Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 4 (5) dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Menurut H.A.R. Tilaar (1999), membaca sesungguhnya adalah pondasi dari proses belajar. Masyarakat yang gemar membaca (reading society), lanjut Tilaar, akan melahirkan masyarakat belajar (learning society), karena membangun perilaku dan budaya membaca adalah kunci untuk membangun masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society) yang berbasis pada pengembangan kualitas sumber daya manusia. Artinya, kualitas sumber daya manusia dapat dikatakan berbanding lurus dengan aktivitas membacanya.
Pendidikan yang berperan mengembangkan budaya membaca masyarakat tentu harus melalui proses bertahap. Budaya membaca perlu ditanamkan kepada individu manusia sedini mungkin. Maka, sejak jenjang pendidikan dasar, membaca tidak terlepas dari kegiatan belajar mengajar. Membaca merupakan keniscayaan bagi anak dalam aktivitas belajarnya. Bahkan, semua proses belajar didasarkan pada proses membaca.
Membaca Aktivitas Wajib yang Ditinggalkan
Sesungguhnya banyak yang harus dibaca oleh anak. Di sekolah, buku paket pelajaran menjadi buku panduan anak dalam memahami mata pelajaran. Anak juga perlu membaca bahan bacaan lain untuk memperkaya ilmu, wawasan, keterampilan, dan kecakapan hidup. Apalagi di era kemajuan teknologi informasi saat ini, sumber belajar begitu luas.
Namun demikian, ada perkara krusial yang menjadi kegelisahan. Diakui atau tidak, minat membaca anak di Indonesia masih terbilang rendah. Sisi minat membaca saja rendah, apalagi kegemaran membaca. Karena untuk membuat aktivitas membaca menjadi suatu kegemaran, hal yang terlebih dahulu harus dimiliki adalah minat membaca.
Sebagaimana dinyatakan Mudjito (dalam Rahma Sugihartati, 2010), sebagian besar anak Indonesia baru sampai pada taraf gemar mendengarkan atau melihat, belum gemar membaca. Diperkirakan hanya sekitar 10% anak Indonesia tergolong kelompok gemar membaca. Sekitar 90% disinyalir masih enggan dan belum memiliki budaya gemar membaca, karena faktor lingkungan yang tak mendukung atau karena kesulitan mengakses buku-buku yang dapat mereka baca.
Dalam penelitian Rahma Sugihartati terhadap anak-anak di perkotaan berkaitan dengan alokasi pemanfaatan waktu luang untuk membaca, sebagian besar anak (72%) melakukan kegiatan membaca tak sampai 1 jam per harinya. Membaca buku atau majalah belum dilihat sebagai kegiatan menyenangkan. Anak-anak lebih suka menonton televisi atau bermain permainan elektronik (Rahma Sugihartati, 2010).
Rendahnya Kemampuan Membaca Anak
Rendahnya minat dan kegemaran membaca ini berdampak pada kemampuan membaca. Mengutip hasil studi Vincent Greanary, Bank Dunia (World Bank) melaporkan kemampuan membaca anak kelas 6 SD di Indonesia. Indonesia mendapatkan nilai 51,7 yang berada di urutan paling akhir setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5) (Rahma Sugihartati, 2010, Prembayun Midji Lestari, 2008).
Selain itu, sebagaimana diberitakan Kompas (2/7/2003), hasil penelitian tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan bahwa kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia memprihatinkan (Rahma Sugihartati, 2010).
Cara Memperbaiki Minat Baca Anak
Dari data tersebut, agar anak memiliki kemampuan membaca sepertinya membutuhkan usaha keras. Namun, menurut penulis, minat dan kegemaran membaca perlu ditumbuhkan terlebih dahulu. Kemampuan membaca akan terbentuk apabila minat dan kegemaran membaca telah dimiliki anak.
Minat membaca merupakan kecenderungan anak dalam melakukan aktivitas membaca dengan perasaan senang, disertai ketertarikan, dan dilakukan secara sukarela yang didasari pemahaman adanya manfaat yang diperoleh dari aktivitas membaca tersebut bagi dirinya. Yang dimaksud membaca adalah memperoleh informasi dan pengetahuan dari sumber bacaan untuk menunjang proses belajar dan mengembangkan kecakapan hidup.
Seiring berkembangnya dunia internet dan digital, bahan bacaan tak melulu dari lembaran kertas. Kemajuan zaman yang tidak mungkin terbendung ini tetap saja menghendaki kemampuan membaca. Menurut penulis, sebelum memasuki dunia internet dan digital, budaya membaca anak terlebih dahulu harus dikuatkan lewat bahan-bahan bacaan bermutu.
***
Setelah memiliki kegemaran membaca, anak perlu dilatih membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, membaca evaluatif, membaca analitis, dan membaca reflektif. Anak harapannya bisa mencari sumber informasi tepercaya dan akurat dari jutaan laman di internet.
Ajip Rasidi (1983) pernah berkata, “Kegemaran membaca itu harus dididik, harus ditanamkan kepada orang-orang sejak kecil, sejak mereka masih kanak-kanak, ketika masih duduk di sekolah, sejak dari taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai sekolah lanjutan dan seterusnya. Kalau mereka tak dibiasakan gemar membaca sejak kecil, tidak dibiasakan akrab dengan buku, maka besar kemungkinan setelah dewasa pun tetap takkan gemar membaca.”
Pihak keluarga adalah tempat pertama persemaian budaya membaca. Bahkan, penumbuhan kegemaran membaca ini bisa dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Membacakan bahan bacaan sejak anak dalam kandungan sampai duduk di bangku TK berdampak positif bagi pembentukan kemampuan membaca anak.
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa 4.000-12.000 kosakata baru bisa didapatkan seorang anak dalam satu tahun melalui buku-buku yang dibacakan untuknya (H Witdarmono, 2006). Artinya, ada sekitar 24.000-72.000 kosakata dimiliki anak ketika menginjak usia 6 tahun.
Penguasaan kosakata merupakan salah satu modal penting membentuk kemampuan dan kegemaran membaca. Menurut Fuad Hassan (2004), orangtua bisa membacakan dongeng atau cerita kepada anaknya sebagai pengantar tidur (bedtime stories). Meskipun anak belum bisa membaca sendiri, budaya membaca anak telah terbangun ketika orangtua melakukan hal tersebut.
Daoed Joesoef (2004) pernah berujar, “…budaya baca harus dimulai dari rumah, sedini mungkin. Membaca harus dibiasakan oleh orangtua pada anak-anak begitu rupa sehingga hal itu lama-kelamaan dirasakan sebagai kebutuhan tersendiri yang perlu dipuaskan, sama halnya dengan kebutuhan akan makan dan minum.” Orangtua perlu memberikan dorongan dan motivasi agar anaknya memiliki minat dan kegemaran membaca.
Peran Sekolah dalam Memperbaiki Minat Baca Anak
Selain pihak keluarga, pihak sekolah hendaknya mendorong, menumbuhkan, dan memelihara minat membaca anak. Dukungan lingkungan sekolah perlu diupayakan, sehingga anak terkondisikan untuk aktif membaca. Keberadaan perpustakaan sekolah selayaknya diperhatikan, baik dari segi bangunan maupun ketersediaan bahan bacaan. Anggaran pengadaan buku juga diprioritaskan, bahkan bisa menjalin kerja sama dengan penerbit buku-buku anak.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru tidak berkutat dengan ceramah. Guru bisa memberikan tugas membaca sesuai materi yang diajarkan. Anak diminta untuk menceritakan apa yang dibacanya atau menyusun tulisan dari apa yang dibacanya. Guru bisa mencari bahan bacaan lain di luar buku paket pelajaran. Adanya informasi dan pengetahuan yang menarik cenderung memikat anak. Anak memahami luasnya pengetahuan dan semua itu bisa didapatkan dari membaca.
***
Pihak keluarga dan sekolah berperan penting menumbuhkan minat dan kegemaran membaca anak. Jika usia dini merupakan masa emas (golden age), pembiasaan membaca selayaknya juga diperhatikan. Orangtua dan guru hendaknya memberikan keteladanan gemar membaca, menumbuhkan kecintaan anak terhadap bahan-bahan bacaan, dan mengajak anak rajin menyambangi perpustakaan sebagai “tempat wisata” yang menyenangkan.
Sejarah mengajarkan bahwa kemajuan peradaban bangsa dibangun dari tradisi membaca masyarakat-bangsanya. Mulai saat ini, kita akan menuntun setiap anak untuk gemar membaca, sehingga melahirkan masyarakat belajar (learning society) dan masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society) Anak-anak di rumah kita, di sekolah kita, di lingkungan masyarakat kita. Wallahu a’lam.