Desa Sambongdukuh tak jauh dari pusat kota Jombang. Lokasinya di utara Pasar Legi Citra Niaga. Berdekatan dengan pondok-pondok pesantren besar seperti Tambakberas dan Denanyar.
Di Sambongdukuh itu terletak Pondok Pesantren Al Mimbar. Nama pondok ini memang tak tenar tapi di sinilah punjer dakwah Islam berasal. Inilah pondok tertua di kota santri ini.
Memasuki Pesantren Al Mimbar, bangunannya masih terawat. Temboknya tersapu cat bersih. Di samping pondok, berdiri rumah-rumah pendirinya yang sekarang didiami cucu dan cicitnya.
“Ini dulu tempat diskusi pendiri Muhammadiyah Jombang, Mas. Juga, tempat kiai Hasyim Asy’ari nyantri,” ujar seorang keturunan KH. Mimbar, saat mempersilakan masuk dirumahnya. Terlihat, rumah tersebut masih memiliki tahun berdiri dengan jelas: 1929.
“Inilah rumah Gus Rifai, Gus Kusen, Gus Salim, pendiri Muhammadiyah Jombang,” tambahnya, setelah duduk, membuka omongan kepada para tamu yang hadir. Rumahnya berbangun bangunan lama, meski pembaharuan sebagian wilayahnya, masih terlihat suasana klasik namun menentramkan.
Usai ngobrol agak lama, kami diajak menyusuri pondok pesantren, diperkenalkan bangunan yang dulu sering dipakai pendiri Muhammadiyah untuk berdiskusi, juga, ditujukkan lokasi di pertengahan pesantren, yakni makam.
Makam ini berpanjang sekitar 10 kaki saat berjalan. Di sini terjejer makam – makam dengan urutan yang rapi, semuanya dihuni anak keturunan dan keluarga KH. Mimbar, termasuk makan pendiri Muhammadiyah.
K.H. Mimbar dikaruniai 9 orang anak, tiganya merupakan pendiri Muhamamidyah: Gus Rifai, Gus Kusen dan Gus Salim. Gus Salim menikah dengan Masfufah, sepupu dari KH. Wahab Wasbullah. Anak yang lain dari KH. Mimbar, Mu’mimah, menikah dengan KH. Hamid Hasbullah yang merupakan saudara dari KH. Wahab Wasballah
“Kalau diurut lebih lebar lagi, pendiri Muhammadiyah di Jombang masih memiliki hubungan dengan pendiri NU yang lain, yakni KH. Hasyim Asy’ari. Karena KH. Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah masih kerabat dekat,” terang keturunan KH. Mimbar tersebut yang tidak mau disebutkan namanya.
Berdirinya Muhammadiyah di Jombang
Menurut catatan Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Jombang, Muhammadiyah Jombang berdiri pada tahun 1924, hal itu tercatat dalam surat keputusan (SK) pendirian Muhammadiyah yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jogyakarta pada 4 Juni 1967/ 25 Safar 1387, ditandatangani oleh ketua KH A Badawi dan sekretaris M. Djindar Tamimy.
Ada cerita menarik saat pendirian Muhammadiyah di Jombang, hal ini dituturkan sekretaris PDM Jombang yang membidangi Majelis Pustaka Indonesia (MPI) Jombang, Hadi Nur Rochmat, atau yang sering di sapa Pak Nanang.
“Tiga serangkai pendiri sebelum mendirikan sering datang ke Surabaya ikut kajian kiai Mas Mansur di Peneleh. Karena membawa misi pembaharuan yang sebelumnya tida ada, mereka tertarik, kemudian meminta izin kepada Mas Mansur untuk mendirikan Muhammadiyah di Jombang,” ujarnya.
“Ide untuk memerangi Tahayyul, Bid’ah, dan Khurofat, ini menjadikan ketiganya semangat memperjuangkan dakwah Muhammadiyah. Dakwah memperbarui semangat dalam beragama Islam,” tambahnya.
Anehnya, dan menariknya di sini, ketiga serangkai tersebut malah meminta restu KH. Wahab Hasballah Tambak Beras dan Kiai Bisri Syansuri Den Anyar Jombang. Yang berlainan amaliah (furu’iyah) untuk mendirikan Muhammadiyah.
“Justru dari perbedaan itu, kiai tersebut setuju, kelompok dakwahnya bisa dibagi, NU berdakwah dikalangan masyarakat pedesaan, Muhammadiyah berdakwah dikalangan priyayi,” ujar Fathurrahman, anggota majelis Tarjih PWM, yang pernah mendapatkan cerita dari kiai Fauzan, dan kiai Fauzan mendapatkan cerita langsung Gus Rifai.
Setelah direstui, ketiga serangkai tersebut datang ke kiai Mas Mansur dan berdirilah Muhammadiyah 1924. Saat itu tujuan utama pendirian Muhammadiyah untuk menyebarkan ajaran agama Islam dan semangat pembaharuan, yang dalam kajiannya, sering mendatangkan kiai Mas Mansur ke Jombang.
Hubungan Erat Muhammadiyah dan NU
Masih segar diingatan saat Gus Dur lengser dari tampuk presiden RI. Salah satu dampaknya sudah barang tentu panasnya hubungan NU dan Muhammadiyah, terlebih di Jawa Timur selaku kota kelahiran Nahadhatul Ulama.
“Setelah Gus Dur lengser, memang terjadi sedikit pergesekan antar warga NU dan Muhammadiyah di Jombang, namun tidak sampai memakan korban, ya adalahlah seperti tiba – tiba rumah milik warga Muhammadiyah ditulis apa gitu,” ujar Fathurrahman, yang juga sakdi sejarah saat peristiwa itu berlangsung.
Namun peristiwa panas ini tidak memakan waktu lama, segera setelahnya, pimpinan NU, Muhammadiyah, dan masyarakat Jombang bertemu untuk membincang hal demikian.
“Setelah peristiwa tersebut, pimpinan Muhammadiyah Jombang, Pimpinan NU, masyarakat China, bertemu di rumah Kiai Muhid Jailani, kemudian membuat wadah Forum Komunikasi Masyarakat Jombang, kemudian semakin eratlah semua,” tambahnya.
Sebelum peristiwa di atas, hubungan NU dan Muhammadiyah sudah erat, itu terbukti saat Muhammadiyah mengadakan Pekan Olahraga Nasional Hizbul Wathan (PON HW) 1998 di Jombang,
“Dulu ada lomba lari, startnya di Gedung Dakwah Muhammadiyah, finishnya di Tebu Ireng Jombang, dan semua memeriakan, bahkan, kiai Wahid Hasyim, pakleknya Gus Dur, Ikut menyambut dan mempersilakan kalau Muhammadiyah ada kegiatan di adakan di Tebu Ireng,” ungkapnya.
Hingga kini Islam di Jombang selalu unik, NU dan Muhammadiyah selalu adem ayem dan saling bersinergi untuk membangun Jombang yang lebih berkarakter.
Editor: Dhima WS