Tafsir

Amina Wadud: Perempuan Bukan Makhluk Inferior!

3 Mins read

Amina Wadud adalah salah satu tokoh wanita yang kontroversial dan populer kelahiran 25 September 1952 di Kota Bethesda, Maryland, Amerika Serikat. Wadud mengkaji Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan hermeneutika. Salah satu perbincangan Wadud adalah kata-kata dan istilah yang bersangkutan dengan jenis kelamin. Ia juga membantah hal yang dianggap universal dalam arti berlaku di mana pun dan kapan pun. Wadud menggunakan metode penafsiran yang diajukan Fazlur Rahman.

Wadud mempertanyakan mengapa Al-Qur’an secara khusus menyebut pria dan wanita dalam suatu keadaan tertentu (pria-pria yang beriman dan wanita-wanita yang beriman).

Sementara dalam keadaan yang lain, Al-Qur’an menggunakan istilah yang netral, hai orang-orang yang beriman (jamak muzakkar). Menurutnya, penunjukan kepada kaum pria dan wanita secara setara, sementara fungsi Al-Qur’an adalah sebagai weltanschauung atau pandangan hidup.

Amina Wadud: Wanita Pernah Dianggap Inferior

Amina Wadud menantang pendapat bahwa pria di masa tertentu pernah setuju bahwa wanita adalah makhluk yang inferior dan tidak setara dengan kaum pria.

Sehingga berpengaruh terhadap kedudukan wanita dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan meyakini bahwa ada perbedaan yang esensial antara pria dengan wanita dilihat dari cara penciptaannya, kapasitas, dan fungsinya dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang dirujuk menggambarkan wanita adalah makhluk yang lemah, inferior, mewarisi kejahatan tidak mempunyai kemampuan intelektual, dan lemah dibidang spiritual. Artinya, wanita tidak pantas punya jabatan dan peranan berbagai bidang dalam masyarakat.

Sedangkan, pria dianggap sebagai makhluk superior dan lebih penting dibanding wanita yang mewarisi kepemimpinan, dan memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan wanita. Laki-laki dianggap lebih bebas memilih dalam penggerakan, pekerjaan, dan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.

Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan antara pria dan wanita berfungsi dengan cara mencerminkan dengan baik oleh kebudayaan tempat berada. Tetapi, Al-Qur’an tidak mengusulkan atau mendukung peran tunggal atau definisi tunggal mengenai seperangkat peran bagi setiap jenis kelamin dalam setiap kebudayaan.

Baca Juga  Komaruddin Amin: Peran Strategis Ulama Perempuan dalam Kebangsaan

Wadud membahas pandangan Qur’an mengenai wanita dewasa ini dan memberikan pertanyaan. Apa signifikansi peran wanita ini dalam suatu masa dan keadaan di mana mereka hidup sehingga namanya disebutkan dalam Al-Qur’an?

Apa peran dan nama para wanita ini disebutkan dalam Al-Qur’an dikhususkan dalam kaum muslimah yang menelaah Al-Qur’an saja, atau untuk siapa saja Al-Qur’an ditelaah dalam rangka fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk?

Tiga Kategori Peran Wanita

Peranan wanita dapat digambarkan digolongkan menjadi tiga kategori.

Pertama, peran yang menggambarkan konteks sosial, budaya, dan historis di mana individu wanita itu hidup tanpa disertai pujian atau kecaman dalam isi ayatnya.

Kedua, peran yang bisa diterima secara universal sebagai suatu fungsi wanita (misalnya menyusui dan merawat bayi), di mana perkecualian bisa dibuat dan bahkan telat dibuat dalam Al-Qur’an sendiri.

Ketiga, peran yang tidak berkaitan dengan jenis kelamin, yaitu usaha manusia di muka bumi.

Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, “Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS. 28: 7)

Awal ayat ini berbicara dengan sangat halus kepada ibu Musa, anaknya akan dihanyutkan dan akan dikembalikan kembali, serta anak ini akan dijadikan seorang rasul.

Meskipun anak ini hidup dalam ancaman Fir’aun, yang mana setiap Yahudi yang melahirkan, anaknya akan dibunuh, tetapi anaknya selamat dengan pernyataan Allah.

Pengembalian anak sehingga ia disusukan oleh ibunya sendiri, Allah menghapuskan kecemasan ibunya Nabi Musa mengenai nasib anaknya. Kisah yang menceritakan Nabi Musa yang telah menerima wahyu memperlihatkan bukan saja pria saja yang menerima wahyu, akan tetapi wanita juga menerima wahyu. Kisah ibu Musa memperlihatkan bahwa wanita memang berbeda dalam sejumlah aspek.

Baca Juga  Tawakal, Etos Hidup Minimalis

Kisah Para Wanita dalam Al-Qur’an

Wanita yang disebutkan Al-Qur’an selanjutnya adalah Maryam. Ia merupakan satu-satunya wanita yang disebutkan dalam Al-Qur’an lengkap dengan namanya dan dijadikan salah satu surat.

Nabi Isa diciptakan dalam rahim Maryam bukan dengan proses yang normal secara biologis. Akan tetapi, dengan mukjizat ia disebut dengan putra Maryam. Berdasarkan perspektif Al-Qur’an, Isa bukanlah anak Tuhan. Maryam disebut dengan panggilan penghormatan saudara perempuan Harun.

Al-Qur’an mengklarifikasikan Maryam salah seorang qonitin dengan menggunakan kata berbentuk jamak maskulin yang menunjukkan seorang yang beriman di hadapan Allah.

Hal ini tidak menggunakan jamak feminin, adalah menekankan pentingnya Maryam sebagai salah satu contoh bagi seluruh yang beriman. Baik pria maupun wanita, bahwa kebaikan Maryam tidak dibatasi dengan jenis kelamin.

Wanita selanjutnya adalah Balqis atau Ratu Sheba. Balqis adalah seorang ratu yang memerintah suatu bangsa, namun kebanyakan kaum muslimin menganggap kepemimpinan sangatlah tidak patut dipikul wanita.

Al-Qur’an tidak mengatakan ketidakbolehan wanita menjadi pemimpin, akan tetapi kisah ini menceritakan kepemimpinan perempuan dan menyinggung soal praktik politik dan agama.

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk,” (QS. 27: 23-24)

Kisah Ratu Balqis menggambarkan politiknya dengan mengirim hadiah ketimbang memperlihatkan kekuatan yang kasar sebagai politik feminin, pandangan Amina Wadud bahwa Balqis memiliki pengetahuan politik damai sekaligus pengetahuan spiritual pesan unik dari Nabi Sulaiman.

Hal ini menunjukkan bahwa Balqis mempunyai kemampuan independen untuk memerintah secara bijaksana. Serta bisa diatur dengan masalah spiritual, adanya kebebasannya politik daripada norma penasehat (pria) di sekitarnya, dengan kebebasan dengan menerima kebenaran Islam daripada norma-norma kaumnya.

Baca Juga  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (1): Masterpiece Milik Al-Tabataba’i

Editor: Zahra

Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds