Tafsir

Tafsir bi’l-Ma’tsur & bi’l-Ra’y: Penggolongan yang Ideologis!

2 Mins read

Tulisan ini mempunyai kaitan dengan 2 tulisan saya sebelumnya, bagi yang belum membacanya, silahkan klik di sini dan di sini.

Kegunaan metode tafsir Qur’an bi’l-Qur’an (TQQ) sebenarnya diakui para mufasir dari berbagai aliran dan sekte. Dalam pengantar “The Qur’an with Cross-References”, saya melacak pernyataan sejumlah ulama yg menempatkan metode TQQ sebagai yang paling utama.

Namun, baru pada periode modern (sejak abad ke-18) mereka menulis kitab tafsir yang secara eksplisit menggunakan metode tersebut, diawali oleh Ibn Amir dalam tafsir Mafatih al-ridwan-nya.

Menjamurnya Tafsir Qur’an bi’l-Qur’an

Pada abad 20, kitab TQQ menjamur dan menarik perhatian para peneliti Muslim. TQQ yang paling disukai mahasiswa (terlihat dari karya disertasi dan tesis) ialah Adwa’ al-Bayan, karya Syinqiti. Saya menemukan 9 disertasi doktoral dan 14 tesis Master telah ditulis oleh mahassiwa di Timur Tengah tentang Adwa’ al-Bayan.

Selain Adwa’ al-Bayan, ada 13 kitab TQQ yg sudah saya lacak dan pelajari untuk kepentingan menyusun al-Qur’an dengan referensi silang. Jadi, memang ada semacam excitement terhadap TQQ ini.

Bagian dari dinamika TQQ ialah munculnya kontroversi atas sebagian karya tafsir yang sepenuhnya mengembangkan TQQ dan mengabaikan sumber di luar Qur’an, termasuk hadis.

TQQ yang kontroversial itu dianggap mengabaikan tradisi, atau penggunaan pendapat ulama-ulama terdahulu yang dianggap otoritatif.

Juga, perlu dicatat, kontroversi tersebut memberikan pelajaran penting: dikotomi tafsir berbasis tradisi (tafsir bi’l-ma’tsur) dan tafsir berbasis akal (tafsir bi’l-ra’y) tampak tidak lagi memadai untuk memetakan perkembangan tafsir modern.

Tafsir Qur’an bi’l-Qur’an, Tafsir bi’l-Ma’tsur atau bi’l-Ra’y

Apakah TQQ termasuk tafsir bi’l-ma’tsur atau tafsir bi’l-ra’y? Orang berbeda pendapat soal itu. Ibn Taimiyah berpendapat, sepanjang mengikuti prosedur TQQ, setiap tafsir bisa digolongkan tafsir bi’l-ma’tsur kendati menggunakan ta’wil.

Pandangan ini diikuti oleh banyak ulama belakangan, seperti Zarqani, Dzahabi, Manna’ Qaththan, hingga Abdullah Saeed.

Baca Juga  Tafsir Kebangsaan: Nilai-Nilai Persatuan dan Keberagaman

Sebagian ulama lain menggolongkan TQQ sebagai tafsir bi’l-ra’y, karena menentukan ayat mana yang akan digunakan untuk menjelaskan ayat tertentu membutuhkan pemikiran dan keputusan subyektif.

Bahkan, jika menggunakan tafsir awal sebagai basis menentukan referensi silang, proses seleksi itu sendiri melibatkan penalaran.Saya pikir tak ada tafsir yang sepenuhnya bersandar pada tradisi, sebagaimana tak ada tafsir yang juga semata berbasis penalaran.

Selalu ada overlaps atau tumpang-tindih di antara keduanya. Hal semacam ini sudah diamati oleh banyak pakar tafsir, seperti Walid Saleh yang saat ini mengajar di Toronto, Kanada.

Prof. Walid Saleh bahkan berargumen secara meyakinkan bahwa pembagian tafsir ke dalam tafsir bi’l-ma’tsur dan tafsir bi’l-ra’y itu sendiri bersifat ideologis, karena dimaksudkan untuk (saya kutipkan langsung) “consolidating the mainstream Sunni interpretive tradition and undermining the non-Sunni approaches as well as deviant Sunni interpretations…. Most of the tafsir bi’l-ma’thur is in reality a tafsir bi’l-ra’y.” Artinya, dikotomi itu dimunculkan untuk mendiskeditkan penafsiran yang berbeda dari tafsir mainstream yang tradisional.

***

Tafsir non-traditional dituduh berbasis kemauan personal dan khayalan, dan karenanya dianggap tidak valid. Padahal, kata Walid, sebagian besar tafsir bi’l-ma’tsur pun sebenarnya berbasiskan penalaran dan akal.

Para eksponen tafsir bi’l-ma’tsur kerap-kali menyitir hadis yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal, maka ia tetap salah walaupun tafsirnya benar.

Saya tidak tahu status ke-sahih-an hadis ini dari segi transmisi. Tapi, walaupun sahih, saya tidak percaya Nabi akan mengatakan hal semacam ini (Dalam hal ini saya menggunakan prinsip yang dikembangkan Khaled Abou el-Fadl, “faith-based assumption.”).

Secara praktis, saya merasakan keterbatasan dikotomi tafsir bi’l-ma’tsur dan tafsir bi’l-ra’y itu ketika menyiapkan “The Qur’an with Cross-References,” yang saya kerjakan bertahun-tahun.

Baca Juga  Hustle Culture, Bagaimana Al-Qur’an Memandangnya?

Betul, saya mengambil banyak manfaat dari karya TQQ yang sekarang tersedia. Namun, pada akhirnya, saya-lah yang menentukan secara subyektif ayat-ayat mana yang akan dijadikan referensi silang untuk ayat yang saya baca atau ingin pahami.

Tulisan ini pernah diunggah di laman Facebook Mun’im Sirry dan mendapat persetujuan untuk disunting dan diterbitkan kembali di website IBTimes.ID

Editor: Yahya FR

Mun'im Sirry
4 posts

About author
Mun’im Sirry is assistant professor of theology at Notre Dame University with additional responsibilities for the Contending Modernities research project. He earned his Ph.D. from the University of Chicago Divinity School (2012).
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *