News

Anak Kecil di Gaza: Generasi Tanpa Orang Tua

3 Mins read

Pilu di akhir tahun, sebuah gambaran yang tepat untuk seorang anak kecil di Gaza pada penghujung Desember 2008. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, ibu yang disayanginya terkapar tak berdaya karena terjangan bom fosfor. Dari dalam rumah ia menangis histeris.

Anak Kecil di Gaza

Mulanya sang ibu hendak keluar mengambil sepeda kesayangan anaknya, sepeda yang kumuh meski masih bisa dipakai anaknya untuk bermain-main. Hari itu adalah hari pertama perang kembali dimulai, dan nyata, seketika keluar rumah nyawanya tak terselamatkan oleh lemparan bom fosfor dari udara. Fatal bagi ibu dan sang anak.

Tidak ada sang ayah diluar rumah, namun patut diduga ayahnya itu sedang berada diluar rumah dan siap untuk berperang. Anak yang berumur 8 tahun itu menangis histeris, dilihatnya dengan nyata pemandangan ibunya meninggal dunia.

“Ibu…,” suara Assad, sang anak kecil itu memanggil-manggil Ibunya dalam bahasa Arab. Namun suaranya tersendak.

Kabut putih yang menyelimuti rumahnya bukan simbolisasi kebaikan sebagaimana dilihatnya dari film-film, ia bukan simbol malaikat, nampak kabut itu telah menerjang jiwanya dengan sangat tajam dan jahat. Beberapa menit kemudian, ayahnya kembali sambil menggendong ibunya dari luar rumah.

Lalu, di belakang rumah mayat perempuan itu dikuburkan dengan sederhana. Kemudian sang anak kecil diberi makan secukupnya, disembuyikan di sebuah Bunker bersama anak-anak yang telah lebih dewasa lainnya. Barulah selepas itu, ayahnya keluar rumah melanjutkan perang.

Ini adalah satu kisah dari seribu satu macam riwayat kekejaman Israel di Palestina. Nestapa demikian sangat dirasakan oleh relawan yang datang, khususnya bagi yang menangani anak yatim-piatu yang ditinggal ibu dan ayahnya di medan perang.

Tentu para relawan itu menolong dengan penuh rasa kasih dan sabar, beberapa bayi tidak cukup mudah menyusu kecuali kepada ibu kandungnya sendiri. Pada mulanya sang bayi akan menangis dalam waktu yang cukup lama, lalu terdiam. Baru kemudian diberi susu sambung dan lalu menangis lagi, begitu seterusnya hingga sang bayi rela meminum susu meski bukan dari ibu kandungnya sendiri.

Baca Juga  Harumkan Indonesia, Trensains Sragen Raih Medali Emas Lomba Riset Internasional

Dalam pengamatan dan pengalaman pilu demikian, tidak jarang beberapa relawan memutuskan untuk mengadopsi anak dan membawanya ke negara masing-masing. Yang lain dirawat oleh relawan lainnya sebelum pemerintah Palestina mengambil alih nasib sang anak.

Budi Santoso (2011) mengumpulkan kisah-kisah itu dalam bentuk buku berjudul Kisah-kisah Kekejaman Israel di Palestina.

Generasi Tanpa Orangtua

Kamp pengungsi berisi tangis, sesekali juga histeris atas luka. Kamp yang juga diisi oleh anak-anak kecil dan bayi yang kehilangan orang tua. Ada kisah anak yang harus menerima kenyataan orang tuanya meninggal terkena bom secara tiba-tiba, lalu yang tersisa adalah tiga orang anak kecil yang saling bersaudara, yang tertua berumur 9 tahun, kedua berumur 7 tahun dan yang ketiga berumur 5 tahun.

Ketiganya murung, menyendiri sembari sesekali saling memandang. Mereka telah menerima kenyataan yang pilu dan pahit; kehilangan orang tua. Para relawan seringkali rumit menolong kala di Kamp pengungsian, betapa tidak, ada banyak anak-anak yang merundung duka dalam beberapa hari, rumit diajak maka atau diajak bermain.

Rasa galau yang menghinggap atas kematian orangtua nyata menggelayuti perasaan para anak kecil di Gaza dan Palestina. Mereka dirawat dan diberikan hiburan sepenuh-penuhhnya, kadang diberi mainan dan permen jika dirasa sudah cukup move on.

Merekalah anak-anak kecil di Gaza dan Palestina. Sama sekali redup yang menyelimuti Gaza bukan binar yang menghiasi megah Los Angeles. Sementara Netanyahu bukan Bapak dari banyak anak yang menerima dengan pilu kepergian Ayah dan Ibunya.

Merekalah anak-anak kecil di Gaza dan Palestina. Generasi yang tumbuh tanpa orangtua, berkembang tanpa asuhan, kadang-kadang keadaan memaksa mereka untuk turut terlibat secara langsung di medan perang. Tak banyak yang sempat memikirkan kuliah di perguruan tinggi ternama. Kebanyakan hanya memikirkan soal keselamatan hari ini, untuk adik dan kakak serta saudara-saudaranya.

Baca Juga  Membangun Pola Pikir Masyarakat, Pondok ini Hadirkan Guru Besar Universitas Indonesia

Sama sekali, kehidupan anak kecil di Gaza tidak sama dengan riang gembira anak-anak Indonesia, tampak mereka tidak mengenal gadget sebagaimana anak kecil Indonesia yang mulai gembira bermain game online

Tentu anak kecil Gaza sangat berbahagia seandainya ada kereta mainan, mobil-mobilan atau komik yang dapat dibacakan di telinga mereka, namun keadaan tak mendukung. Hanya dokar yang sering mereka mainkan sambil meliat reruntuhan bangunan yang tidak dapat lagi diselamatkan. Gelap, kabut, seperti kota mati, suasana yang tidak riang untuk anak kecil yang menyukai permaianan sambil melihat beberapa warna menarik di sekitarnya.

***

Mereka akan tumbuh dewasa, tanpa orang tua, pun tak pasti akan menikah, sebab bom bisa meledak kapan saja dan kepada siapa saja. Jangankan menikah, untuk memastikan bahwa sebentar malam akan tetap hiduppun tak bisa, ancaman tembakan bisa saja melayang kapan waktu serdadu Israel hendak melampiaskan nafsu pembunuhannya.

Nasib yang malang, namun doa tak boleh surut, dan upaya harus terus belanjut. Kita berharap mereka adalah generasi yang tetap tumbuh berkembang dalam harapan dan impian yang tinggi, juga mendapatkan pekerjaan yang layak, lalu kelak membina rumah tangga dengan penuh rasa kasih. Sekalipun gambar Gaza dan Palestina tidak mensimbolisasikan hubungan kasih sayang.

*) Kepala Madrasah Digital Yogyakarta

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
News

Isu Kepemimpinan Perempuan dalam Politik Kini Menurun

2 Mins read
IBTimes.ID – Direktur Amnesty International dan aktivis Usman Hamid menilai, isu kepemimpinan perempuan dalam politik Islam belakangan menurun. Bahkan, kata dia, jika…
News

Teladan Sumpah Pemuda Masih Relevan Hingga Kini

2 Mins read
IBTimes.ID, Jakarta (26/10/24) – Tantangan di era digital semakin besar karena informasi sangat mudah disebarluaskan dan diterima sebagai sebuah kebenaran. Itulah sebabnya,…
News

Hari Santri Nasional 2024, Santri Pondok Pesantren Afkaaruna Yogyakarta Diharapkan Jadi Ahlul Ilmi dan Ahlul Khidmah

1 Mins read
IBTimes.ID – Pondok Pesantren Afkaaruna Yogyakarta gelar Upacara Peringatan Hari Santri Nasional 2024 pada Selasa, 22 Oktober di lapangan Afkaaruna Secondary, Harjobinangun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds