Perspektif

Amin Abdullah: Epistemologi sebagai Basis Dialog antar Agama

4 Mins read

Prof. Dr. Amin Abdullah merupakan salah satu dari sekian banyak Intelektual Muslim Indonesia yang mempunyai gagasan cemerlang mengenai pengembangan studi agama. Beliau pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta dua periode (2002-2010).

Hasil muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh memberinya amanah sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Amien Rais (1995-2000).

Pada Muktamar ke-44 di Jakarta terpilih menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (2000-2005).

Kiranya penting untuk dikemukakan di sini, epistemologi dan etika dialog agama-agama yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini berangkat dari pandangan Amin Abdullah melalui dimensi penafsiran ajaran Islam terhadap harmonisasi antar pemeluk agama-agama.

Dimensi Normativitas Wahyu dan Dimensi Historisitas Kenabian

Sebagaimana kaidah ushuliyyah yang menyatakan, “metode pendekatan jauh lebih penting dibandingkan materi persoalan” (at-thariqatu ahammu min al-maddah), penting untuk memahami posisi seorang penafsir atau pengkaji agama dalam mendekati ajaran agama, khususnya Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-sunnah.

Meminjam pendapat Amin Abdullah, dalam studi keagamaan terdapat dua pendekatan yang umum digunakan, yaitu pendekatan seorang believer dan pendekatan seorang historian.

Perlu diperjelas terlebih dahulu, dimensi normativitas wahyu dan historisitas kenabian merupakan dua dimensi yang tidak terpisah atau saling terkait satu sama lain. Dimensi normativitas wahyu diyakini bersifat transendental, universal, dan transhistoris.

Dimensi normativitas wahyu dinikmati dan dihayati secara fungsional serta dipegang teguh oleh pemeluk agama Islam.

Dalam hal ini, tauhid merupakan aspek sakral yang diyakini abadi sepanjang zaman (shahih li kulli zaman wa makan). Titik permasalahannya terletak pada penafsiran teks yang dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu seorang penafsir.

Tauhid ditafsirkan dan dikodifikasi oleh para ulama kalam (mutakallimin) hingga sampai pada kita seperti sekarang.

Jika ditilik dalam sejarah perkembangannya, keilmuan kalam atau tauhid tidak lepas dari berbagai macam perdebatan yang menguras tenaga para ulama terdahulu.

Baca Juga  Baru Belajar Agama Jadi Ustadz, Bolehkah?

Inilah kemudian yang kita namakan sebagai dimensi historisitas. Di mana penafsiran ajaran Islam tidak bisa dilepaskan dari aspek ruang dan waktu yang mengitari si penafsir (tarikhiyah).

Seorang believer condong pada sikap mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam yang dianggapnya unik. Pendekatan ini lazim digunakan para agamawan untuk mempertahankan keyakinan mereka, bahkan seringkali bersifat apologetis.

Masalahnya terletak pada kesulitan untuk mengkontekstualisasikan ajaran agama yang diyakini idealistik terhadap realitas empiris yang berkembang terus-menerus.

Begitu pula dengan pendekatan seorang historian atau ilmuwan yang kritis. Pandangannya yang cenderung positivistik mengesampingkan aspek-aspek normativitas agama yang transenden.

Pendekatan yang dipakai untuk memahami agama akan mempengaruhi kesimpulan akhir yang dihasilkan. Dalam hal ini, kita perlu memposisikan diri dalam dua posisi sekaligus, yaitu sebagai seorang believer yang meyakini ajaran-ajaran transenden agama yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang universal, sekaligus sebagai seorang historian yang kritis terhadap hasil penafsiran ulama-ulama terdahulu yang berangkat dari konteks sosial yang lampau, yang tentunya berbeda dengan zaman modern seperti sekarang.

Sikap kritis tersebut membantu kita untuk memahami agama dalam rangka hidup di abad ke-21 ini.

Oleh karenanya, dua pendekatan tersebut membantu kita untuk memetakan dua dimensi penting yang terkandung dalam Islam yang telah berkembang selama ini. Sejak era Rasulullah Saw hingga kini, yaitu dimensi normativitas dan dimensi historisitas.

Memahami dua dimensi tersebut membantu kita untuk menafsirkan ajaran keagamaan dalam konteks masa kini tanpa kehilangan nilai transenden dari wahyu.

Toleransi dan Dialog Antar Agama

Toleransi berasal dari bahasa latin, “tolerantia” yang bermakna kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Menurut Asyraf Abdul Wahhab dalam kitabnya, “Al-tasamuh Al-ijtimai bayn Al-Turats wa Al-Taghayyur”, toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda. Dalam konteks sosial-budaya, toleransi merupakan sebuah keniscayaan, apalagi di Indonesia yang notabene hidup dalam keberagaman budaya dan agama.

Baca Juga  Restitusi: Efek Jera Pelaku Pemerkosa 13 Santriwati

Sekiranya pemahaman atas dimensi normativitas wahyu dan historisitas kenabian membawa kita pada kesimpulan bahwa menafsirkan ajaran Islam pada konteks kekinian bukanlah suatu yang harus disikapi secara monolitik.

Pintu ijtihad selalu terbuka untuk menafsirkan ajaran Islam secara kontekstual. Konteks sosial yang kita hadapi saat ini berbeda dengan konteks sosial yang dihadapi pada masa kodifikasi ilmu kalam (ashr at-tadwin), ketika disharmonisasi agama-agama semakin tajam.

Tentunya, adalah suatu kewajaran apabila kita menafsirkan ulang ajaran Islam untuk mempertahankan harmonisasi di antara pemeluk agama-agama.

Secara ontologis, penafsiran terhadap keselamatan pemeluk agama lain merupakan aspek fundamental dalam membangun hubungan harmonis antara sesama pemeluk agama di Indonesia. Pluralisme dan moderasi beragama menjadi jembatan kita untuk membangun hubungan toleransi dengan pemeluk agama lain yang akan melahirkan benih-benih peradaban yang gemilang.

Lazim diketahui, intoleransi berakar dari pemahaman yang tertutup atau eksklusivisme terhadap ajaran agama. Pada hakikatnya, Islam sama sekali tidak mengandung ajaran diskriminatif terhadap sesama manusia. Namun kita boleh berasumsi, terdapat latar belakang sosial-politik yang mengitari penafsiran eksklusif terhadap ajaran Islam.

Persaingan politik yang begitu terasa pada abad-abad pertengahan ikut membangun konteks penafsiran yang ortodoks atas ajaran Islam. Oleh karenanya, seorang penafsir harus memberikan analisis yang tajam dan kritis terhadap aspek historisitas penafsiran keagamaan.

Setiap agama, begitu pula Islam, mempunyai potensi untuk menjadi eksklusif. Sebab, setiap dari pemeluk agama tersebut ingin mempertahankan keyakinan yang diyakininya masing-masing.

Masalah datang ketika eksklusivisme tersebut menggunakan jalan kekerasan untuk mempertahankan keyakinan yang dianggapnya unik dan universal. Inilah mengapa penafsiran ulang terhadap keselamatan pemeluk agama lain menjadi penting dalam Islam.

Selain itu, eksklusivisme membawa pada sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. truth claim hanya menghasilkan intoleransi yang begitu akut dan tidak dapat menemui jalan keluar, kecuali dengan membangun keselarasan melalui dialog-dialog terbuka antar agama-agama.

Baca Juga  Saat Pintar Agama Identik dengan Lihai Berdalil

Kehidupan kebhinekaan kita perlu memupuk benih-benih kebersamaan dan rasa toleransi untuk membangun negeri ini menjadi lebih baik. Tentu, kebersamaan dan rasa toleransi mustahil diwujudkan tanpa pandangan keagamaan yang bersifat inklusif atau terbuka.

Pemahaman agama seharusnya didasari oleh kesadaran kebhinekaan, bahwasanya setiap orang memiliki cara pandang dan sikap yang berbeda-beda terhadap realitas empiris.

Pemahaman seperti ini membawa kita pada sikap yang toleran, yaitu menerima keragaman pendapat yang ada tanpa meninggalkan ajaran agama yang memang mengajarkan untuk bersikap inklusif dan toleran terhadap sesama.

Untuk memberikan argumentasi yang kuat atas ajaran toleransi dan perlunya membangun dialog antar agama-agama dalam konteks ajaran Islam. Kita harus meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang mengandung ajaran etik terhadap kehidupan umat manusia.

Bukan bermaksud untuk mereduksi kandungan Al-Qur’an sebatas ajaran etis semata, tetapi substansi ajaran Al-Qur’an yang diwahyukan kepada umat manusia mengandung nilai-nilai etik transenden untuk menjalani kehidupan secara harmonis.

Memahami Al-Qur’an sebagai panduan etik atas kehidupan memerlukan penafsiran yang komprehensif, bukannya pemahaman parsial terhadap Al-Qur’an. Pemahaman yang utuh menghasilkan penafsiran-penafsiran keagamaan yang berpihak pada kemanusiaan secara kritis dan jauh dari sikap apologetis.

Kaum muslimin, khususnya di Indonesia, sepatutnya memahami agama sesuai dengan pesan-pesan universal kemanusiaan yang terkandung dalam substansi ajaran Al-Qur’an. Bukan semata-mata menggunakan kacamata legalistik-formalistik sebagaimana yang dihasilkan dari kesimpulan-kesimpulan fiqhiyyah.

Dengan begitu, membangun kesadaran kebhinekaan yang bersandar pada pemahaman utuh terhadap ajaran Al-Qur’an bukanlah suatu yang mengada-ngada. Kasus intoleransi perlu diminimalisir, bahkan dihilangkan, untuk membangun suatu peradaban yang berkemajuan tanpa meninggalkan nilai-nilai ajaran agama-agama sebagai payung moralitas bersama.

Editor: Soleh

7 posts

About author
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UAD. Alumni PP Shohwatul Is'ad Padanglampe' dan MBS Muhiba Bantul. Aktif juga di PK IMM FAI UAD.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds