Menjelang hari raya Idul Adha, banyak persiapan yang dilakukan umat Islam untuk menyambut kehadirannya. Mulai dari para peternak yang menjaga kesehatan hewan ternaknya. Hingga calon pembeli hewan kurban yang menyisihkan uangnya, demi dapat berkontribusi dalam menyumbangkan kurban. Mulai dari cara patungan, maupun secara personal. Bahkan tak jarang juga anak-anak sekolahan yang patungan untuk membeli hewan kurban. Lantas apakah cara patungan tersebut dapat bernilai ibadah kurban? Untuk menjawab hal tersebut, maka perlu mengetahui hukum patungan kurban.
Hukum Patungan Kurban
Untuk melihat hukum patungan kurban, terdapat suatu hadits yang dapat dijadikan landasan dalam melaksanakan kurban. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah yang berbunyi:
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
Artinya: “Kami menyembelih hewan kurban bersama Rasulullah Saw. pada tahun Hudaibiyah dengan seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.”
Dari hadits tersebut diketahui bahwasanya para sahabat pernah melakukan patungan kurban saat tahun Hudaibiyah. Melalui hadits tersebut juga dapat dijadikan sebagai landasan, sekaligus menegaskan bahwa patungan hewan kurban dibolehkan.
Sesuai pada hadits tersebut, bahwa hewan kurban yang dapat dijadikan patungan adalah sapi dan unta. Dimana masing-masing batas maksimalnya adalah 7 orang. Lantas bagaimana jika berpatungan kambing? Mengingat kambing juga termasuk hewan kurban.
Ijma’ ulama mengatakan bahwa seekor kambing atau domba hanya dilakukan oleh seorang saja. Maka dalam hal ini patungan untuk kurban kambing tidak diperknenankan (Jayusman, Tinjauan Hukum Islam terhadap Ibadah Kurban Kolektif, 444).
Meski begitu, terdapat pendapat yang membolehkan patungan kambing untuk kurban.
Kontroversi Patungan Kurban Kambing
Adapun kurban kambing sendiri sebenarnya terdapat pada hadits dari ‘Atho’ bin Yasar yang berbunyi:
سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ
Artinya: “Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshori, bagaimana kurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berkurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan kurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1505, shahih)
Dari hadits tersebut terdapat perbedaan pendapat terhadap patungan kurban kambing. Pasalnya kurban kambing hanya dilakukan oleh seorang saja. Namun pada hadits tersebut disebutkan “untuk dirinya dan keluarganya”. Sehingga terdapat multitafsir dalam memahaminya.
Perbedaan Madzab Maliki dan Madzah Syafi’i
Menurut imam Maliki maksud dari kurban untuk dirinya dan keluarganya adalah bukan pada pemilikan dan harga, melainkan dari segi ganjaran (pahala). Artinya, seorang tersebut meniatkan berkurban sebagai ibadah kepada Allah untuk dirinya dan keluarganya (Jayusman, 444).
Akan tetapi terdapat syarat pada arti dari kelurga tersebut, dimana keluarga yang dimaksud adalah mereka yang tinggal satu rumah, terdapat ikatan kerabat, anggota keluarga yang diberi nafkah (Ibid).
Namun, pendapat imam Maliki tersebut agaknya berbeda dengan pendapat madzab Syafi’I. Dimana Imam Nawawi (salah satu ulama madzab syafi’i) berpendapat dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, bahwasanya kambing hanya boleh atas nama satu orang dan tidak boleh lebih. Namun jika salah seorang keluarga (suami, istri, anak) ada satu yang berkurban, maka pahala kesunahan merata untuk mereka semua. Atau dianamkan sunnah kifayah. Serta untuk unta hanya boleh dinamakan maksimal 7 orang, hal ini juga berlaku pada sapi.
Mengutip dari pendapat Muhammad Ajib terhadap pendapat imam Nawawi tersebut, bahwa patungan kambing diperbolehkan. Misalnya suami istri, atau orang sekelas berpatungan untuk membeli satu kambing, hal ini dapat dikatakan sebagai kurban. Akan tetapi terdapat syarat bahwa harus tetap satu orang yang menjadi perwakilan namanya dalam kurban kambing tersebut (Muhammad Ajib, 2019, 25)
Kesimpulan
Menjawab pertanyaan yang dipaparkan sebelumnya, maka hukum anak-anak sekolah yang patungan kurban tetaplah dapat dihitung sebagai ibadah kurban, bila jumlah anak yang patungan tersebut 7 anak atau kurang untuk membeli sapi atau unta.
Namun bila jumlahnya melebihi batas tersebut, maka cukup 7 orang yang mengatasnamakan hewan kurban tersebut. Begitu juga dengan kambing, cukup satu orang yang mewaikili nama hewan kurban tersebut. Maka hal ini tetap dapat dihitung menjadi ibadah kurban. Jika mengacu pada madzab Syafi’i.
Editor: Safira