Dalam Pasal 272 KUH Perdata, dijelaskan bahwa setiap anak yang dilahirkan diluar nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui. Disamping itu juga dapat dipisahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau anak sumbang.
Adapun yang dimaksud dengan anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan wanita yang dilarang kawin antara keduannya (melanggar darah). Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki dan wanita tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina.
Lalu bagaimana hubungan dan kedudukan hukum antara anak hasil hubungan zina dengan ayah dan ibunya ? Apakah mendapat juga hak-haknya dalam hukum Islam dan hukum positif di Indonesia ?Â
Pelaku Zina
Hubungan tersebut tanpa dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka beristri atau duda. Secara istilah, para fuqaha mendefinisikan zina adalah memasukan dzakar ke dalam faraj yang bukan istrinya, bukan campur secara subhat dan menimbulkan kenikmatan. Sedangkan menurut Taqiyudin dalam Kifayatul Akhyar, menjelaskan batasan zina yang mewajibkan had adalah memasukan minimal hasafah dzakar ke dalam faraj yang diharamkan.
Ada dua istilah bagi pelaku zina, yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Yang dimaksud zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah. Sedangkan zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah. Islam memandang bahwa perbuatan zina ghairu muhsan yang dilakukan oleh gadis atau jejaka sebagai perbuatan yang tidak wajar, melainkan tetap menganggapnya sebagai zina yang harus dikenakan hukuman (had) zina.
Hanya kuantitas dan frekuensi hukuman antara zina muhsan dan ghairu muhsan ada perbedaan. Bagi muhsan hukumannya di rajam sampai mati, sedangkan bagi ghairu muhson hukumannya dicambuk seratus kali. Adapun syarat-syarat seorang dapat dikategorikan muhsan adalah baligh, berakal, merdeka, dan terdapatnya senggama dalam nikah yang sah.
Islam melarang keras perbuatan zina bahkan memberikan sanksi yang tegas terhadap yang melakukannya sebagaimana firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk“ (QS sl-Isra’ : 23).
Ayat diatas melarang untuk mendekati segala perbuatan perzinaan. Perbuatan zina kemungkinan besar dapat terjadi apabila melakukan pendahuluannya, seperti memegang-megang, memeluk, mencium dan sebagainya. Zina merupakan perbuatan yang terkutuk, manusia yang normal dan sadar kedudukannya sebagai manusia pasti akan berpendapat bahwa seks bebas merupakan perbuatan terkutuk.
Adapun orang yang pernah menikah atau sedang bersuami/beristri, hukumannya lebih berat lagi yaitu dirajam sampai mati (Sayid Sabiq, 1980). Hal ini disebabkan orang yang berzina muhsan itu pernah merasakan jimak dalam pernikahan yang sah dalam kondisi merdeka, baligh dan berakal (Tafsir Ibnu Katsir: 6/4).
Akibat Negatif Zina
Islam memandang Zina sebagai tindak pidana (jarimah) yang sudah ditentukan sanksi hukumannya (had zina). Ketentuan ini sudah pasti mempunyai tujuan. Salah satu tujuannya adalah agar manusia tidak terjerumus kepada perbuatan terkutuk, dimurkai Allah dan bertentangan dengan akal sehat.
Dalam bukunya Sayid Sabiq Fiqh Sunnah memberikan alasan dijadikan zina sebagai tindakan pidana, yaitu; Pertama, zina dapat menghilangkan nasab dan secara otomatis menyia nyiakan harta warisan ketika orangtuanya meninggal. Kedua, zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya kepada yang melakukannya dan anaknya. Ketiga, zina merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan, karena rasa cemburu merupakan rasa yang ada pada semua umat manusia. Keempat, zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan eksistensinya. Kelima, zina hanya sekedar hubungan yang sementara, tidak ada masa depan dan kelanjutannya.
Hubungan Seks Diluar Nikah
Ada perbedaan yang tajam antara hukum Islam dan hukum Positif dalam menanggapi hubungan seks diluar nikah. Maka dapat disimpulkan dalam analisis Pasal 272 KUH Perdata bahwa hubungan seks yang dilakukan diluar nikah oleh seorang gadis atau jejaka tidak dianggap sebagai zina. Karena itu anak yang lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui sebagai anak yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai anak yang sah.
Hal ini berarti bahwa zina adalah hubungan seks yang dilakukan diluar nikah oleh mereka yang sudah bersuami atau beristri. Konsekuensi yuridis dari pengertian zina ditinjau dari segi hukum Pidana bahwa yang dapat dihukum hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah beruami atau beristri. Sedangkan mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis atau jejaka tidak dikenai hukuman pidana (Pasal 284)
Status Anak Luar Nikah
Menurut pendapat Hassanain, anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah (Hassanain Makluf, 1976). Apabila telah terjadi perkawinan antara suami-istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu, jika istri melahirkan anak sebelum cukup masa kehamilannya.
Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian
Jumhur fuqaha memberikan batas minimal masa kehamilan. Yakni, selama enam bulan berdasarkan pada ayat (al-Ahqaf: 15) yang menjelaskan secara kumulatif jumlah mengandung dan menyapih yaitu 30 bulan. Sedangkan dalam surat Luqman ayat 14 dijelaskan batas maksimal menyapih adalah dua tahun (24 bulan). Jadi, masa mengandung yang paling sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24 bulan yaitu 6 bulan
Disisi lain, batas maksimal masa kehamilan menurut Imam Malik adalah 5 tahun. Imam Syafi’i memberi batasan 4 tahun. Dan Hanafiyah memberi batasan 2 tahun. Dengan demikian suami bisa mengajukan keberatan atas anak yang lahirkan itu. Begitupula dengan wanita yang telah diceraikan kemudian ia melahirkan anak pada masa yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan dari anak suaminya.
Kedudukan anak luar nikah dalam Islam, bahwa anak yang dilahirkan secara sah sesuai dengan ketentuan ajaran Islam mempunyai kedudukan yang baik dan terhormat. Ia masih mempunyai kedua orang tua, shingga ia berhak mendapatkan pendidikan, bimbingan, nafkah, dan biaya hidup sampai ia bisa mandiri. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah: 233 yang isinya memberikan kewajiban kepada seorang ibu untuk menyusui atau memberi makan kepada anaknya sehingga pertumbuhannya baik dan sehat.
Sedangkan bapak diberi kewajiban untuk memberikan nafkah kepada ibunya dan anaknya. Adapun akibat hukum anak yang tidak sah adalah tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah, tidak ada saling mewarisi, dan tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah.
Jadi dapat ditarik kesimpulan dalam hukum positif diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan anak di luar nikah tetap memiliki hak perdata dari ayah atau ibunya sepanjang dapat dibuktikan secara ilmiah mempunyai hubungan darah dari laki-laki yang menjadi ayahnya. Sedangkan dalam hukum islam anak hasil zina hanya bisa mendapatkan hak-haknya dari jalur ibunya.
Demikian ringkasan sedikit ini,
Semoga dengan mengimplementasikan nilai-nilai islam hidup kita menjadi baik dan maju dan menjadi amal jariyah kita semua. Aamiin
Editor: Nirwansyah/Nabhan