Program for International Student Assessment (PISA) menyebut ada 41% siswa di Indonesia menjadi korban perundungan (bullying). Angka yang cukup tinggi. Termasuk di dalamnya yang sering menderita perundungan adalah anak-anak difabel.
Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang punya banyak amal usaha di bidang pendidikan, mesti memerhatikan betul hal ini. Jangan sampai ada (lagi) oknum siswa yang melakukan perundungan pada siswa lainnya. Apalagi jika yang dirundung adalah siswa difabel.
***
Dalam sejarahnya, pernah ada sekolah Muhammadiyah yang hampir tutup, namun diselamatkan oleh seorang anak difabel. Sekitar tahun 80-an, SD Muhammadiyah Gantong yang pada tahun sebelumnya hanya mendapat 11 siswa. Jika tahun ajaran baru mereka tidak bisa mendapatkan 10 siswa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan akan menutup SD Muhammadiyah ini.
Tentu penutupan sekolah bukan sesuatu yang diharapkan. Sekolah ini sudah ada sejak 1929, dirintis oleh KH Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin. Inilah sekolah Islam pertama di Belitung. Bahkan, mengutip suaramuhammadiyah.id, Muhammadiyah sudah ada di Belitung sejak 1924, diresmikan oleh KH Fakhruddin.
Jam menunjukkan sudah hampir jam 11 siang. Jumlah siswa yang mendaftar baru sembilan orang. Pak Harfan sebagai kepala sekolah SD Muhammadiyah Gantong memberi batas pendaftaran hingga pukul 11. Jika lebih dari itu, dia akan memberikan sambutan sekaligus menyampaikan penutupan sekolah, yang naskahnya diam-diam sudah dia siapkan.
Anak-anak yang sudah mendaftar ditemani orang tuanya duduk berbaris di sebuah bangku panjang. Bu Muslimah, guru di sekolah itu, tampak cemas berat. Pak Harfan menyalami para orang tua satu per satu. Mereka semua tidak dapat menyembunyikan kesedihan.
Ketika pak Harfan akan memulai sambutan, dari kejauhan tampak seorang anak berlari-lari dengan kaki agak menyilang. Di belakangnya, tampak ibunya kelelahan mengejar anak itu. Namanya Harun, seorang anak yang mengidap down syndrome atau difabel, yang akhirnya terpaksa didaftarkan ke SD Muhammadiyah Gantong. Menurut ibunya, Sekolah Luar Biasa (SLB) terlalu jauh dan mereka tidak punya biaya.
Andrea Hirata mengemukakan tiga alasan kenapa orang tua menyekolahkan anaknya di Muhammadiyah. Pertama, sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apapun. Mereka boleh menyumbang sukarela semampunya. Kedua, karena punya firasat anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah dirayu Iblis sehingga harus mendapat pendidikan Islam yang tangguh sejak dini. Ketiga, memang mereka tak diterima di sekolah manapun. Harun, bisa jadi masuk ke semua kategori tersebut.
SD Muhammadiyah Gantong di tahun ajaran itu genap memiliki 10 orang murid. Sembilan murid yang tadinya bersedih, nasib pendidikannya berada di ujung tanduk, mendadak bersemangat karena harapan mereka bersekolah kembali terbuka.
Dalam sebuah wawancara dengan kompas.com tahun 2013, bu Muslimah menyampaikan bahwa pendidikan anak down syndrome tidak boleh dibedakan dengan anak normal lainnya. Dia sangat menghargai Harun dan mewanti-wanti anak lain agar jangan merundungnya.
Harun bukan hanya menyelamatkan SD Muhammadiyah Gantong dari ancaman penutupan, tapi juga membuka kisah hebat tentang perjalanan 10 anak yang kita kenal dengan nama Laskar Pelangi. Akankah ada kisah Laskar Pelangi jika harun tak mendaftar ke SD Muhammadiyah?
Garis takdir Allah menuntun novel Laskar Pelangi -sebuah masterpiece dari Andrea Hirata- meledak di pasaran, diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, diadaptasi ke layar lebar, meningkatkan pariwisata Belitung, serta membuat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Belitung terlihat lebih sibuk.
Tidak berlebihan, satu nama yang memberikan sumbangsih besar pada rentetan kisah sukses Laskar Pelangi adalah seorang anak difabel bernama Harun.
***
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah baru-baru ini tengah menyusun Fikih Difabel. Alimatul Qibtiyah, mengutip dari laman muhammadiyah.or.id, menerangkan bahwa draft Fikih Difabel ini di antaranya akan mengurai soal pandangan Islam dan kebijakan umum tentang difabel. Selanjutnya, soal pemenuhan hak dan perlindungan difabel. Lalu tentang pedoman ibadah perspektif difabel, dan terakhir soal persoalan pelayanan difabel dan solusinya.
Saya berharap produk fikih yang berkemajuan ini bisa terdistribusikan dengan baik hingga ranting-ranting, sehingga aktivis Muhammadiyah punya perspektif yang sama terkait pemenuhan hak-hak penyandang difabel. Sebagaimana Harun pernah menyelamatkan SD Muhammadiyah dari penutupan, kita pun harus menyelamatkan penyandang difabel dari stigma dan perlakuan buruk.
Editor: Arif