonesia berkemajuan,” imbuhnya.
Dalam menjelaskan visi, ia menyebut bahwa visi peradaban (ru’yah al-hadharah) bercorak dinamis-dialektis; tidak statis, elastis, lentur dan fleksibel, tidak rigid dan keras. Visi peradaban modern (ru’yah al-hadatsah) ditopang oleh pilar pendidikan dan kesejahteraan. Jika pun sampai perlu ada kata “jihad”, maka jihad yang dipilih adalah jihad li al-muwajahah (fight for).
“Di sini yang diperlukan adalah kesabaran, keuletan, terprogram, bersinambungan, terlembagakan, tidak potong kompas dan menempuh jalan pintas. Bukan jihad yang bersifat li al-mu’aradhah (fight against), yang penuh ketergesa-gesaan, grusa-grusu, tidak sabar, emosional, amarah, tanpa memperhitungkan implikasi dan konsekwensi dari sebuah ucapan dan tindakan,” tutupnya.
Reporter: Yusuf