Dalam kancah pemikiran Islam, perdebatan keabsahan imam salat perempuan bagi jamaah laki-laki belum final. Setidaknya bagi sebagian ulama. Salah satu anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Ustadz Wawan Gunawan misalnya. Ia meyakini bahwa perempuan sah dan boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
Pandangan seperti ini memang diyakini oleh minoritas umat Islam saja. Mayoritas, sebagaimana praktiknya, tetap menganggap bahwa hanya laki-laki yang berhak menjadi imam salat bagi laki-laki. Sehingga, orang-orang yang memiliki pandangan berbeda sering mendapatkan stigma-stigma tertentu. Dewasa ini, perlu keberanian tersendiri untuk mengemukakan pendapat yang berbeda dari pendapat mayoritas.
Salah satu tokoh intelektual Islam yang, tidak hanya berani, namun juga mempraktikkan salat jamaah dengan imam perempuan dan makmum laki-laki adalah Amina Wadud. Praktik salat jamaah yang ia lakukan di Amerika tersebut sempat menghebohkan dunia Islam dan menyita perhatian publik yang luas. Kini, Wadud dikenal sebagai tokoh feminis yang kontroversial.
Biografi Amina Wadud
Wadud lahir di Maryland, Amerika Serikat pada 25 September 1952. Ia merupakan warga Amerika kulit hitam yang beragama Kristen. Ketika menempuh pendidikan di Universitas Pennsylvania, Wadud masuk Islam. Ia menemukan Islam sebagai agama yang mampu membela kaumnya, warga Amerika berkulit hitam. Padahal, ayahnya merupakan seorang pendeta Kristen Protestan.
Di Amerika, ia merasa mendapatkan dua diskriminasi sekaligus. Yaitu diskriminasi sebagai perempuan dan kulit hitam. Ia kemudian merasa Islam bisa menjadi sandaran baru yang menawarkan perhatian, perlindungan, dan penghormatan terhadap perempuan.
Ia lahir dengan nama Mary Teasley. Setelah mualaf, namanya berubah menjadi Amina Wadud Muhsin. Ia juga melanjutkan pendidikan di Universitas Michigan dengan studi Kajian Islam dan Timur Tengah. Di Michigan, ia mulai serius belajar Islam.
Tak puas di Michigan, Wadud bertolak ke Mesir. Tak tanggung-tanggung, ia masuk di tiga kampus ternama di Mesir, yaitu Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Kairo, dan Universitas Amerika yang terletak di kota yang sama.
Di Universitas Amerika ia mengambil studi doktoral Bahasa Arab. Di Al-Azhar, ia mengambil studi filsafat. Sementara di Universitas Kairo ia belajar fikih dan Alquran. Kini, Wadud dikenal sebagai pakar gender dan studi Alquran.
Pada tahun 1989, ia bekerja sebagai asisten dosen studi Alquran di IIUM (International Islamic University Malaysia), Selangor. Tiga tahun kemudian, ia diangkat sebagai guru besar agama dan filsafat di Universitas Persemakmuran Virginia, Amerika. Ia pensiun pada tahun 2008. Setelah itu, ia sempat menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Karya
Salah satu karya Amina Wadud yang populer adalah Quran and Woman: Rereading The Sacred Text from a Woman’s Perspective. Di buku tersebut, Wadud menekankan pentingnya tauhid dalam melihat fenomena sosial.
Di buku tersebut, Wadud membagi tafsir terhadap perempuan menjadi tiga kategori. Yaitu kategori tradisional, reaktif, dan holistik. Kategori tradisional berarti tafsir yang lahir di era klasik. Kategori ini relatif patriarkis karena didominasi oleh penafsir laki-laki.
Kategori kedua, reaktif, dilahirkan oleh sarjana modern. Sayangnya, kelompok kedua ini, menurut Wadud, tidak mampu membedakan antara penafsiran dan teks Alquran. Mereka gagal membedakan produk tafsir dan ayat Alquran itu sendiri.
Kategori ketiga adalah kategori tafsir yang mempertimbangkan semua metode tafsir Alquran. Kategori ini mampu melihat spirit Alquran secara utuh dan komprehensif. Tafsir tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam kehidupan sosial, moral, ekonomi, dan politik.
Selain Quran and Woman, karya Amina Wadud yang lain adalah Inside the Gender Jihad. Quran and Woman telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Terjemahan tersebut diterbitkan oeh Serambi Ilmu Semesta dengan judul Quran Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan.
Pemikiran Amina Wadud
Pada 18 Maret 2005, Amina Wadud memberanikan diri menjadi imam sekaligus khatib ketika salat jumat di New York. Kontroversi yang dihasilkan oleh Wadud tak hanya soal imam, namun juga tempat ia menggelar salat jumat. Ia menggelar salat jumat di Synod House di Gereja Katedral Saint John The Divine.
Keberaniannya menjadi imam dan khatib salat jumat tentu tidak berangkat dari ruang kosong. Hal itu merupakan hasil dari pergumulan intelektual yang ia jalani selama belasan tahun sebelumnya. Ia menafsirkan Alquran melalui hermeneutika.
Wadud mengamini teori double movement dari Fazlur Rahman. Rahman adalah guru dari ‘tiga pendekar Chicago’, yaitu Cak Nur, Buya Syafii, dan Amien Rais. Wadud mengawali perjalanan intelektual dengan membongkar wacana fundamental tentang relasi gender dalam Islam. Metode ini ia sebut dengan hermeneutika tauhid.
Hermeneutika tauhid kemudian menekankan keesaan Allah. Implikasinya, Islam menjadi agama yang mengajarkan kesetaraan umat manusia, tanpa memandang gender, kelas, dan ras. Perempuan dan laki-laki hanya dibedakan oleh tingkat taqwa saja.
Dengan penafsiran itu pula, Wadud menolak segala tafsir yang bersifat misoginis. Tafsir misoginis, menurutnya, tidak sesuai dengan spirit kesetaraan yang menjadi nilai universal Alquran. Bukan hanya tidak sesuai, namun cenderung bertentangan secara diametral.
Melalui keberanian untuk mendobrak pemahaman misoginis dan patriarkis dalam agama Islam, apa yang telah dilakukan oleh Wadud, oleh pendukungnya, dianggap sebagai model a jihad for justice. Keberaniannya menjadi imam dan khatib salat jumat di New York diikuti oleh tokoh-tokoh feminis lain. Anntara lain Sherin Khankan di Kopenhagen dan Seyran Ates di Berlin.
Dalam hal ini, ia merujuk kepada hadis yang bercerita bahwa Ummu Waraqah pernah menjadi imam salat, di mana para sahabat laki-laki menjadi makmumnya. Dalil ini menjadi landasan bagi tokoh-tokoh yang menganggap bahwa perempuan boleh menjadi imam salat dari laki-laki.